MAKALAH SEMANTIK - MAKNA
Buku mata kuliah |
A.
Makna Leksikal dan Makna Grammatikal
Leksikal adalah bentuk
ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Satuan dari leksikon
adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Dapat pula dikatakan
makna leksikal adalah makna yag sesuai dengan referennya, makna yang sesuai
dengan observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam
kehidupan kita. Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang
penggerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak
jelas dalam kalimat tikus itu mati
diterkam kucing, atau panen kali ini
gagal akibat serangan hama tikus. Kalimat tikus pada kedua kalimat itu
jelas merujuk kepada binatang tikus , kata kuda
memiliki makna leksikal sejenis binatang
berkaki empat yang biasa dikendarai; pinsil bermakna leksikal sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu
dan arang; dan air bermakna leksikal sejenis barang cair
yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari. Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa makna leksikal dari suatu
kata adalah gambaran yang nyata tentang suatu konsep seperti yang dilambangkan
kata itu.
Bagaimana
dengan kata kepala kantor dan kepala
paku? Di sini kata kepala tidak
bermakna leksikal, sebab tidak merujuk pada referen yang sebenarnya. Di sisni
kata kepala digunakan secara
metaforis, yakni mempersamakan atau memperbandingkan salah satu ciri makna kata
kepala dengan yang ada pada kata kantor atau paku.
Makna gramatikal
adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal seperti proses
afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi. Makna gramatikat itu
bermacam-macam.
Proses
afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat batu seberat itu terangkat juga oleh adik melahirkan
makna dapat, proses prefiks ber- dalam kata sepeda melahirkan makna mengendearai.
Untuk menyatakan makna jamak, bahasa Indonesia menggunakan proses reduplikasi
seperti kata buku yang bermakna
‘sebuah buku’ menjadi buku-buku yang
bermakna ‘banyak buku’. Sedangkan proses komposisi dalam bahasa Indonesia juga
banya melahirkan makna gramtikal seperti komposisi sate ayam tidak sama dengan sate
Madura. Yang pertama menytakan ‘asal bahan’ dan yang kedua menyatakan ‘asal
tempat’.
B. Makna
Referensial Dan Nonreferesial
Perbedaan
makna referensial dan nonreferensial berdasarkan ada tidaknya referen dari
kata-kata itu. Bila kata itu mempunyai kata referen, yaitu suatu di luar bahasa
yang diacu oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata barmakna referensial.
Kalau kata itu tidak mempunyai referen maka katu itu disebut kata bermakna
nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna
referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah
tangga yang disebut “meja” dan “kursi”, kata hitam, merah, dan kudar adalah termasuk kata-kata yang
bermakna referensial karena hitam, merah adalah jenis warna, kuda adalah sejenis hewan yang berkaki empat dan bisa dikendarai. Sebaliknya kata karena dan tetapi
tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan tetapi
termasuk kata yang bermakna nonreferesial.
Perlu
dicatat adanya kata-kata yang referennya tidak tetap. Dapat berpindah dari satu
rujukan kepada rujukan yang lain, atau juga dapat berubah ukuran lainnya.
Kata-kata yang seperti ini disebut kata-kata deiktis. Misalnya kata ganti aku
dan kamu. Kedua kata ini
mempunyai rujukan yang berpindah-pindah, dari pesona satu ke pesona yang lain.
C. Makna
Denotatif Dan Konotatif
Makna denotasi pada dasarnya sama
dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan
sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan,
penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif
ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Karena itu makna denotasi
sering disebut sebagai “makna sebenarnya” umpamanya kata perempuan dan wanita
kedua kata ini mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu manusia dewasa bukan
laki-laki. Kata gadis dan perawan mempunyai makna denotasi yang
sama, yaitu ‘wanita yang belum besuami’ atau ‘wanita yang belum disetubuhi’, Kata kurus bermakna denotatif “ keadaan
tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal.
Makna denotasi sering juga disebut
makna dasar, makna asli, atau makna pusat; dan makna konotasi disebut makna
tambahan. Pengguanaan makna tambahan untuk menyebut makna konotasi kiranya
perlu dikoreksi; yakni hanya tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik
positif maupun negatif. Upamanya, kata babi
bermakna denotatif sejenis binatang yang
biasa diternakan untuk dimanfaatkan dagingnya. Tetapi pada
orang yang beragama Islam atau didalam masyarakat Islam babi mempunyai konotasi yang negatif, ada rasa
atau perasaan tidak enak bila mendengar kata itu.
Positif dan negatinya nilai rasa
sebuah kata sering kali juga terjadi sebagai akibat dugunakannya referen kata
itu sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang
positif makan akan bernilai positif; dan jika digunakannya suatu yang negatif
makam akan bernilai negatif. Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari
suatu kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain,
sesuai pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut.
D.
