PARADIGMA KRITIS DALAM NOVEL TETRALOGI PULAU BURU KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Sastra
adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah seni (Wllek & Warren, 1989:3).
Kegiatan kreatif inilah yang dihasilkan oleh seniman dalam bentuk karya sastra
yang fundamental, baik itu berbentuk prosa, drama, maupun puisi.
Memahami
sebuah karya sastra prosa (cerpen, novel) bukan pekerjaan yang mudah. Sebuah
karya sastra menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan juga sulit dipahami
oleh pembaca. Untuk memahami karya sastra diperlukan proses atau
tahapan-tahapan mulai dari simpati, empati, dan refleksi diri.
Karya
sastra sebagai karya budaya merupakan tanggapan (respon) sastrawan terhadap
lingkungannya. Kemudian sastrawan mewujudkan secara estetis dan memiliki nilai
keindahan. Oleh karena itu, kelahiran karya sastra selalu memiliki nilai guna
bagi masyarakat, seperti yang ada dalam novel Nyanyian Sunyi Di Waktu Bisu.
Kandungan
nilai karya sastra merupakan unsur esensial dari karya itu secara
keseluruhannya. Telaah mendalam terhadap suatu karya sastra, bukan saja akan
memberikan mengertian tentang latar
belakan budaya pengarang melainkan juga mengungkapkan ide-ide dan gagasan
sastrawan dalam menanggapi situasi yang dalam sekitarnya.
Kita tidak perlu harus terjun masuk ke dalam masyarakat
untuk mengetahui kebudayaan suatu masyarakat. Penelitian dapat dilakukan dengan
cara menggali karya-karya fiksi, seperti buku-buku sastra atau novel. Hal
inilah yang membuat perkembangan sastra tidak bisa dipisahkan dengan pola
kehidupan dan pola pikir masyarakatnya. Cara masyarakat untuk hidup dan
bertingkah laku dalam kehidupan sosial mereka bisa sangat mempengaruhi seorang
penulis dalam merefleksikan pemikirannya tentang suatu masalah yang kemudian
bisa diwujudkan dalam suatu kreasi yang kemudian layak disebut sebagai suatu
karya sastra.
Dan hal ini yang serupa terjadi pada perkembangan sastra di
Indonesia.
Dalam perkembangannya, Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu nama yang
menghiasi jejak sastra di tanah air. Lewat karyanya, tetralogi Pulau Buru, Pramoedya
melukis kisah tokoh-tokoh dengan aneka perlawanannya terhadap budaya kolonial
yang menurutnya adalah sebuah sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh
masyarakat indonesia.
Novel tetralogi Pulau Buru adalah sebuah novel yang
berbingkai perlawanan pada klonial Hindia Belanda. Novel tetralogi Pulau Buru
memiliki kandungan ekspresi dan konsistensi ide untuk mengutuhkan kepribadian,
kecerdasan, dan keyakinan tokoh-tokoh di dalamnya. Pengutuhan itu bukan saja
terbaca dari latar sosial tokohnya, RM. Minke, tetapi juga pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi
dan diskriminasi Eropa terhadap Pribumi di masanya. Penggambaran posisi dan
sikap tokoh tersebut juga mencerminkan adanya upaya untuk menanggapi dan
mencari solusi terhadap setiap masalah yang ditimbulkan oleh ketidakadilan
sosial dan budaya di sekitar tokoh itu berada.
Inilah yang kemudian melatar belakangi peneliti untuk
mengkaji novel tetralogi Pulau Buru dengan judul Analisis Paradigma Kritis
dalam novel tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta toer.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang, rumusan
masalah analisis ini sebagai berikut:
a.
Bagaimana kritik terhadap positivisme dalam
novel Tetralogi Pulau Buru karya
Pramoedya Ananta Toer?
b.
Bagaimana kritik
terhadap masyarakat modern dalam novel Tetralogi
Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer?
c.
Bagaimana kritik
kebudayaan dalam novel Tetralogi Pulau
Buru karya Pramoedya Ananta Toer?
1.3 Manfaat
Analisis
a.
Secara
Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada perkembangan
sastra khususnya pada analisis dengan paradigm kritis.
b.
Secara
Praktis
Penelitian ini dapat dijadikan bahan bacaan atau pegangan dalam melakukan
penelitian berikutnya khususnya penelitian dalam paradigm kritis.
1.4 Definisi
Operasional
a. Positivisme
Positivisme beranggapan bahwa pengetahuan itu
semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.
b. Modern
Modern merupakan sikap dan cara berpikir serta cara
bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.
c. Kebudayaan
Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang,
dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi
ke generasi.
