Analisis Cerpen Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi Karya Kuntowijoyo Berdasarkan Pendekatan Mimetik
Buku pelajaran |
Analisis Cerpen Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi
Karya Kuntowijoyo
Berdasarkan Pendekatan Mimetik
Cerpen
Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi
Kisah jang soenggoe2
soeda kedjadian dimasa laloe ini berasal dari zaman pemerintahan Presiden
Soeharto dan Pangkopkamtib-nya dipegang Sudomo. Ceritanya ialah tentang micro-level
politics, bukan national-level politics atau local-level politics yang
menyangkut ideologi dan partai-partai. Tapi, sekadar peristiwa di tingkat desa
di pinggiran Kota Yogyakarta. Namun, akan ternyata bahwa politik kecil-kecilan
itu tidak kalah memusingkannya daripada politik yang gede-gede. Pelakunya harus
putar otak, pandai mengotak-atik kenyataan bagaimanapun kecilnya.
Dimulai ketika
Sutarjo (37), pengusaha konveksi, mencalonkan diri jadi kepala desa alias lurah
di desanya. Pesaing terkuatnya adalah mantan seorang kapten TNI yang baru-baru
ini pensiun, yang kabarnya akan menggunakan senjata pamungkas, yaitu asal-usul
Sutarjo yang tidak “bersih lingkungan” karena almarhum bapak Sutarjo dulu
terlibat G30S. Ujian tertulis dan lisan sudah bisa dipastikan bahwa dia akan
lulus. Sebab, ia mengantongi ijazah SMA, pernah duduk sebagai mahasiswa, dan
camat yang sangat menentukan kelulusannya amat berutang budi padanya. Camat itu
telah dibantunya dalam mencatut uang sewa Dolog yang kebetulan tanahnya adalah
milik Sutarjo.
“Negara memerlukan
tanahmu,” kata Camat. “Jangan jual mahal.”
“Tapi, Pak, tanah
ini rencananya untuk ruko. Tempatnya strategis, pinggir jalan besar.”
“Ini demi
pembangunan, lho.”
Pada waktu itu kata
“pembangunan” jadi hantu politik yang membuat Sutarjo berpikir dua kali untuk
menolak permintaan camat. Maka, ia pun menyewakan tanahnya dengan harga sangat
murah. Camat masih minta supaya ia menggelembungkan uang sewa (cara sekarangnya
disebut mark up).
“Coba tanda tangani
kuitansi ini,” pinta Camat.
“Lha kok besar
betul,” katanya.
“Sst, tidak
demikian. Indonesia itu kaya: punya bukit, punya hutan, punya laut, punya
tambang. Apa salahnya saya ikut andarbeki? Negara membeli pegawainya dengan
harga sangat murah. Saya kira cara ini sah-sah saja. Daripada diberikan Cina.
Kapan lagi mengambil hak kalau tidak mumpung ada kesempatan. Dan kesempatan
hanya datang sekali seumur hidup. Boleh ambil asal jangan terlalu banyak.
Banyak juga boleh asal bisa merahasiakan.”
Maka, semua
permintaan Camat diturutinya. Camat juga menjadi pemborong pembangunan gudang
Dolog, yang ia tahu bukannya Camat sendiri yang mengerjakan. Tentu saja harga
bangunan itu juga digelembungkan. Ia tahu semuanya soal kongkalikong itu, jadi
mustahil ia tidak lulus.
Sutarjo menggunakan
tanda gambar padi, sedangkan pensiunan kapten menggunakan tanda gambar senapan.
Keduanya yakin pasti lulus. Sutarjo sudah diketahui alasannya, sedangkan
kapten, ya, karena ia bekas tentara, dan “siapa berani tidak meluluskan
tentara”? Orang mesti berpikir tiga kali menghadapi tentara. Maka, jauh-jauh
sebelum hari-hari kampanye dan hari-H, keduanya sudah mengadakan rapat-rapat
dengan para kader. (“Kader” artinya juru kampanye).
Sutarjo yang juga
sudah mendengar soal “tidak bersih lingkungan” menjadi panik. Maka, ia pergi
pada seorang tokoh yang dulu Ketua Masjumi di desanya yang kemudian jadi Ketua
MDI, dan sekarang anggota DPRD II mewakili Golkar. Pendek kata, tidak diragukan
lagi kelihaian politiknya. (“Bekas Masjumi kok tidak ke PPP, tapi ke Golkar?”
