Sunday, October 16, 2016

PARADIGMA KRITIS DALAM NOVEL TETRALOGI PULAU BURU KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Buku mata kuliah
            
 BAB I
Pendahuluan

1.1  Latar Belakang
Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah seni (Wllek & Warren, 1989:3). Kegiatan kreatif inilah yang dihasilkan oleh seniman dalam bentuk karya sastra yang fundamental, baik itu berbentuk prosa, drama, maupun puisi.
Memahami sebuah karya sastra prosa (cerpen, novel) bukan pekerjaan yang mudah. Sebuah karya sastra menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan juga sulit dipahami oleh pembaca. Untuk memahami karya sastra diperlukan proses atau tahapan-tahapan mulai dari simpati, empati, dan refleksi diri.
Karya sastra sebagai karya budaya merupakan tanggapan (respon) sastrawan terhadap lingkungannya. Kemudian sastrawan mewujudkan secara estetis dan memiliki nilai keindahan. Oleh karena itu, kelahiran karya sastra selalu memiliki nilai guna bagi masyarakat, seperti yang ada dalam novel Nyanyian Sunyi Di Waktu Bisu.
Kandungan nilai karya sastra merupakan unsur esensial dari karya itu secara keseluruhannya. Telaah mendalam terhadap suatu karya sastra, bukan saja akan memberikan  mengertian tentang latar belakan budaya pengarang melainkan juga mengungkapkan ide-ide dan gagasan sastrawan dalam menanggapi situasi yang dalam sekitarnya.
Kita tidak perlu harus terjun masuk ke dalam masyarakat untuk mengetahui kebudayaan suatu masyarakat. Penelitian dapat dilakukan dengan cara menggali karya-karya fiksi, seperti buku-buku sastra atau novel. Hal inilah yang membuat perkembangan sastra tidak bisa dipisahkan dengan pola kehidupan dan pola pikir masyarakatnya. Cara masyarakat untuk hidup dan bertingkah laku dalam kehidupan sosial mereka bisa sangat mempengaruhi seorang penulis dalam merefleksikan pemikirannya tentang suatu masalah yang kemudian bisa diwujudkan dalam suatu kreasi yang kemudian layak disebut sebagai suatu karya sastra.
Dan hal ini yang serupa terjadi pada perkembangan sastra di Indonesia.
Dalam perkembangannya, Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu nama yang menghiasi jejak sastra di tanah air. Lewat karyanya, tetralogi Pulau Buru, Pramoedya melukis kisah tokoh-tokoh dengan aneka perlawanannya terhadap budaya kolonial yang menurutnya adalah sebuah sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh masyarakat indonesia.
Novel tetralogi Pulau Buru adalah sebuah novel yang berbingkai perlawanan pada klonial Hindia Belanda. Novel tetralogi Pulau Buru memiliki kandungan ekspresi dan konsistensi ide untuk mengutuhkan kepribadian, kecerdasan, dan keyakinan tokoh-tokoh di dalamnya. Pengutuhan itu bukan saja terbaca dari latar sosial tokohnya, RM. Minke, tetapi juga  pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi dan diskriminasi Eropa terhadap Pribumi di masanya. Penggambaran posisi dan sikap tokoh tersebut juga mencerminkan adanya upaya untuk menanggapi dan mencari solusi terhadap setiap masalah yang ditimbulkan oleh ketidakadilan sosial dan budaya di sekitar tokoh itu berada.
Inilah yang kemudian melatar belakangi peneliti untuk mengkaji novel tetralogi Pulau Buru dengan judul Analisis Paradigma Kritis dalam novel tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta toer.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah analisis ini sebagai berikut:
a.     Bagaimana kritik terhadap positivisme dalam novel Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer?
b.    Bagaimana kritik terhadap masyarakat modern dalam novel Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer?
c.    Bagaimana kritik kebudayaan dalam novel Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer?