BAB II
Pembahasan
2.1
Kritik Terhadap Positivisme
Teori
kritis juga memusatkan perhatian pada menopang-menopang filosofis penyelidikan
ilmiah, kususnya positivisme (Bottomore, 1984; Fuller, 2007a; Halfpenny, 2001, 2005;
Morrow, 1994). Positivisme dilukiskan sebagai sikap yang menerima ide bahwa
metode ilmiah tunggal dapat diterapkan kepada semua bidang studi. Positivisme
mengambil ilmu-ilmu eksakta sebagai standar kepastian dan keseksamaan bagi
semua disiplin. Kaum Positivisme percaya bahwa semua ilmu pengetahuan secara
inheren bersifat netral. Mereka merasa bahwa mereka senantiasa dapat menjauhkan
karya mereka dari nilai-nilai manusia. Sebaliknya, kepercayaan itu
mmemunculkanpandangan bahwa ilmu tidak berhak menganjurkan suatu bentuk
spesifik tindakan sosial.
Positivisme
ditentang oleh aliran krtitis berdasarkan berbagai alasan (Sewart, 1978). Oleh
alasan yang satu, positivisme cenderung mereifikasi dunia sosial dan melihatnya
sebagai suatu proses alamiah. Para teoritisi kritis lebih suka berfokus
kegiatan manusia dan juga pada cara-cara
kegiatan demikian memengaruhi struktur sosial yang lebi besar.
singkatnya, positivisme mengabaikan para aktor (Habermas, 1971), mereduksi
mereka menjadi entitas-entitas pasif yang ditentukan oleh “kekua-kekuatan
alamiah”. Oleh karena itu, kepercayaan mereka pada kekhasan sang aktor, para
teoritisi kritis tidak akan menerima ide bahwa hukum-hukum ilmu umum dapat
diterapkan tanpa dipertanyakan kepada tindakan manusia. Positivisme diserang
karena merasa puas dengan hanya mempertimbangkan kedamaian alat dalam mencapai
tujuan yang sudah ditentukan dan tidak mempertimbangkan keabsahan tujuan.
Kritik itu menghasilkan pandangan bahwa positivisme secara alami bersifat
konservatif, tidak mampu menantang sistem yang ada. Seperti yang dikatakan
Martin Jay mengenai positivisme, “hasilnya ialah pengabsolutan ‘fakta-fakta’
dan reifikasi tatanan yang ada” (1973:62). Positivisme membawa para aktor dan
ilmuan sosial menuju pasivitas. Sejumlah Marxian (contohnya beberapa
strutualis, Marxis analitik) mendukung positivisme, dan Marx sendiri sering
bersalah karena terlalu positivistik (Habermas, 1971).
2.2
Kritik Terhadap Masyarakat Modern
Sebagian
besar karya aliran kritis bertujuan mengkritik masyarakat modern dan berbagai
komponennya. Sementara banyak teori Marxian secara khusus tertuju pada ekonomi,
aliran kritis mengganti orentasi ke level budaya sehubungan dengan hal-hal yang
dianggap sebgai kenyataan-kenyataan masyarakat kapitalis modern. Yakni, lokus dominasi
modern berubah dari ekonomi ke ranah budaya. Aliran kritis tetap mempertahankan
minatnya pada dominasi, kendati besar kemungkinan dominasi di dunia modrn
berupa unsur-unsur budaya daripada ekonomi. Aliran kritis berusaha berfokus
pada penindasan budaya individu yang terjadi di masyarakat modern.
Para
pemikir kritis tidak hanya dibentuk oleh teori Marxis, tetapi juga oleh teori
Weberian, sebagaimana tercermin di dalam fokus mereka pada rasionalitas sebagai
perkembangan yang dominasi di dalam dunia modern. Faktanya, para pendukung
pendukung pendekatan tersebut sering disebut “para Marxis Webrian” (Dahms,
1997; Lowy, 1996). Sebagaimana dijelaskan oleh Trent Schroyer (1997), aliran
kritis berpandangan bahwa masyarakat modern penindasan yang dihasilkan oleh
rasionalitas merupakan masalah sosial yang dominan menggantikan eksploitasi
ekonomi. Jelaslah aliran kritis telah mengadopsi pembedaan yang dilakukan Weber
antara rasionalitas formal dan rasionalitas subtantif, atau apa yang
oleh teoritis kkritis dianggap sebagi rasio.
Bagi
para teoritis kritis, rasionalitas formal berkenaan secara tidak reflektif
dengan pertanyaan mengenai alat-alat yang paling efektif untuk mencapai tujuan
tertentu (Tar, 1997). Hal itu dipandang
sebagai dipandang sebagai “pemikiran teknokratik”, yang bertujuan membantu
kekuatan-kekuatan dominasi, tidak membebaskan manusia dari dominasi. Tujuannya
hanya menemukan alat-alat yang paling efesien untuk mencapai tujuan-tujuan apa
yang didefinisikan sebagai hal yang penting oleh orang-orang yang berkuas.