“Orang itu jangan jadi pecundang terus, sekali-sekali jadilah pemenang.”)
“Gampang saja,”
katanya. “Yakinkan para pemilih bahwa kau adalah cucu Lurah. Kunjungi kuburan
kakekmu, buat fotonya, syukur ada video tape, sebar luaskan. Kalau ada video
tape, putarlah pada semua kesempatan jagongan: bayen, midodareni, bahkan
takziyah.” Kakeknya dulu adalah lurah yang terkenal pemurah, rendah hati, suka
menolong, dan sakti mandraguna. Sutarjo merasa lega.
Ia mengundang tukang
foto, dengan biaya besar [“jer basuki mawa beya”] ia juga mengundang kameraman
dari TVRI, dan membeli peralatan untuk memutar. Namun, ketika ia mengunjungi
kuburan kakeknya, lhadalah!
“Haram, syirik,”
teriaknya.
Kuburan itu penuh
kemenyan dan bunga mawar. Ia menyuruh orang membersihkan kemenyan dan bunga
itu. Kalau tidak, bagaimana meyakinkan para pemilih bahwa ia Muhammadiyah
tulen? Setelah bersih, baru jepret-jepret dan terrr.
Beres. Ia pun lapor
pada tokoh penasihatnya.
“Itu kesalahan,”
komentarnya.
Lho! Ia seperti
disambar petir.
Kata penasihat,
“Politik itu the art of the possible. Tidak harus lurus, tapi boleh
bengkok-bengkok. Jangan lugu begitu. Politik itu seperti silat, balikkan
kelemahan jadi kekuatan.” Kata penasihat lagi, “Adanya kemenyan itu justru
menguntungkan, untuk menunjukkan bahwa sekalipun kau Muhammadiyah, tapi
Muhammadiyah yang penuh toleransi. Karena itu, pergilah tiap malam ke kuburan
kakekmu, bawa orang, baca surat Yasin. Kuburan kakekmu perlu direnovasi.
Buatlah emper-emperan sehingga orang duduk lebih nyaman. Perkara syirik itu bisa
diatur kemudian.”
Perlu diketahui
bahwa waktu itu orang sedang demam SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, yang
oleh masyarakat [mahasiswa, sopir taksi, pedagang, dan para jurnalis]
dipelesetkan jadi Sudomo Datang Semua Beres), efemisme dari lotere. Orang
menyepi di kuburan kakeknya yang dianggap keramat untuk mendapat nomor. Hal
yang membuat dia pusing, orang-orang yang mencari nomor ke kuburan kakeknya,
kabarnya, dibekingi oleh pesaingnya, kapten itu.
Menuruti anjuran
penasihatnya, ia pergi dengan rombongan ke kuburan kakeknya tiap malam, dan
merenovasi kuburan itu. Ia juga menyuruh orang untuk membakar kemenyan dan
menabur bunga. Dan setelah kemenyan dan bunga menggunung lagi, ia mengundang
tukang foto dan kameraman. Ia sudah bertekad: berapa pun habisnya, akan ia
bayar. Tujuannya satu: menjadi lurah desa.
Minggu kampanye
ditandai dengan kelilingnya dokar, penumpang dengan megafon, dan pengumuman
supaya penduduk yang berhak memilih mendatangi TPS. TPS itu ada di lima dusun.
“Halo, halo.
Pengumuman, pengumuman. Datanglah ke TPS untuk pilihan lurah, hari [anu], pukul
[anu sampai anu]….”
Kusir dokar dan
pemegang megafon sudah hafal betul jalan-jalan desa yang harus dilalui sebab
mereka juga yang mengumumkan sepak bola, bola voli, bioskop misbar (gerimis bubar,
layar tancep), komidi putar, dan ketoprak di lapangan desa.
Mulailah kampanye.
Para kader kedua pihak mengunjungi rumah-rumah penduduk. Mereka akan memulai
dengan, “Apa panjenengan sudah punya calon? Kalau belum, sebaiknya pilih
’Padi’.” Atau, “Kalau belum, inilah calon terbaik, tanda gambar ’Senapan’.”