1.3  Manfaat Analisis
a.       Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada perkembangan sastra khususnya pada analisis dengan paradigm kritis.
b.      Secara Praktis
Penelitian ini dapat dijadikan bahan bacaan atau pegangan dalam melakukan penelitian berikutnya khususnya penelitian dalam paradigm kritis.
1.4  Definisi Operasional
a.    Positivisme
Positivisme beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.
b.    Modern
Modern merupakan sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.
c.    Kebudayaan
Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.
BAB II
Pembahasan
2.1    Kritik Terhadap Positivisme
Teori kritis juga memusatkan perhatian pada menopang-menopang filosofis penyelidikan ilmiah, kususnya positivisme (Bottomore, 1984; Fuller, 2007a; Halfpenny, 2001, 2005; Morrow, 1994). Positivisme dilukiskan sebagai sikap yang menerima ide bahwa metode ilmiah tunggal dapat diterapkan kepada semua bidang studi. Positivisme mengambil ilmu-ilmu eksakta sebagai standar kepastian dan keseksamaan bagi semua disiplin. Kaum Positivisme percaya bahwa semua ilmu pengetahuan secara inheren bersifat netral. Mereka merasa bahwa mereka senantiasa dapat menjauhkan karya mereka dari nilai-nilai manusia. Sebaliknya, kepercayaan itu mmemunculkanpandangan bahwa ilmu tidak berhak menganjurkan suatu bentuk spesifik tindakan sosial.
Positivisme ditentang oleh aliran krtitis berdasarkan berbagai alasan (Sewart, 1978). Oleh alasan yang satu, positivisme cenderung mereifikasi dunia sosial dan melihatnya sebagai suatu proses alamiah. Para teoritisi kritis lebih suka berfokus kegiatan manusia dan juga pada cara-cara  kegiatan demikian memengaruhi struktur sosial yang lebi besar. singkatnya, positivisme mengabaikan para aktor (Habermas, 1971), mereduksi mereka menjadi entitas-entitas pasif yang ditentukan oleh “kekua-kekuatan alamiah”. Oleh karena itu, kepercayaan mereka pada kekhasan sang aktor, para teoritisi kritis tidak akan menerima ide bahwa hukum-hukum ilmu umum dapat diterapkan tanpa dipertanyakan kepada tindakan manusia. Positivisme diserang karena merasa puas dengan hanya mempertimbangkan kedamaian alat dalam mencapai tujuan yang sudah ditentukan dan tidak mempertimbangkan keabsahan tujuan. Kritik itu menghasilkan pandangan bahwa positivisme secara alami bersifat konservatif, tidak mampu menantang sistem yang ada. Seperti yang dikatakan Martin Jay mengenai positivisme, “hasilnya ialah pengabsolutan ‘fakta-fakta’ dan reifikasi tatanan yang ada” (1973:62). Positivisme membawa para aktor dan ilmuan sosial menuju pasivitas. Sejumlah Marxian (contohnya beberapa strutualis, Marxis analitik) mendukung positivisme, dan Marx sendiri sering bersalah karena terlalu positivistik (Habermas, 1971).
2.2    Kritik Terhadap Masyarakat Modern
Sebagian besar karya aliran kritis bertujuan mengkritik masyarakat modern dan berbagai komponennya. Sementara banyak teori Marxian secara khusus tertuju pada ekonomi, aliran kritis mengganti orentasi ke level budaya sehubungan dengan hal-hal yang dianggap sebgai kenyataan-kenyataan masyarakat kapitalis modern. Yakni, lokus dominasi modern berubah dari ekonomi ke ranah budaya. Aliran kritis tetap mempertahankan minatnya pada dominasi, kendati besar kemungkinan dominasi di dunia modrn berupa unsur-unsur budaya daripada ekonomi. Aliran kritis berusaha berfokus pada penindasan budaya individu yang terjadi di masyarakat modern.
Para pemikir kritis tidak hanya dibentuk oleh teori Marxis, tetapi juga oleh teori Weberian, sebagaimana tercermin di dalam fokus mereka pada rasionalitas sebagai perkembangan yang dominasi di dalam dunia modern. Faktanya, para pendukung pendukung pendekatan tersebut sering disebut “para Marxis Webrian” (Dahms, 1997; Lowy, 1996). Sebagaimana dijelaskan oleh Trent Schroyer (1997), aliran kritis berpandangan bahwa masyarakat modern penindasan yang dihasilkan oleh rasionalitas merupakan masalah sosial yang dominan menggantikan eksploitasi ekonomi. Jelaslah aliran kritis telah mengadopsi pembedaan yang dilakukan Weber antara rasionalitas formal dan rasionalitas subtantif, atau apa yang oleh teoritis kkritis dianggap sebagi rasio.
Bagi para teoritis kritis, rasionalitas formal berkenaan secara tidak reflektif dengan pertanyaan mengenai alat-alat yang paling efektif untuk mencapai tujuan tertentu (Tar, 1997).  Hal itu dipandang sebagai dipandang sebagai “pemikiran teknokratik”, yang bertujuan membantu kekuatan-kekuatan dominasi, tidak membebaskan manusia dari dominasi. Tujuannya hanya menemukan alat-alat yang paling efesien untuk mencapai tujuan-tujuan apa yang didefinisikan sebagai hal yang penting oleh orang-orang yang berkuas.
Dalam pikiran para teoritis kritis, pemikiran teknokratik dikontraskandengan rasio yang merupakan harapan bagi masyarakat. Rasio meliputi penaksiran atas alat-alat dari segi nilai-nilai tertinggi keadilan manusia, perdamaian, dan kebahagiaan. Para teoritis kritis mengakui Nazisme secara umum, dan camp-camp konsentrasinya secara lebih spesifik, sebagai contoh-contoh rasionalitas formal dalam pertarungan mati-matia dengan rasio. Oleh karena itu, seperti diajukan oleh George Friedman, “Auschwitz adalah tempat yang rasional, tetapi tidak masuk akal” (1981: 15)
Meskipun kehidupan modern tampak mempunyai rasionalitas, aliran kritis memandang dunia modern penuh dengan irasionalitas (Crook, 1995). Ide itu dapat disebut “irasionalitas dari rasionalitas” atau, secara lebih spesifik, irasionalitas easionalitas formal. Dalam pandangan Herbal Marcuse, meskipun tanpak mewujudkan rasionalitas, “masyarakat modern secara keseluruhan bersifat irasional” (1964:, ix lihat juga Farganis, 1975). Irasionallah bahwa dunia rasional besifat menghancurkan individu dan kebutuhan- kebutuhan mereka dan kemampuan-kemampuan mereka, sehingga perdamaian dipelihara melalui perang yang terus menerus, dan meskipun ada alat-alat yang memadai, orang-orang tetap miskin, tertindas, tereksploitasi, dan tidak mampu mengembangkan diri.