Dalam
pikiran para teoritis kritis, pemikiran teknokratik dikontraskandengan rasio
yang merupakan harapan bagi masyarakat. Rasio meliputi penaksiran atas
alat-alat dari segi nilai-nilai tertinggi keadilan manusia, perdamaian, dan
kebahagiaan. Para teoritis kritis mengakui Nazisme secara umum, dan camp-camp
konsentrasinya secara lebih spesifik, sebagai contoh-contoh rasionalitas formal
dalam pertarungan mati-matia dengan rasio. Oleh karena itu, seperti diajukan
oleh George Friedman, “Auschwitz adalah tempat yang rasional, tetapi tidak
masuk akal” (1981: 15)
Meskipun
kehidupan modern tampak mempunyai rasionalitas, aliran kritis memandang dunia
modern penuh dengan irasionalitas (Crook, 1995). Ide itu dapat disebut
“irasionalitas dari rasionalitas” atau, secara lebih spesifik, irasionalitas
easionalitas formal. Dalam pandangan Herbal Marcuse, meskipun tanpak mewujudkan
rasionalitas, “masyarakat modern secara keseluruhan bersifat irasional” (1964:,
ix lihat juga Farganis, 1975). Irasionallah bahwa dunia rasional besifat
menghancurkan individu dan kebutuhan- kebutuhan mereka dan kemampuan-kemampuan
mereka, sehingga perdamaian dipelihara melalui perang yang terus menerus, dan
meskipun ada alat-alat yang memadai, orang-orang tetap miskin, tertindas,
tereksploitasi, dan tidak mampu mengembangkan diri.
Aliran
kritis terutama memusatkan perhatian kepada satu bentuk rasionalitas formal –
teknologi modern (Freenberg, 1996). Marcuse (1994), misalnya, adalah kritikus
yang kerap terhadap teknologi modern, setidaknya yang digunakan di dala
kapitalisme, dia melihat teknologi di dalam masyarakat kapitalis menyebabkan
totalitarialisme. Dia melihat teknologi di dalam masyarakat kapitalis
menyebabkan totalirialitas. Sebenarnya, dia memandang teknologi itu
menghasilkan metode-metode kembali eksternal baru yang lebih efektif, dan
bahkan lebih “menyenangkan” atas para individu. Contoh yang terutama adalah
penggunaan televisi untuk menyosiialiasasi dan menenangkan populasi (contoh-contoh
lain adalah olahraga massa dan eksploitasi sex yang meresap). Marcuse menolak
ide bahwa di dunia modern teknologi bersifat netral, dia malah melihatnya
sebagai alat untuk mendominasi manusia. Teknologi efektif karna dibuat tampak
netral sementara dalam kenyataanya mempermudak
Teknologi
membantu menindas individualitas. Kebebasan batin aktor telah “ diserang dan
dikurangi” oleh teknologi modern. Hasilnya ialah apa yang disebut Marcuse
“masyarakat berdimensi satu”, yaitu para individu menghilangkan kemampuan untuk
berpikir secara kritis dn negatif tentang masyarakat. Marcuse tidak melihat
eknologi dalam dirinya sendiri sebagai musuh, tetapi lebih tpatnya teknologi
yan digunakan didalam masyarakat kapitalis modern: ”teknologi, tidak soal
seberapa ’murni‘ menupang dan mengefektikan rangkaian dominasi hubungan fatal
itu dapat di putus hanya melalui satu revolusi yang membuat teknologi dan
teknik tunduk kepada kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan manusia bebas”
(1969:56) marcuse mempertahnkan pandangan asli Marx ahwa teknologo secara alami
bukan suatu masalah dan dapat digunakan untuk mekembangkan suatu masyarkat
”yang lebih baik”.
2.3
Kritik Kebudayaan
Para teoritis kritis mengarahkan
kritik-kritik yang signifikan kepada apa yang meraka sebut “indrustri
kebudayaan” (Kellner, dan Lewis, 2007), struktur-struktur yang dirasionalisasi,
dibirokratisi (misalnya, jaringan-jaringan televise) yang mengendalikan
kebudayaan modern. Minat pada industri kebudayan mencerminkan perhatian mereka
pada konsep Marxian mengenai “super struktur” ketimbang kepada dasar ekonomi (Beamish,
2007e). kebudayaan industri, menghasilkan apa yang di sebut secara konvensional
“kebudayan massa”, yang di definisikan sebagai “kebudayaan palsu yang
diberhalakan”, yang di admintrasikan… yang tidak spontan ketimbng hal yang yang
nyata” ( Jay, 1973: 216; lihat juga Lash dan Urry, 2007). Ada dua hal yang
paling di cemaskan para pemikir kritis tentang industri itu. Pertama,
mereka perihatin tentang kepalsuan. Meraka menganggapnya sebagai sekumpulan ide
yang sudah terpaket yang di hasilkan secara massal dan disemaikan kepada masssa
melalui media. Kedua, para teoritis kritis merasa terganggu dengan
efeknya yang menenangkan, menindas, dan membingungkan pada rakyat (D.Cook,
1996; Tar, 1977: 87; Zips, 1994).
Douglas Kellner (1990
telah menawarkan secara sadar diri suatu teori kritis terhadap televisi.