Sutarjo mengadakan
tahlil, yasinan, pengajian akbar, dan sarasehan tentang toleransi. (Dengan
makanan kecil keluar dari kantongnya). Semuanya dimaksud untuk menunjukkan
bahwa dia orang Muhammadiyah yang toleran. Dengan perbuatan nyata, tidak dengan
pidato-pidatoan. Lihatlah, misalnya, untuk pengajian akbar, ia juga mengundang
seorang kiai NU dan bukan ustadz Muhammadiyah. Demikian juga untuk konsumsi
pemilih muda, ia mengadakan sarasehan tentang toleransi. Tidak usah diceritakan
bahwa ia selalu berpidato dan berfoto dengan orang yang dipandangnya tokoh.
Perintahnya pada
seorang kader, “Cetak banyak-banyak yang 45 menit jadi. Buat papan pengumuman
di tempat-tempat strategis, lalu tempelkan gambar-gambar itu. Jaga, jangan
sampai ’Senapan’ mencopot gambar-gambar itu. Buatlah ’Padi’ banyak-banyak,
tempel di tembok-tembok, tiang listrik, dan pohon.” Pendek kata, dia sudah
merasa puas dan yakin memenangkan pilihan.
Pesaingnya,
“Senapan”, menggunakan strategi dan taktik lain yang mungkin dipelajarinya dari
masa dinasnya. Satu, ia mengundang tayub dari Rembang untuk berjoget bersama
penduduk. Dua, wayangan dengan waranggana yang cantik-cantik untuk jadi
tontonan penduduk. Tiga, apa yang kemudian disebut money politics. Ia
menjanjikan sejumlah uang kepada para pemilih. Uang ini didapat dari dua buah
perusahaan real estate dengan janji izin mendirikan perumahan di bantaran
sebuah sungai dan izin membangun perumahan di atas tanah desa dengan hak
bangunan. Empat, tidak hanya itu. Tesisnya, “Aman dulu, baru membangun desa”,
didukung oleh fakta. Karena, kebetulan ada dua peristiwa yang menguntungkan,
yaitu tawur antarpemuda dan petrus (penembak misterius).
Tawur antardesa itu
berasal dari omong-omong sekenanya di warung bakmi. “Orang indekos itu tidak
punya moral. Kalau tidak ndemeni teman seindekos, ya ibu kosnya,” kata penduduk
asli kepada seseorang yang mondok. Kontan para mahasiswa dan pelajar yang
indekos di rumah-rumah penduduk dan yang tinggal di asrama daerah di desa
“Senapan” marah. Malam hari mereka mendatangi pertigaan tempat para pemuda asli
berkongko-kongko dan terjadilah tawur antarpemuda asli dengan pemuda mondok.
Adapun mengenai petrus itu ceritanya begini. Pemerintah Kodya Yogyakarta selama
ini tidak berdaya menangani para Gali (Gabungan Anak Liar) di kota yang
mengadakan pungli (pungutan liar) terhadap Colt, toko, warung, pedagang di
pasar, dan pedagang kaki lima. Pemerintah Kodya lalu pasrah pada Korem untuk
bertindak apa saja. Dasar tentara yang punyanya cuma bedil, senapan menyalak.
Mereka menembak mati Gali-Gali. Dan, banyak Gali yang melarikan diri ke desa di
pinggiran kota itu yang didor. Malam hari orang akan mendengar bedil berbunyi,
kemudian mobil ambulans milik tentara.
Tibalah hari-H. Di
setiap TPS disediakan tiga kotak, dua kotak untuk cakades dan satu kotak kosong
untuk menjamin pilihan yang demokratis. “Padi” yakin menang karena dia selalu
ada di tempat, mendapat konsultan yang benar-benar politikus, dan sudah bekerja
secara benar dan pener. “Senapan” juga yakin menang karena telah bekerja sesuai
dengan strategi dan taktik yang dipelajarinya. Lagi pula semboyannya tentang
prioritas pada keamanan cocok dengan semboyan Orde Baru.
Tibalah waktu yang
paling membuat sport jantung dari dua cakades: penghitungan suara. (Tentu, tak
ada orang tahu bahwa kartu pilihannya diberi nomor oleh panitia. Dan, ada
daftar nama dan nomor pada panitia. Karena setelah dihitung, kotak-kotak akan
dibawa ke kecamatan, “Senapan” tinggal pergi ke kecamatan, dan tahulah dia
siapa memilih siapa. Para pemilih dan panitia pencatat akan mendapat imbalan
sepatutnya. Rapi jali, halus, dan tak bisa bocor). Setelah dihitung, ternyata
“Padi” kalah telak.