Aliran kritis terutama memusatkan perhatian kepada satu bentuk rasionalitas formal – teknologi modern (Freenberg, 1996). Marcuse (1994), misalnya, adalah kritikus yang kerap terhadap teknologi modern, setidaknya yang digunakan di dala kapitalisme, dia melihat teknologi di dalam masyarakat kapitalis menyebabkan totalitarialisme. Dia melihat teknologi di dalam masyarakat kapitalis menyebabkan totalirialitas. Sebenarnya, dia memandang teknologi itu menghasilkan metode-metode kembali eksternal baru yang lebih efektif, dan bahkan lebih “menyenangkan” atas para individu. Contoh yang terutama adalah penggunaan televisi untuk menyosiialiasasi dan menenangkan populasi (contoh-contoh lain adalah olahraga massa dan eksploitasi sex yang meresap). Marcuse menolak ide bahwa di dunia modern teknologi bersifat netral, dia malah melihatnya sebagai alat untuk mendominasi manusia. Teknologi efektif karna dibuat tampak netral sementara dalam kenyataanya mempermudak
Teknologi membantu menindas individualitas. Kebebasan batin aktor telah “ diserang dan dikurangi” oleh teknologi modern. Hasilnya ialah apa yang disebut Marcuse “masyarakat berdimensi satu”, yaitu para individu menghilangkan kemampuan untuk berpikir secara kritis dn negatif tentang masyarakat. Marcuse tidak melihat eknologi dalam dirinya sendiri sebagai musuh, tetapi lebih tpatnya teknologi yan digunakan didalam masyarakat kapitalis modern: ”teknologi, tidak soal seberapa ’murni‘ menupang dan mengefektikan rangkaian dominasi hubungan fatal itu dapat di putus hanya melalui satu revolusi yang membuat teknologi dan teknik tunduk kepada kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan manusia bebas” (1969:56) marcuse mempertahnkan pandangan asli Marx ahwa teknologo secara alami bukan suatu masalah dan dapat digunakan untuk mekembangkan suatu masyarkat ”yang lebih baik”.
2.3    Kritik Kebudayaan
Para teoritis kritis mengarahkan kritik-kritik yang signifikan kepada apa yang meraka sebut “indrustri kebudayaan” (Kellner, dan Lewis, 2007), struktur-struktur yang dirasionalisasi, dibirokratisi (misalnya, jaringan-jaringan televise) yang mengendalikan kebudayaan modern. Minat pada industri kebudayan mencerminkan perhatian mereka pada konsep Marxian mengenai “super struktur” ketimbang kepada dasar ekonomi (Beamish, 2007e). kebudayaan industri, menghasilkan apa yang di sebut secara konvensional “kebudayan massa”, yang di definisikan sebagai “kebudayaan palsu yang diberhalakan”, yang di admintrasikan… yang tidak spontan ketimbng hal yang yang nyata” ( Jay, 1973: 216; lihat juga Lash dan Urry, 2007). Ada dua hal yang paling di cemaskan para pemikir kritis tentang industri itu. Pertama, mereka perihatin tentang kepalsuan. Meraka menganggapnya sebagai sekumpulan ide yang sudah terpaket yang di hasilkan secara massal dan disemaikan kepada masssa melalui media. Kedua, para teoritis kritis merasa terganggu dengan efeknya yang menenangkan, menindas, dan membingungkan pada rakyat (D.Cook, 1996; Tar, 1977: 87; Zips, 1994).
Douglas Kellner (1990 telah menawarkan secara sadar diri suatu teori kritis terhadap televisi. Sementara dia melandaskan keryanya pada keperihatinan –keperihatinan budaya. Aliran Frankfurt, kellner mendekat kepada tradisi-tradisi Marxian lainnya untuk menyajikan suau konsepsi yang lebih utuh menganai industri televisi. Dia mengkritik aliran kritis karena “mengabaikan analisis yang rinci atas ekonomi polotos dan media. Mengkonseptulissi kebudayaan massa hanya sebagai alat ideologi kapitalis (Kellner, 1990: 14). Oleh karena itu, selain melihat televisi sebagai bagian dari industri kebudayaan Kellner mengaitkannya baik dengan kapitalisme korporasi maupun dengan sistem politis. Lebih lanjut, karena tidak melihat televisi sebagai monolitik atau dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan korporasi yang koheren, tetapi tepatnya sebagai ”media massa yang sangat berkonflik tempat kekuatan-kekuatan ekonomi, politis, sosial dan budaya yang saling berpotongan” (1990: 14). Oleh karena itu sementara bekerja didalam teradisi teori kritis, kellner menolak pandangan bahwa kapitalisme adalah suatu dunia yang di atur secara total. Namun demikian, Kellner melihat televise sebagai suatu ancaman bagi demokratis, individualitas, dan kebebasan dan memberikan saran-saran (misalnya, pertanggungjawaban yang lebih demokratis, akses dan partisipasi warga negara yang lebih besar, keberagaman yang lebih besar di televisi) untuk menanggualangi amcaman itu. Oleh karena itu, Kellner melangkah melampui kritik belaka dengan memberikan usulan-usulan untuk menangani bahaya-bahaya yang dimunculkan oleh televisi.
Aliran kritis juga berminat pada dan alairan kritis terhadap apa yang disebut “industry pengetahuan”, yang mengacu pada entitas-entitas berkenaan dengan produksi pengetahuan (misalnya, universitas-universitasdan lembaga-lembaga riset) yang telah menjadi struktur-struktur otonom di dala masyarakat kita. Otonomi mereka telah memungkinkan mereka memperluas dirinya melampaui mandat aslinya (Schroyer, 1970). Mereka telah menjadi struktur-struktur penindas yang berminat pengaruhi mereka di seluruh masyarakat.
Analisis kritis Marx atas kapitalisme menyebabkan ia mempunyai harapan untuk masa depan, tetapi banyak teoritis telah tiba pada suatu keputusasaan dan tidak punya harapan. Mereka melihat masalah-masalah dunia modern tidak spesifik bagi kapitalisme, tetapi sama endemiknya bagi suatu dunia yang telah teradisionalisasi. Mereka melihat masa depan, di dalam istilah Weberian, sebagai sebuah “kerangkeng besi” struktur-struktur rasional yang semakin meningkat tempat harapan-harapan untuk meloloskan diri semakin kecil.
Banyak teori kritis (seperti sebagian besar formulasi asli Marx) berbentuk analisis kritis. Meskipun para teori kritis juga mempunyai sejumlah minat positif, salah satu kritik dasar yang diajukan kepada teori kritis ialah bahwa ia lebih banyak memberikan kritik daripada sumbangan positif. Negativitas yang tiada henti itu menyakitkan hati banyak sarjana, dan karena alasan tersebut mereka merasa bahwa teori kritis tidak banyak memberi sumbangan bagi teori sosiologis.


BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1 Positivisme
Tetralogi Pulau Buru tidak hanya menyajikan imajinasi saja, melainkan menggambarkan keadaan-keadaan yang terjadi di zaman kolonialisme. Di mana pada saat itu Pribumi yang tertindas ingin melawan kolonial Belanda dengan pemikiran-pemikiran yang bersifat mendorong untuk lebih baik di tanah jajahan Hindia Belanda.
Mengenai positivisme mengarah pada pengalaman dan ilmu pasti sebagaimana terlihat dalam penggalan berikut ini
“Haridepan yang selalu menggoda! Misteri! Setiap hari akan datang padanya mau-tak mau, dengan seluruh jiwa dan raganya. Dan terlalu sering dia ternyata maharaja zalim. Juga akhirnya aku datang padanya bakalnya. Adakah dia dewa pemuarah atau jahil, itulah memang urusan dia: manusia hanya terlalu sering bertepuk hanya sebelah tangan...”

Kemahiran penulis dalam merangkai kalimat yang menggambarkan bahwa yang akan terjadi di masa akan datang tidak akan bisa ditolak untuk menghindar dari kejadian tersebut, baik-jeleknya tidak ada yang tahu. Akan tetapi kadang manusia selalu menyia-nyiakan kebaikan yang didapat. Teks tersebut  mengandung positivisme agar manusia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertindak.
“Aku mengerti. Kau dalam kesulitan, itu parahnya kalau orang tak dapat dikatakan jatuh cinta. Dengar, Minke, darah mudamu ingin memiliki dia untuk dirimu sendiri, dan kau takut pada pendapat umum.” Lambat-lambat ia tertawa. “pendapat umum perlu dan harus diindahkan, dihormati, kalau benar. Kalau salah, mengapah harus dihormati dan diindahkan? Kau terpelajar, Minke, seorang pelajar harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu. Datanglah kau padanya barang dua-tiga kali lagi. Nanti kau akan dapat lebih mengethui benar-tidaknya pendapat umum itu.”
Dalam penggalan di atas seorang harus selalu bertanggung jawab apa yang sedang dipikirkan. Bukan hanya saja berpikir lalu tidak mau tahu setelah apa yang sudah dipikirkan. Apabila sudah berlaku adil sejak dalam pikiran maka sudah dipastikan perbuatannya akan selalu berbuat hal-hal positif.
“Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapat dalam hidup manusia yang pendek ini.”
“Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mungkin dapat membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya.”