Sementara dia melandaskan keryanya pada keperihatinan –keperihatinan budaya. Aliran
Frankfurt, kellner mendekat kepada tradisi-tradisi Marxian lainnya untuk
menyajikan suau konsepsi yang lebih utuh menganai industri televisi. Dia
mengkritik aliran kritis karena “mengabaikan analisis yang rinci atas ekonomi
polotos dan media. Mengkonseptulissi kebudayaan massa hanya sebagai alat
ideologi kapitalis (Kellner, 1990: 14). Oleh karena itu, selain melihat
televisi sebagai bagian dari industri kebudayaan Kellner mengaitkannya baik
dengan kapitalisme korporasi maupun dengan sistem politis. Lebih lanjut, karena
tidak melihat televisi sebagai monolitik atau dikendalikan oleh
kekuatan-kekuatan korporasi yang koheren, tetapi tepatnya sebagai ”media massa
yang sangat berkonflik tempat kekuatan-kekuatan ekonomi, politis, sosial dan
budaya yang saling berpotongan” (1990: 14). Oleh karena itu sementara bekerja
didalam teradisi teori kritis, kellner menolak pandangan bahwa kapitalisme
adalah suatu dunia yang di atur secara total. Namun demikian, Kellner melihat
televise sebagai suatu ancaman bagi demokratis, individualitas, dan kebebasan
dan memberikan saran-saran (misalnya, pertanggungjawaban yang lebih demokratis,
akses dan partisipasi warga negara yang lebih besar, keberagaman yang lebih
besar di televisi) untuk menanggualangi amcaman itu. Oleh karena itu, Kellner
melangkah melampui kritik belaka dengan memberikan usulan-usulan untuk
menangani bahaya-bahaya yang dimunculkan oleh televisi.
Aliran kritis
juga berminat pada dan alairan kritis terhadap apa yang disebut “industry
pengetahuan”, yang mengacu pada entitas-entitas berkenaan dengan produksi
pengetahuan (misalnya, universitas-universitasdan lembaga-lembaga riset) yang
telah menjadi struktur-struktur otonom di dala masyarakat kita. Otonomi mereka
telah memungkinkan mereka memperluas dirinya melampaui mandat aslinya
(Schroyer, 1970). Mereka telah menjadi struktur-struktur penindas yang berminat
pengaruhi mereka di seluruh masyarakat.
Analisis kritis
Marx atas kapitalisme menyebabkan ia mempunyai harapan untuk masa depan, tetapi
banyak teoritis telah tiba pada suatu keputusasaan dan tidak punya harapan.
Mereka melihat masalah-masalah dunia modern tidak spesifik bagi kapitalisme,
tetapi sama endemiknya bagi suatu dunia yang telah teradisionalisasi. Mereka
melihat masa depan, di dalam istilah Weberian, sebagai sebuah “kerangkeng besi”
struktur-struktur rasional yang semakin meningkat tempat harapan-harapan untuk
meloloskan diri semakin kecil.
Banyak teori
kritis (seperti sebagian besar formulasi asli Marx) berbentuk analisis kritis.
Meskipun para teori kritis juga mempunyai sejumlah minat positif, salah satu
kritik dasar yang diajukan kepada teori kritis ialah bahwa ia lebih banyak
memberikan kritik daripada sumbangan positif. Negativitas yang tiada henti itu
menyakitkan hati banyak sarjana, dan karena alasan tersebut mereka merasa bahwa
teori kritis tidak banyak memberi sumbangan bagi teori sosiologis.
BAB III
ANALISIS DAN
PEMBAHASAN
3.1 Positivisme
Tetralogi Pulau Buru tidak hanya menyajikan imajinasi saja,
melainkan menggambarkan keadaan-keadaan yang terjadi di zaman kolonialisme. Di
mana pada saat itu Pribumi yang tertindas ingin melawan kolonial Belanda dengan
pemikiran-pemikiran yang bersifat mendorong untuk lebih baik di tanah jajahan
Hindia Belanda.
Mengenai positivisme mengarah pada pengalaman dan ilmu pasti
sebagaimana terlihat dalam penggalan berikut ini
“Haridepan yang selalu menggoda!
Misteri! Setiap hari akan datang padanya mau-tak mau, dengan seluruh jiwa dan
raganya. Dan terlalu sering dia ternyata maharaja zalim. Juga akhirnya aku
datang padanya bakalnya. Adakah dia dewa pemuarah atau jahil, itulah memang
urusan dia: manusia hanya terlalu sering bertepuk hanya sebelah tangan...”
Kemahiran
penulis dalam merangkai kalimat yang menggambarkan bahwa yang akan terjadi di
masa akan datang tidak akan bisa ditolak untuk menghindar dari kejadian
tersebut, baik-jeleknya tidak ada yang tahu. Akan tetapi kadang manusia selalu
menyia-nyiakan kebaikan yang didapat. Teks tersebut mengandung positivisme agar manusia tidak
menyia-nyiakan kesempatan untuk bertindak.
“Aku mengerti. Kau dalam kesulitan, itu
parahnya kalau orang tak dapat dikatakan jatuh cinta. Dengar, Minke, darah
mudamu ingin memiliki dia untuk dirimu sendiri, dan kau takut pada pendapat
umum.” Lambat-lambat ia tertawa. “pendapat umum perlu dan harus diindahkan,
dihormati, kalau benar. Kalau salah, mengapah harus dihormati dan diindahkan?