Ketika sudah
nyata-nyata kalah, ia pergi pada penasihat politiknya.
“Jangan menyesal.
Benar engkau kalah, tapi itu karena engkau jujur, agamis, bersih, dan kesatria.
’Senapan’ telah memanfaatkan nafsu rendah manusia dengan waranggana yang cantik
dan tayuban. Sini saya beri tahu.”
Kemudian dengan
bisik-bisik dikatakan bahwa “Senapan” itu curang dengan cara obral uang, tawur,
dan petrus.
“Ketahuilah, tawur
dan petrus itu hasil rekayasanya juga. Jadi dikalahkan oleh kecurangan itu
pahlawan. Saya bangga dengan engkau. Engkau memburu akhirat, dia memburu
dunia.”
Sesampai di rumah,
Sutarjo menceritakan pembicaraannya dengan sang penasihat kepada istrinya.
“Saya kira engkau
dhedhel-dhuwel luar dalam, Mas. Akhirat tidak, dunia gagal. NU bukan,
Muhammadiyah mboten. Politikus bengkok-bengkok meleset, orang agama jalan lurus
urung,” komentar istrinya.
“Pokoknya bukan itu
semua.”
Sutarjo suka
menghibur diri. “Saya kalah karena memburu akhirat, meninggalkan dunia. Sak
beja-bejaning wong kang lali, isih beja wong kang eling lan waspada.”
Sebesar-besarnya keuntungan orang yang lupa diri, masih beruntung orang yang
ingat dan menjaga diri.
Ia tetap bangga
kalau teringat kisahnya jadi cakades.
Ia yakin benar,
“Saya dikalahkan oleh kecurangan.” Dan, “Alhamdulillah, tidak jadi lurah, tidak
usah korupsi.”
Dia sudah berusaha
keras menghibur diri: dari kecurangan orang lain, politik secara nasional
berpihak pada lawan, terhindar dari kejahatan korupsi, sampai tidak jadi lurah
itu memang sudah takdir. Tapi tetap saja ia tidak dapat menyembunyikan
kemurungan. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, minum tak segar, mimpi
dikejar-kejar maling. Istri yang sehari-harinya mengamatinya ikut prihatin.
Istri menemui penasihatnya, politikus tulen itu. “Begitu saja kok repot. Kalah
dan menang dalam politik itu lumrah,” komentar sang penasihat. “Saya pikirnya
dulu.”
Bola ada di tangan
penasihat. Penasihat memutar otak. Pertanyaannya ialah ia ingin menjadikan
kekalahan sebagai sebuah kemenangan. Sepertinya mustahil. Semua sudah terjadi.
Penduduk desa terbagi dua. Mereka menggerombol pada kelompoknya sendiri: “Padi”
dan “Senapan”. Pesta kawin, jagong bayen, siskamling, rapat-rapat LMD dan LKMD,
bahkan takziyah.
Pikir punya pikir,
sang penasihat dapat ilham cemerlang, “Eureka!”
Penasihat menemui
cakades gagal kita.
“Jangan sedih. Ada
caranya membalikkan sebuah kekalahan menjadi sebuah kemenangan.”
“O, ya?” Mukanya
jadi cerah, byar!
“Iya. Begini, lho.
Kau harus ambil inisiatif untuk rujuk desa, berupa pidato dan makan-makan
seadanya. Di tempatmu, jangan di Balai Desa. Kumpulkan kader-kader kedua belah
pihak, wakil-wakil pemuda, mahasiswa, dan pelajar yang tawur. Undang pimpinan
kecamatan Muspika untuk hadir dan memberi sambutan.”
Ia pun bekerja,
mengunjungi sana-sini, menjual gagasannya. Ia juga mendapat dukungan dalam
rapat-rapat LMD dan LKMD. Jadilah. Istri dimintanya memasak, seekor kambing
besar disembelih. Rumahnya akan jadi rumah bersejarah di desanya.
Undangan diedarkan.