Setiap tindakan dan perbuatan seseorang harus siap menerimanya tanpa menyalahkan siapapun apabila hasilnya sangat pahit. Seperti penggalan dalam novel di atas, di situ setiap kebaikan atau keindahan pasti ada kejelekan yang selalu membuntutinya. Dan perlu diingat bahwa kebahaigan atau kebaikan tidak akan selamanya menetap dirinya. Maka dari itu, orang harus siap dan berani menghadapi akibat itu walaupun nantinya akibat jelek.
3.2 Modern
Semakin lama zaman semakin maju dan berkembang baik dalam tingkat sosial, teknologi dan juga masyarakatnya. Zaman modern diidentik dengan teknologi yang semakin maju. Seperti penggalan teks berikut
“Kekuatan bukan lagi jadi monopoli gajah dan badak. Mereka telah digantikan oleh benda kecil buatan manusia: torak, sekrup dan mur.”
Teks itu beranggapan bahwa di zaman modern tidak lagi menggunakan kekuatan fisik melainkan dengan mesin-mesin buatan manusia. Sebagai masyarakat yang hidup di zaman modern harus mampu menguasai teknologi dan memanfaatkan sebaik mungkin adanya teknologi. Sebab kekuatan sepenuhnya bukan hanya ada dalam fisik manusia melainkan mampu dapat mengendalikan sesuatu dengan teknologi. Sebagaimana yang digambarkan dalam penggalan teks berikut
“Tenaga-tenaga alam mulai digantikan oleh manusia untuk diabdikan pada dirinya. Orang malah sudah merancang akan terbang seperti Gatotkaca, seperti Ikarus.”

Segala bentuk pengatahuan dan ilmu alamiah dicoba untuk diserap agar apa yang mustahil menjadi mungkin, seperti terbang atau bicara dari jarak jauh. Semua itu akan terjadi apabila manusia mampu memposisikan teknologi dengan kemampuan yang dimilikinya.
“Aku tak percaya pada guna-guna. Barang kali memang ada, tapi aku tak perlu memercayainya, karena itu hanya berlaku dalam kehidupan yang masih terlalu sederhana tingkat peradabannya.

Guna-guna yang sudah menjadi kepercayaan dalam masyarakat sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat agar impiannya bisa terwujud. Namun Pramodya mengingatkan bahwa orang yang masih percaya dengan hal itu merupakan orang yang tertinggal. Sesungguhnya masyarakat modern adalah yang selalu berpikir positif dan percaya dengan kemampuan dirinya.
“Beruntung aku banyak mendengar keterangan dari Jean sendiri: wanita lebih suka mengabdi pada kekinian dan gentar pada ketuaan; wanita dicengkrang oleh impian tentang kemudaan yang rapuh itu dan hendak bergayutan abadi pada kemudaan impian itu. Umur sungguh aniaya bagi wanita. Maka juga setiap kebawelan wanita harus dilawan dengan kebawelan lain.”         

Wanita sekarang/modern tidak pernah menyerah pada situasi dalam keadaan apapun meskipun umur sudah mulai rentang. Dalam hidup bukan untuk menyerah. Tetapi harus berjuang dan terus berusaha agar lebih baik dari sebelumnya.
3.4 Kebudayaan
Dalam kebiasan atau adat di sebuah daerah memang sering kali menjadi salah tingkah bahkan dianggap buruk apabila tidak sesuai dengan adat yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, Minke, kebingungan cara menghadapi seorang Nyai yang notabene  orang terpandang. Seperti penggalan novel
“Haruskah aku ulurkan tangan seperti pada wanita Eropa, atau aku hadapi seperti wanita pribumi—jadi aku harus tidak peduli? Tapi dialah justru yang mengulurkan tangan. Aku terheran-terheran dan kikuk menerima jabatannya. Ini bukan adat Pribumi; Eropa! Kalau begini caranya tentu aku akan mengulurkan tangan terlebih dahulu.”
Kebiasaan orang Pribumi pantang mengulurkan tangan dengan seorang lelaki yang bukan mahramnya, tidak seperti di Eropa yang bebas mengulurkan tangan pada siapa saja. Di penggalan di atas menjadi bukti nyata bahwa, Minke, gugup ketika mau mengulurkan tangan pada Nyai Ontosoroh. Akan tetapi, Nyai ontosoroh, yang berpengetahuan Eropa mengubah suasana dengan mengulurkan tangan terlebih dahulu agar Minke tidak salah tingkah. dan juga di penggalan novel 
            “Tamuku Islam,” kata Annelis dalam Jawa pada pelayannya. “Katakan di delakang sana, jangan sampai tercampur babi.”