Kau terpelajar, Minke, seorang pelajar harus berlaku adil sejak dalam pikiran,
apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu. Datanglah kau
padanya barang dua-tiga kali lagi. Nanti kau akan dapat lebih mengethui
benar-tidaknya pendapat umum itu.”
Dalam
penggalan di atas seorang harus selalu bertanggung jawab apa yang sedang
dipikirkan. Bukan hanya saja berpikir lalu tidak mau tahu setelah apa yang
sudah dipikirkan. Apabila sudah berlaku adil sejak dalam pikiran maka sudah
dipastikan perbuatannya akan selalu berbuat hal-hal positif.
“Cinta itu indah, Minke, terlalu
indah, yang bisa didapat dalam hidup manusia yang pendek ini.”
“Cinta itu indah, Minke, juga
kebinasaan yang mungkin dapat membuntutinya. Orang harus berani menghadapi
akibatnya.”
Setiap tindakan
dan perbuatan seseorang harus siap menerimanya tanpa menyalahkan siapapun
apabila hasilnya sangat pahit. Seperti penggalan dalam novel di atas, di situ
setiap kebaikan atau keindahan pasti ada kejelekan yang selalu membuntutinya.
Dan perlu diingat bahwa kebahaigan atau kebaikan tidak akan selamanya menetap
dirinya. Maka dari itu, orang harus siap dan berani menghadapi akibat itu
walaupun nantinya akibat jelek.
3.2 Modern
Semakin lama zaman semakin maju dan berkembang baik dalam tingkat
sosial, teknologi dan juga masyarakatnya. Zaman modern diidentik dengan
teknologi yang semakin maju. Seperti penggalan teks berikut
“Kekuatan bukan lagi jadi monopoli gajah
dan badak. Mereka telah digantikan oleh benda kecil buatan manusia: torak,
sekrup dan mur.”
Teks
itu beranggapan bahwa di zaman modern tidak lagi menggunakan kekuatan fisik
melainkan dengan mesin-mesin buatan manusia. Sebagai masyarakat yang hidup di
zaman modern harus mampu menguasai teknologi dan memanfaatkan sebaik mungkin
adanya teknologi. Sebab kekuatan sepenuhnya bukan hanya ada dalam fisik manusia
melainkan mampu dapat mengendalikan sesuatu dengan teknologi. Sebagaimana yang
digambarkan dalam penggalan teks berikut
“Tenaga-tenaga alam mulai
digantikan oleh manusia untuk diabdikan pada dirinya. Orang malah sudah
merancang akan terbang seperti Gatotkaca, seperti Ikarus.”
Segala
bentuk pengatahuan dan ilmu alamiah dicoba untuk diserap agar apa yang mustahil
menjadi mungkin, seperti terbang atau bicara dari jarak jauh. Semua itu akan
terjadi apabila manusia mampu memposisikan teknologi dengan kemampuan yang
dimilikinya.
“Aku tak percaya pada guna-guna.
Barang kali memang ada, tapi aku tak perlu memercayainya, karena itu hanya
berlaku dalam kehidupan yang masih terlalu sederhana tingkat peradabannya.
Guna-guna
yang sudah menjadi kepercayaan dalam masyarakat sudah menjadi budaya di
kalangan masyarakat agar impiannya bisa terwujud. Namun Pramodya mengingatkan
bahwa orang yang masih percaya dengan hal itu merupakan orang yang tertinggal.
Sesungguhnya masyarakat modern adalah yang selalu berpikir positif dan percaya
dengan kemampuan dirinya.
“Beruntung aku banyak mendengar
keterangan dari Jean sendiri: wanita lebih suka mengabdi pada kekinian dan
gentar pada ketuaan; wanita dicengkrang oleh impian tentang kemudaan yang rapuh
itu dan hendak bergayutan abadi pada kemudaan impian itu. Umur sungguh aniaya
bagi wanita. Maka juga setiap kebawelan wanita harus dilawan dengan kebawelan
lain.”
Wanita
sekarang/modern tidak pernah menyerah pada situasi dalam keadaan apapun
meskipun umur sudah mulai rentang. Dalam hidup bukan untuk menyerah. Tetapi
harus berjuang dan terus berusaha agar lebih baik dari sebelumnya.
3.4 Kebudayaan
Dalam kebiasan atau adat di sebuah daerah memang sering kali
menjadi salah tingkah bahkan dianggap buruk apabila tidak sesuai dengan adat
yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, Minke, kebingungan cara menghadapi
seorang Nyai yang notabene orang
terpandang. Seperti penggalan novel
“Haruskah aku ulurkan tangan
seperti pada wanita Eropa, atau aku hadapi seperti wanita pribumi—jadi aku
harus tidak peduli? Tapi dialah justru yang mengulurkan tangan. Aku
terheran-terheran dan kikuk menerima jabatannya. Ini bukan adat Pribumi; Eropa!