Makna Kata
Dan Makna Istilah
Makna sebuah kata, walaupun secara
singkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, jadi
bersifat umum. Makna itu menjadi jelas kalau sudah digunakan di dalam suatu
kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan
kabur. Misalnya kata tahanan. Apa
makna kata tahanan? Mungkin saja yang
di maksud dengan tahanan itu orang
yang ditahan, tetapi bisa juga hasil perbuatan menahan, umpamanya kata jatuh dalam kalimat Adik jatuh dari sepeda. Jatuh bermakna jatuh, Dia jatuh
dalam ujian yang lalu berarti bermakna gagal dalam ujian. Dia jatuh cinta pada adikku. Jatuh mempunyai perasaan suka, Kalau harganya jatuh lagi, kita akan bangkrut. Jatuh bermakna turun.
Berbeda dengan kata yang
maknanya masih bersifat umum, maka
istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketetapan dan kepastian makna istilah itu hanya digunakan dalam
bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun
makna istilah sudah pasti. Misalnya kata tahanan
di atas. Sebagai kata, makna kata tahanan
masih bersifat umum, tetapi sebagai istilah misalnya istilah dalam bidang
hukum makna kata tahanan itu sudah
pasti, yaitu orang yang ditahan sehubungan dengan suatu perkara.
Makna kata sebagai istilah memang
dibuat setepat mungkin untuk menghindari kesalah pahaman dalam ilmu atau dalam
bidang tertentu. Di luar bidang istilah sebenarnya dikenal juga adanya
pembedaan kata dengan makna umum dan kata dengan makna khusus atau makna yang
lebih terbatas. Kata dengan makna umum mempunyai pengertian dan pemakaian yang
lebih luas, sedangkan kata dengan makna khusus atau makna terbatas pempunyai
pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas. Umpamanya dalam deretan sinonim besar, agung, akbar, raya, dan klosal; kata
besar adalah kata yang bermakna umum
dan pemakaiannya lebih luas daripada kata yang lainnya.
E.
Makna
Konseptual Dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif.
Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya,
makna yang terlepas
dari konteks atau asosiasi apapun. Jadi, makna konseptual sesungguhnya sama saja
dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial. misalnya, kata
rumah memiliki makna konseptual ‘bangunan tempat tinggal manusia’, Kata
kuda memiliki makna konseptual “sejenis
binatang berkaki empat yang biasa dikendarai.
Makna
asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan
adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan
perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu
konsep lain. Maka dengan demikian, dapat dikatakan melati digunakan sebagai perlambang kesucian, kata kursi berasosiasi dengan kekuasaan, kata amplop berasosiasi dengan uang suap.
F.
Makna Idiomatikal Dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak
dapat ‘diramalkan’ dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun
secara gramatikal. Contohnya bentuk membanting tulang dengan
makna ‘bekerja keras’, meja hijau dengan makna ‘pengadilan’,
dan sudah beratap seng dengan makna ‘sudah tua’.
Idiom ada dua macam, yaitu:
1. Idiom penuh
Idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi
satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu.
Contohnya meja hijau dan membanting tulang, kutu buku bermakna
orang yang suka baca buku, naik pitam bermakna marah, kupu-kupu malam mempunyai makna pekerja seks komersial, cuci mata bermakna mencari hiburan, Main serong bermakna selingkuh, berpangku tangan
bermakna bermalas-malasan / tidak berbuat
apa-apa, kambing hitam bermakna orang yang dituduh
2. Idiom sebagian
Idiom sebagian adalah idiom yang salah satu
unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya Pasar gelap bermakna Pasar yang digunakan untuk transaksi barang-barang illegal,
Kepala dingin bermakna berpikir tenang, harga mati bermakna tidak
bisa ditawar lagi, Naik darah bermkana emosi, kabar burung bermakna kabar
belum pasti.
Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat di
telusuri dan di lacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara
makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya, peribahasa seperti anjing
dengan kucing yang bermakna ‘ dikatakan ihwal dua orang yang tidak
pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing
dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai, Bagai rumput mencari kuda yang
bermakna perempuan mencari suami.
G. Makna Kias
Makna Kiasan adalah bahasa yang tidak merujuk pada arti yang sebenarnya.
Jadi, bentuk-bentuk seperti putri malam dalam
arti ‘bualan’, raja siang dalam arti matahari, berkepala dua bermakna perempuan sedang hamil, kupu-kupu malam bermakna
pelacur, kembang desa bermakna wanita
tercantik yang di suatu desa.
H.
Makna
Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Dalam
kajian tidak tutur (speech act) dikenal dengan adanya makna lokusi, makna
Ilokusi dan makna perlokusi. Yang dimaksud dengan makna lokusi adalah makna
seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya.
Sedangkan yang dimaksud dengan makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami
oleh pendengar, sebaliknya, yang dimaksud dengan makna perlokusi adlah makna
seperti yang diinginkan oleh penutur. Misalnya, kalau seorang kepada tukang
adruk foto di pinggir jalan bertanya,
“Bang,
tiga kali empat, berapa?”
Maka
secara lokusi kalimat tersebut adalah keinginan tahu dari si penutur tentang
berapa tiga kali empat. Namun, makna perlokusi adalah bahwa si penutur ingin
tahu berapa biaya mencetak foto ukuran tiga kali empat sentimeter.
Daftar Pustaka
Chaer. Abdul. 2013. Pengantar Smantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rinika Cipta