Penggalan di atas menjadi bukti bahwa orang harus menghormati perbedaan orang lain. Di penggalan di atas Annelis yang non Islam memberi tahu ke pembantunya agar makanan yang disuguhkan pada Minke tidak sampai tercampur daging babi.
“Dia selalu berpakaian jawa : destar, baju tutup putih dengan rantai emas arloji tergantung pada saku atas bajunya , berkain batik dengan wiron agak lebar dan berselop kulit. Bila berjalan kaki ia tak pernah berlenggang dengan kedua belah tangannya.”

Salah satu adat Pribumi adalah berpakaian batik. Yang sudah menjadi ciri khas orang Jawa bahkan batik adalah salah satu icon Jawa yang sangat menonjol dalam acara-acara resmi.


BAB 1V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam analisis paradigma keritis ini (Tetralogi Pulau Buru), sastra dianalisis tidak hanya dalam aspek kesastraan, tetapi teori sastra di hububungkan dengan teori lain seperti salah satu dalam teori sosiologi, yaitu teori kritis.
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan oleh peneliti mengenai paradigma kritis dalam novel Tetralogi Pulau Buru, dapat disimpukan bahwa proses pemaknaan atas pesan yang disampaikan oleh penulis, yaitu melalui teks.
Dari analisis data yang telah peneliti temukan tersebut ditemukan melalui analisis paradigma kritis, George Ritzer dengan tiga level analisis. Yaitu, kritik terhadap positivisme, kritik terhadap masyarakat modern, dan kritik terhadap kebudayaan.
4.2 Saran
Berdasarkan dengan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang dapat menjadi saran baik segenap Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Bangkalan bagi peminat novel Khususnya pecinta karya sastra:
1.        Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan metode analisis sebuah karya sastra yang beragam.
2.        Bagi mahasiswa bisa menjadi gambaran dalam melakukan kajian khussnya di bidang karya sastra.
3.        Semoga hal-hal yang baik dalam penelitian ini menjadi masukan yang dapat mengembangkan karya sastra seperti novel yang sarat dengan nilai-nilai positif yang tertuang di dalamnya agar dapat diserap dengan baik.
Daftar Pustaka
Ritzer, George. 2011, Sosiological theori, New York: McGraw-Hill