Kalau begini caranya tentu aku akan mengulurkan tangan terlebih dahulu.”
Kebiasaan
orang Pribumi pantang mengulurkan tangan dengan seorang lelaki yang bukan mahramnya,
tidak seperti di Eropa yang bebas mengulurkan tangan pada siapa saja. Di
penggalan di atas menjadi bukti nyata bahwa, Minke, gugup ketika mau
mengulurkan tangan pada Nyai Ontosoroh. Akan tetapi, Nyai ontosoroh, yang
berpengetahuan Eropa mengubah suasana dengan mengulurkan tangan terlebih dahulu
agar Minke tidak salah tingkah. dan juga di penggalan novel
“Tamuku Islam,” kata Annelis dalam Jawa pada pelayannya.
“Katakan di delakang sana, jangan sampai tercampur babi.”
Penggalan
di atas menjadi bukti bahwa orang harus menghormati perbedaan orang lain. Di
penggalan di atas Annelis yang non Islam memberi tahu ke pembantunya agar
makanan yang disuguhkan pada Minke tidak sampai tercampur daging babi.
“Dia
selalu berpakaian jawa : destar, baju tutup putih dengan rantai emas arloji
tergantung pada saku atas bajunya , berkain batik dengan wiron agak lebar dan
berselop kulit. Bila berjalan kaki ia tak pernah berlenggang dengan kedua belah
tangannya.”
Salah
satu adat Pribumi adalah berpakaian batik. Yang sudah menjadi ciri khas orang
Jawa bahkan batik adalah salah satu icon Jawa
yang sangat menonjol dalam acara-acara resmi.
BAB
1V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam analisis
paradigma keritis ini (Tetralogi Pulau Buru), sastra dianalisis tidak hanya
dalam aspek kesastraan, tetapi teori sastra di hububungkan dengan teori lain
seperti salah satu dalam teori sosiologi, yaitu teori kritis.
Berdasarkan pembahasan
yang telah diuraikan oleh peneliti mengenai paradigma kritis dalam novel
Tetralogi Pulau Buru, dapat disimpukan bahwa proses pemaknaan atas pesan yang
disampaikan oleh penulis, yaitu melalui teks.
Dari analisis data yang
telah peneliti temukan tersebut ditemukan melalui analisis paradigma kritis,
George Ritzer dengan tiga level analisis. Yaitu, kritik terhadap positivisme,
kritik terhadap masyarakat modern, dan kritik terhadap kebudayaan.
4.2 Saran
Berdasarkan dengan
penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang dapat menjadi saran baik
segenap Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Bangkalan bagi
peminat novel Khususnya pecinta karya sastra:
1.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan
untuk menggunakan metode analisis sebuah karya sastra yang beragam.
2.
Bagi mahasiswa bisa menjadi gambaran
dalam melakukan kajian khussnya di bidang karya sastra.
3.
Semoga hal-hal yang baik dalam
penelitian ini menjadi masukan yang dapat mengembangkan karya sastra seperti
novel yang sarat dengan nilai-nilai positif yang tertuang di dalamnya agar
dapat diserap dengan baik.
Daftar Pustaka
Ritzer,
George. 2011, Sosiological theori,
New York: McGraw-Hill
SINOPSIS TETRALOGI
PULAU BURU
A.
Bumi Manusia
Buku ini bercerita
tentang perjalanan seorang tokoh bernama Minke. Minke adalah salah satu anak
pribumi yang sekolah di HBS. Pada masa itu, yang dapat masuk ke sekolah HBS
adalah orang-orang keturunan Eropa. Minke adalah seorang pribumi yang pandai,
ia sangat pandai menulis. Tulisannya bisa membuat orang sampai terkagum-kagum
dan dimuat di berbagai Koran Belanda pada saat itu. Sebagai seorang pribumi, ia
kurang disukai oleh siswa-siswi Eropa lainnya. Minke digambarkan sebagai
seorang revolusioner di buku ini. Ia berani melawan ketidakadilan yang terjadi
pada bangsanya. Ia juga berani memberontak terhadap kebudayaan Jawa, yang
membuatnya selalu di bawah.
Selain tokoh Minke,
buku ini juga menggambarkan seorang "Nyai" yang bernama Nyai
Ontosoroh. Nyai pada saat itu dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki
norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri simpanan. Statusnya sebagai
seorang Nyai telah membuatnya sangat menderita, karena ia tidak memiliki hak
asasi manusia yang sepantasnya. Tetapi, yang menariknya adalah Nyai Ontosoroh
sadar akan kondisi tersebut sehingga dia berusaha keras dengan terus-menerus
belajar, agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Nyai Ontosoroh berpendapat,
untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya hanyalah dengan
belajar. Minke juga menjalin asmara dan akhirnya menikah dengan Anneliesse,
anak dari Nyai Ontosoroh dan tuan Millema.