Pada hari yang ditentukan, semuanya sudah lengkap: meja-kursi, mikrofon, dan
hidangan. Orang-orang berdatangan. Muspika datang. Lurah baru datang meski agak
terlambat. Tapi, lho! Yang datang hanya orang-orang “Padi”. (Sutarjo tidak tahu
bahwa kubu “Senapan” mengadakan pesta kemenangan di Balai Desa). Tunggu punya
tunggu tidak ada lagi yang datang. Minum teh gelas keluar. Tak juga bertambah.
Akhirnya, acara dimulai. Pidato-pidato. Sutarjo mau menangis, tapi ditahannya.
Selesai. Hidangan keluar. Muspika pamit. Lurah baru pamit. Semua pulang. (Orang
“Senapan” sudah menanti untuk mendaulat supaya Muspika kemudian hadir di Balai
Desa).
“Sukses!” kata Camat
ketika bersalaman dengan Sutarjo.
“Sukses!” kata
Danramil waktu pamitan.
“Sukses!” kata
Kapolsek.
Hati Sutarjo seperti
diiris-iris.
Tidak dapat
menyembunyikan kekecewaan, ia menemui penasihat.
“Bagaimana, Pak.
Jadinya kok malah runyam begitu?”
“Ya, itulah politik.
Sekali menang, sekali kalah. Sekali timbul, sekali tenggelam. Sekali datang,
sekali pergi. Begitu ritmenya, tanpa henti. Hadapi ritme itu dengan humor
tinggi. Jangan kalau menang senang, kalau kalah susah. Jangan. Berbuatlah
sesuatu hanya pada waktu yang tepat. Ketika momentumnya datang, pada sangatnya.
Kalau bisa ciptakan momentum itu. Tetapi, jangan nggege mangsa [terlalu cepat],
tapi juga jangan terlambat,” komentar sang penasihat enteng.
Sutarjo tak kunjung
mengerti. Kepalanya menggeleng-geleng. “Ck, ck,” kata mulutnya, kemudian
melongo.
Analisis
Sastra sebagai seni yang
menggunakan bahasa sebagai media untuk mengekspresikannya tentunya dalam
penggunaan bahasanya berbeda dengan karya lainnya. Hal ini disebabkan sastra
menuntut untuk menciptakan sebuah nilai estetis dalam penggunaan bahasanya
namun tetap berpegang pada kaidah penulisan bahasa Indonesia. Inilah yang
membuat sastra memiliki tingkat kesulitan yang lebih dibandingkan-karya
lainnya.
Karya sastra pada dasarnya
terdiri dari berbagai macam berdasarkan jenisnya. Salah satu karya sastra yang
paling digemari oleh masyarakat khususnya Indonesia adalah cerpen. Hal ini
dikarenakan permasalahan yang diangkat dalam cerpen ringan sehingga tidak memerlukan
penalaran yang tinggi layaknya jenis novel. Alasan yang mendasari cerpen
dikatakan ringan ialah dilihat dari sudut pandang konflik yang dihadirkan.
Artinya dalam sebuah cerpen konflik yang ditampilkan tidak lebih dari satu
sampai dua pokok permasalahan.
Untuk memahami karya sastra, salah
satunya dengan menggunakan pendekatan mimetik. mimetik adalah
pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupa memahami hubungan karya
sastra dengan realitas atau kenyataan. Kata mimetik berasal dari kata mimesis (bahasa
Yunani) yang berarti tiruan. Dalam pendekatan ini karya sastra dianggap sebagai
tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981). Untuk dapat menerapkannya dalam
kajian sastra, dibutuhkan data-data yang berhubungan dengan realitas yang ada
di luar karya sastra. Biasanya berupa latar belakang atau sumber penciptaan
karya sastra yang akan dikaji.
Sehubungan penjelasan di atas, cerpen Pelajaran
Pertama Bagi Calon Politisi karya Kuntowijoyo terdapat beberapa persamaan
peristiwa dengan kehidupan nyata. Seperti penggalan cerpen di atas adalah
“Sutarjo menggunakan tanda gambar
padi, sedangkan pensiunan kapten menggunakan tanda gambar senapan. Keduanya
yakin pasti lulus. Sutarjo sudah diketahui alasannya, sedangkan kapten, ya,
karena ia bekas tentara, dan “siapa berani tidak meluluskan tentara”? Orang
mesti berpikir tiga kali menghadapi tentara. Maka, jauh-jauh sebelum hari-hari
kampanye dan hari-H, keduanya sudah mengadakan rapat-rapat dengan para kader. (“Kader”
artinya juru kampanye).”