SINOPSIS TETRALOGI PULAU BURU
A.      Bumi Manusia
Buku ini bercerita tentang perjalanan seorang tokoh bernama Minke. Minke adalah salah satu anak pribumi yang sekolah di HBS. Pada masa itu, yang dapat masuk ke sekolah HBS adalah orang-orang keturunan Eropa. Minke adalah seorang pribumi yang pandai, ia sangat pandai menulis. Tulisannya bisa membuat orang sampai terkagum-kagum dan dimuat di berbagai Koran Belanda pada saat itu. Sebagai seorang pribumi, ia kurang disukai oleh siswa-siswi Eropa lainnya. Minke digambarkan sebagai seorang revolusioner di buku ini. Ia berani melawan ketidakadilan yang terjadi pada bangsanya. Ia juga berani memberontak terhadap kebudayaan Jawa, yang membuatnya selalu di bawah.
Selain tokoh Minke, buku ini juga menggambarkan seorang "Nyai" yang bernama Nyai Ontosoroh. Nyai pada saat itu dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri simpanan. Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuatnya sangat menderita, karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Tetapi, yang menariknya adalah Nyai Ontosoroh sadar akan kondisi tersebut sehingga dia berusaha keras dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Nyai Ontosoroh berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya hanyalah dengan belajar. Minke juga menjalin asmara dan akhirnya menikah dengan Anneliesse, anak dari Nyai Ontosoroh dan tuan Millema.
Melalui buku ini, Pram menggambarkan bagaimana keadaan pemerintahan kolonialisme Belanda pada saat itu secara hidup. Pram, menunjukan betapa pentingnya belajar. Dengan belajar, dapat mengubah nasib. Seperti di dalam buku ini, Nyai yang tidak bersekolah, dapat menjadi seorang guru yang hebat bagi siswa HBS dan Minke. Bahkan pengetahuan si nyai itu, yang didapat dari pengalaman, dari buku-buku, dan dari kehidupan sehari-hari, ternyata lebih luas dari guru-guru sekolah HBS.
B.       Anank Semua Bangsa
Pada seri kedua ini menceritakan perjuangan batin Minke dimana istrinya yakni Annelis harus dibawa paksa ke Belanda. Tetapi pihak keluarga Nyi Ontosoroh tidak tinggal diam, sehingga dikirimlah seorang teman sekolah Minke yang bernama Panji Darman alias Jan Depperste untuk memantau keadaan Annelis di sana. Komunikasi melalui surat-menyurat. Di sisi lain Minke tak mau tinggal diam melawan keadaan. Dia terus belajar kepada Nyi Ontosoroh tentang banyak hal. Mulai dari menjalankan bisnis, urusan hukum, hingga menjadi inspirasinya untuk menulis.
C.      Jejak Langkah
Cerita ini terjadi ketika Minke sang tokoh utama dalam Novel ini memutuskan untuk meninggalkan Wonokromo demi melanjutkan sekolahnya di Jakarta. Minke memilih melanjutkan untuk mengambil sekolah di STOVIA, sebuah sekolah untuk dokter pribumi. Awalnya Minke mengalami penindasan dari rekan barunya. Namun, setelah beberapa saat keadaan pun menjadi lebih baik. Terutama setelah Minke berani melawan yang telah menindasnya. Suatu hari Ter Haar seorang jurnalis De Locomotief mengajak Minke menghadiri pertemuan di kamar bola dengan Ir Van Kollewijn anggota tweede kamer dari golongan liberal, pelopor politik etik yang pro pribumi. Dalam pertemuan ini membahas mengenai kekejaman yang telah dilakukan kepada kaum pribumi. Kesempatan ini juga digunakan Minke untuk mengatakan mengenai kasus yang menimpa Trunodongso.
Pada masa sekolah di STOVIA ini minke bertemu dengan gadis Tionghoa yang bernama Mei. Mei merupakan tunangan dari Khoe Ah Soe yang dulu sempat diwawancarainya. Perkenalan mereka terus berlanjut hingga akhirnya Minke menjadikan Mei sebagai isteri keduanya. Mei mempunyai kegiatan tersendiri dengan rekan-rekan seperjuangannya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dalam hati Minke. Mei sering keluar malam, namun tidak pernah mau member tahu kegiatan yang dilakukannya kepada Minke. Pernikahan Minke kembali kandas ditengah jalan. Mei terserang suatu penyakit yang menjadikannya meti dalam usia yang muda. Selama sakit inilah Minke merawat Mei, bahkan sekolahnya pun diabaikannya. Minke membuat sebuah resep untuk Mei, namun apotek menolaknya. Hal ini dikarenakan Minke belum lulus dari sekolah dokter. Minke pun pada akhirnya dikeluarkan dari STOVIA.
Dalam masa-masa inilah Minke berkeinginan untuk membuat suatu organisasi yang beranggotakan para pribumi. Organisasi yang Minke harap bisa memajukan para kaum pribumi. Minke mulai mendekati para petinggi dan mengajak untuk mendirikan organisasi pribumi. Bupati Serang yang dia nilai berpikiran modern diajak hadir dalam pertemuan untuk mendirikan sebuah organisasi. Ternyata si bupati arogan dan feodalis sehingga dia menolak. Minke lalu menemui patih Meester Cornelis yang mendukungnya. Wedana Mangga besar Thamrin Mohammad Thabrie juga mendukung. Syarikat Prijaji berdiri. Sayang perkembangan Syarikat kurang pesat. Minke juga mendirikan koran Medan Prijaji. Ada rubrik hukum diasuh oleh Mr D Mahler yang menangani kasus kesewenangan di perusahan kereta api, perkebunan, kantor gubermen, dan lain lain.