Melalui buku ini, Pram
menggambarkan bagaimana keadaan pemerintahan kolonialisme Belanda pada saat itu
secara hidup. Pram, menunjukan betapa pentingnya belajar. Dengan belajar, dapat
mengubah nasib. Seperti di dalam buku ini, Nyai yang tidak bersekolah, dapat
menjadi seorang guru yang hebat bagi siswa HBS dan Minke. Bahkan pengetahuan si
nyai itu, yang didapat dari pengalaman, dari buku-buku, dan dari kehidupan
sehari-hari, ternyata lebih luas dari guru-guru sekolah HBS.
B.
Anank Semua Bangsa
Pada seri kedua ini
menceritakan perjuangan batin Minke dimana istrinya yakni Annelis harus dibawa
paksa ke Belanda. Tetapi pihak keluarga Nyi Ontosoroh tidak tinggal diam,
sehingga dikirimlah seorang teman sekolah Minke yang bernama Panji Darman alias
Jan Depperste untuk memantau keadaan Annelis di sana. Komunikasi melalui
surat-menyurat. Di sisi lain Minke tak mau tinggal diam melawan keadaan. Dia
terus belajar kepada Nyi Ontosoroh tentang banyak hal. Mulai dari menjalankan
bisnis, urusan hukum, hingga menjadi inspirasinya untuk menulis.
C. Jejak Langkah
Cerita ini terjadi
ketika Minke sang tokoh utama dalam Novel ini memutuskan untuk meninggalkan
Wonokromo demi melanjutkan sekolahnya di Jakarta. Minke memilih melanjutkan
untuk mengambil sekolah di STOVIA, sebuah sekolah untuk dokter pribumi. Awalnya
Minke mengalami penindasan dari rekan barunya. Namun, setelah beberapa saat
keadaan pun menjadi lebih baik. Terutama setelah Minke berani melawan yang
telah menindasnya. Suatu hari Ter Haar seorang jurnalis De Locomotief mengajak
Minke menghadiri pertemuan di kamar bola dengan Ir Van Kollewijn anggota tweede
kamer dari golongan liberal, pelopor politik etik yang pro pribumi. Dalam
pertemuan ini membahas mengenai kekejaman yang telah dilakukan kepada kaum
pribumi. Kesempatan ini juga digunakan Minke untuk mengatakan mengenai kasus
yang menimpa Trunodongso.
Pada masa sekolah di
STOVIA ini minke bertemu dengan gadis Tionghoa yang bernama Mei. Mei merupakan
tunangan dari Khoe Ah Soe yang dulu sempat diwawancarainya. Perkenalan mereka
terus berlanjut hingga akhirnya Minke menjadikan Mei sebagai isteri keduanya.
Mei mempunyai kegiatan tersendiri dengan rekan-rekan seperjuangannya. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran dalam hati Minke. Mei sering keluar malam, namun tidak
pernah mau member tahu kegiatan yang dilakukannya kepada Minke. Pernikahan
Minke kembali kandas ditengah jalan. Mei terserang suatu penyakit yang
menjadikannya meti dalam usia yang muda. Selama sakit inilah Minke merawat Mei,
bahkan sekolahnya pun diabaikannya. Minke membuat sebuah resep untuk Mei, namun
apotek menolaknya. Hal ini dikarenakan Minke belum lulus dari sekolah dokter.
Minke pun pada akhirnya dikeluarkan dari STOVIA.
Dalam masa-masa inilah
Minke berkeinginan untuk membuat suatu organisasi yang beranggotakan para
pribumi. Organisasi yang Minke harap bisa memajukan para kaum pribumi. Minke
mulai mendekati para petinggi dan mengajak untuk mendirikan organisasi pribumi.
Bupati Serang yang dia nilai berpikiran modern diajak hadir dalam pertemuan
untuk mendirikan sebuah organisasi. Ternyata si bupati arogan dan feodalis
sehingga dia menolak. Minke lalu menemui patih Meester Cornelis yang
mendukungnya. Wedana Mangga besar Thamrin Mohammad Thabrie juga mendukung.
Syarikat Prijaji berdiri. Sayang perkembangan Syarikat kurang pesat. Minke juga
mendirikan koran Medan Prijaji. Ada rubrik hukum diasuh oleh Mr D Mahler yang
menangani kasus kesewenangan di perusahan kereta api, perkebunan, kantor
gubermen, dan lain lain.
Dengan adanya Medan
gerakan pribumi semakin berkembang. Di Nederland ada Indische Studenten
Vereeniging. Tomo dari STOVIA bikin Boedi Oetomo yang berkembang pesat. Minke
bahkan sempat berpikir bahwa Boedi Oetomo tak akan berkembang karena hanya
khusus orang Jawa. Minke menginginkan organisasi yang terbuka bagi siapa saja.
Gerakan Boikot menarik perhatiannya. Medan menuliskan tentang boikot dan hal
ini menarik perhatian dari seorang Prinses van Kasiruta, anak Sultan Kasiruta.
Prinses van Kasiruta
ingin mengembangkan gagasan boikot di Kasiruta. Minke merasa tertarik dengan
Prinses van Kasiruta dan menjadikannya isteri ketiganya. Prinses van Kasiruta
bertugas menjadi pemimpin redaksi majalah wanita yang telah ditawarkan Minke
sejak pertemuannya diawal. Hal ini menimbulkan kesan tersendiri bafi Prinses
van Kasiruta.