Dalam Pilkades, calon kepala desa tidak seperti
Pilbub, Pilgub, Pilpres yang memasang gambar calon pada surat pemilihannya,
akan tetapi bagi calon kepala desa menggunakan gambar simbol buah-buahan. Dan Pilkades
pada saat ini berbeda dengan tahun dulu. Yaitu kalau pilkades sekarang dengan
menggunakan gambar calon. Sedangkan pilkades pada tahun dulu menggunakan gambar
simbol buah-buahan di kertas pemilihannya. Dan ini dibuktikan oleh ucapan Dedi
Mulyadi, Wali Kota Purwakara, yang akan melaksanakan pilkades serentak dia
daerahnya. Dan ini telah diposting oleh InilahKorang pada 26 Agustus 2015 11:00
“Dia menambahkan, dalam
pelaksanaan Pilkades ini ada beberapa perubahan. Salah satunya, perubahan surat
suara setiap calon. Jadi, yang biasanya dibuat dalam simbol buah-buahan, saat
ini diubah dengan langsung memampang foto masing-masing calon Kades.”
Dalam
pemilihan kepala daerah, para calon kepala daerah melakukan sesuatu yang
sekirang mengandung pencitraan. Seperti penggalan cerpen dibawah ini
“Menuruti anjuran penasihatnya, ia pergi
dengan rombongan ke kuburan kakeknya tiap malam, dan merenovasi kuburan itu. Ia
juga menyuruh orang untuk membakar kemenyan dan menabur bunga. Dan setelah
kemenyan dan bunga menggunung lagi, ia mengundang tukang foto dan kameraman. Ia
sudah bertekad: berapa pun habisnya, akan ia bayar. Tujuannya satu: menjadi
lurah desa.”
Sutarjo mengadakan tahlil, yasinan,
pengajian akbar, dan sarasehan tentang toleransi. “(Dengan makanan kecil keluar
dari kantongnya). Semuanya dimaksud untuk menunjukkan bahwa dia orang Muhammadiyah
yang toleran. Dengan perbuatan nyata, tidak dengan pidato-pidatoan. Lihatlah,
misalnya, untuk pengajian akbar, ia juga mengundang seorang kiai NU dan bukan
ustadz Muhammadiyah. Demikian juga untuk konsumsi pemilih muda, ia mengadakan
sarasehan tentang toleransi. Tidak usah diceritakan bahwa ia selalu berpidato
dan berfoto dengan orang yang dipandangnya tokoh.”
Rasa toleransi yang ada
di penggalan cerpen di atas hanya untuk pencitraan agar masyarakat meyakini
bahwasannya calon tersebut merupakan calon yang diinginkan oleh masyarakat. Sutarjo,
tokoh utama dalam cerpen itu sebagi Muhammadiyah tulen, dia melakukan berbagai
cara meskipun dalam konteks ajaran Muhammadiyah sendiri dilarang. Tujuan agar
dirinya dianggap orang yang toleransi.
Ini
juga dilakuakan oleh calon bupati Ponorogo dengan membuat pencitraan. Yaitu ziarah
ke makam Presiden RI yang kedua agar dirinya lebih dikenal mencintai sosok Pak
Harto dan meniru apa yang dilakukan oleh Pak Hartobaik. Ini dibuktikan oleh
berita online Jawa Pos pada Selasa, 03
November 2015 22:29
“Akademisi dari
Universitas Merdeka Pasuruan yang kini mencalonkan diri sebagai calon kepala
daerah di Ponorogo itu menegaskan, ziarah ke makam Pak Harto itu sebagai upaya
untuk meneladani sosoknya. “Ini sebagai ikhtiar untuk bisa meneladani pribadi,
kinerja, dan wawasannya sebagai pemimpin nasional,” tandas Misranto.”
Daftar Pustaka
Bertens, K. 1979. Ringkasan
Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Paradigma
Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka pelajar
Teew. A. 1984. Sastra dan Ilmu
Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya
http://www.inilahkoran.com/berita/jabar/46673/hari-ini-87-desa-di-purwakarta-gelar-pilkades-serentak
http://www.jawapos.com/read/2015/11/03/9261/jelang-pilkada-15-pasang-calon-kada-ziarahi-makam-pak-harto