Dengan adanya Medan gerakan pribumi semakin berkembang. Di Nederland ada Indische Studenten Vereeniging. Tomo dari STOVIA bikin Boedi Oetomo yang berkembang pesat. Minke bahkan sempat berpikir bahwa Boedi Oetomo tak akan berkembang karena hanya khusus orang Jawa. Minke menginginkan organisasi yang terbuka bagi siapa saja. Gerakan Boikot menarik perhatiannya. Medan menuliskan tentang boikot dan hal ini menarik perhatian dari seorang Prinses van Kasiruta, anak Sultan Kasiruta.
Prinses van Kasiruta ingin mengembangkan gagasan boikot di Kasiruta. Minke merasa tertarik dengan Prinses van Kasiruta dan menjadikannya isteri ketiganya. Prinses van Kasiruta bertugas menjadi pemimpin redaksi majalah wanita yang telah ditawarkan Minke sejak pertemuannya diawal. Hal ini menimbulkan kesan tersendiri bafi Prinses van Kasiruta.
D.      Rumah Kaca
Rumah Kaca (1988) adalah buku terakhir dari tetralogi Buru. Pada bagian ini diambil sudut pandang yang sama sekali tidak terduga dari tiga cerita sebelumnya. Jika kita masih ingat kisah menegangkan di akhir cerita Jejak Langkah; setelah terjadi peristiwa penembakan Robert Suurhof gembong preman De Zweep yang kerap mengganggu aktivitas politik Minke yang ternyata dilakukan atas rencana istrinya sendiri--Prinses van Kasurita dari Maluku yang digambarkan sebagai perempuan yang sangat pemberani--tanpa sepengetahuan Minke itu taklain hanyalah sebuah rencana di balik rencana seorang petinggi polisi Belanda dari Ambon, Pangemanann dengan dua n, untuk menjebak Minke.
Rumah Kaca ini dikisahkan ditulis sendiri oleh Pangemanann sebagai sebuah proyek (studi) pribadi tentang perkembangan pemberontakan pribumi. Memang Pangemanann-lah (seorang pribumi, di dalam cerita) yang ditugasi pemerintah konolonial untuk mulai melacak akar-akar pemikiran pemberontakan pribumi yang dalam pengamatannya bermuara pada aktivitas Minke--dengan segala kegiatannya; penerbitan koran, partai, majalah, lembaga bantuan hukum, dsb. Maka, dibuatlah rencana jahat untuk membungkam semua kegiatannya dengan menjebak Minke ke dalam sebuah konspirasi busuk. Minke harus berbuat salah. Lalu dia harus dihukum.
Tapi, ternyata sangat tidak mudah, Minke sebagai seorang cendekia pribumi, sadar benar untuk mempelajari hukum Belanda. Maka, rencana busuk Pangemann ditujukan kepada istrinya. Pangemanann dengan sangat telaten mempelajari sifat dan informasi tentang Prinses van Kasurita, dengan kesimpulan; Prinses akan cukup berani untuk membunuh seseorang demi keselamatan suaminya. Rencana itu mulai dihembuskan lewat desas-desus bahwa Robert Suurhof akan segera menghabisi Minke.
Dan, terjadilah apa yang direncanakan Prinses untuk menembak gembong preman itu di tengah keramaian pasar, agar mudah menghilangkan jejak di tengah keributan yang akan terjadi, juga rencana ini dibantu teman-teman baik Minke, tanpa sepengetahuan Minke. Padahal itulah rencana besar Pangemanann untuk menjebak Minke, sebab semua barang bukti akan menjurus pada satu-satunya senjata api yang resmi dimiliki Minke. Penembakan pun terjadi, sedikit di luar perhitungan, peristiwa itu terjadi ketika Pangemanann (yang menyamar sebagai seorang penulis cerita Si Pitung) justru sedang bersantap dengan Minke. (Ini bisa mengurangi tuduhan langsung bahwa Minke-lah yang menembak Suurhof, sebab Pangemanann-lah saksi yang menyertainya ketika peristiwa itu terjadi).
Namun, tak aral tanggung, rencana tuduhan pembunuhan pun langsung dialamat kepada Minke. Ia dijemput oleh satu kompi (ini sangat berlebihan) polisi Belanda yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Kali ini yang menjemput Minke adalah Pangemanann sendiri (sebagai seorang petinggi polisi Belanda). Cerita berakhir dan mengambang (dalam Jejak Langkah) tentang mau dibawa ke mana Minke yang ditangkap tanpa kesempatan membela diri. Ternyata Minke (dalam Rumah Kaca), atas titah Gubernur Jendral Hindia-Belanda, diangsingkan ke pulau terpencil di Maluku Utara dan semua kegiatannya dibekukan oleh pemerintah kolonial--termasuk semua aset dan hasil jerih payahnya (tabungan uang) tanpa sepengetahuannya.

Gubernur Jendral Hindia-Belanda pun berganti. Minke telah menjalani 5 tahun hukuman pembuangan. Siksaan yang takterkira bagi seorang aktivis yang giat, mendekam dengan gerak yang dibatasi pemerintah kolonial. Tanpa korespondensi, tanpa komunikasi. Setelah 5 tahun di pengasingan, akhirnya Minke dikirim pulang. Namun, pulang hanya menyisakan kekecewaan yang semakin menyakitkan dari apa yang telah ditinggalkannya. Minke menelan kekecewaan menjadi sakit-sakitan di tengah kesengsaraan. Dan, jatuh meninggal karena sakit yang taktertolong (dokter di bawah ancaman tangan-tangan kolonial untuk tidak mengobati pasiennya).


Biodata Penulis
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.

bm

ridlwan.com adalah personal blog suka-suka. Blog ini disajikan dengan berbagai konten menarik dan terupdate.

avatar
Admin MOH RIDLWAN Online
Welcome to MOH RIDLWAN theme
Chat with WhatsApp