D.
Rumah Kaca
Rumah Kaca (1988)
adalah buku terakhir dari tetralogi Buru. Pada bagian ini diambil sudut pandang
yang sama sekali tidak terduga dari tiga cerita sebelumnya. Jika kita masih
ingat kisah menegangkan di akhir cerita Jejak Langkah; setelah terjadi
peristiwa penembakan Robert Suurhof gembong preman De Zweep yang kerap
mengganggu aktivitas politik Minke yang ternyata dilakukan atas rencana
istrinya sendiri--Prinses van Kasurita dari Maluku yang digambarkan sebagai
perempuan yang sangat pemberani--tanpa sepengetahuan Minke itu taklain hanyalah
sebuah rencana di balik rencana seorang petinggi polisi Belanda dari Ambon,
Pangemanann dengan dua n, untuk menjebak Minke.
Rumah Kaca ini
dikisahkan ditulis sendiri oleh Pangemanann sebagai sebuah proyek (studi)
pribadi tentang perkembangan pemberontakan pribumi. Memang Pangemanann-lah
(seorang pribumi, di dalam cerita) yang ditugasi pemerintah konolonial untuk
mulai melacak akar-akar pemikiran pemberontakan pribumi yang dalam
pengamatannya bermuara pada aktivitas Minke--dengan segala kegiatannya;
penerbitan koran, partai, majalah, lembaga bantuan hukum, dsb. Maka, dibuatlah
rencana jahat untuk membungkam semua kegiatannya dengan menjebak Minke ke dalam
sebuah konspirasi busuk. Minke harus berbuat salah. Lalu dia harus dihukum.
Tapi, ternyata sangat
tidak mudah, Minke sebagai seorang cendekia pribumi, sadar benar untuk
mempelajari hukum Belanda. Maka, rencana busuk Pangemann ditujukan kepada
istrinya. Pangemanann dengan sangat telaten mempelajari sifat dan informasi
tentang Prinses van Kasurita, dengan kesimpulan; Prinses akan cukup berani
untuk membunuh seseorang demi keselamatan suaminya. Rencana itu mulai
dihembuskan lewat desas-desus bahwa Robert Suurhof akan segera menghabisi
Minke.
Dan, terjadilah apa
yang direncanakan Prinses untuk menembak gembong preman itu di tengah keramaian
pasar, agar mudah menghilangkan jejak di tengah keributan yang akan terjadi,
juga rencana ini dibantu teman-teman baik Minke, tanpa sepengetahuan Minke.
Padahal itulah rencana besar Pangemanann untuk menjebak Minke, sebab semua
barang bukti akan menjurus pada satu-satunya senjata api yang resmi dimiliki
Minke. Penembakan pun terjadi, sedikit di luar perhitungan, peristiwa itu terjadi
ketika Pangemanann (yang menyamar sebagai seorang penulis cerita Si Pitung)
justru sedang bersantap dengan Minke. (Ini bisa mengurangi tuduhan langsung
bahwa Minke-lah yang menembak Suurhof, sebab Pangemanann-lah saksi yang
menyertainya ketika peristiwa itu terjadi).
Namun, tak aral
tanggung, rencana tuduhan pembunuhan pun langsung dialamat kepada Minke. Ia
dijemput oleh satu kompi (ini sangat berlebihan) polisi Belanda yang memang
sudah dipersiapkan sebelumnya. Kali ini yang menjemput Minke adalah Pangemanann
sendiri (sebagai seorang petinggi polisi Belanda). Cerita berakhir dan
mengambang (dalam Jejak Langkah) tentang mau dibawa ke mana Minke yang
ditangkap tanpa kesempatan membela diri. Ternyata Minke (dalam Rumah Kaca),
atas titah Gubernur Jendral Hindia-Belanda, diangsingkan ke pulau terpencil di
Maluku Utara dan semua kegiatannya dibekukan oleh pemerintah kolonial--termasuk
semua aset dan hasil jerih payahnya (tabungan uang) tanpa sepengetahuannya.
Gubernur Jendral
Hindia-Belanda pun berganti. Minke telah menjalani 5 tahun hukuman pembuangan.
Siksaan yang takterkira bagi seorang aktivis yang giat, mendekam dengan gerak
yang dibatasi pemerintah kolonial. Tanpa korespondensi, tanpa komunikasi.
Setelah 5 tahun di pengasingan, akhirnya Minke dikirim pulang. Namun, pulang
hanya menyisakan kekecewaan yang semakin menyakitkan dari apa yang telah
ditinggalkannya. Minke menelan kekecewaan menjadi sakit-sakitan di tengah
kesengsaraan. Dan, jatuh meninggal karena sakit yang taktertolong (dokter di
bawah ancaman tangan-tangan kolonial untuk tidak mengobati pasiennya).
Biodata Penulis
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer
(lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal di Jakarta, 30 April
2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang
yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan
lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.