Resum Buku Asas-Asas Linguistik Umum- Verhaar
BAB 3
FONETIK:
PENGANTAR
(1) Dua
jenis fonetik
Fonetik adalah
cabang ilmu linguistik yang meneliti dasar “fisik” buyi-buyi bahasa. Ada dua
segi dasar “fisik” tersebut yaitu segi alat-alat bicara serta pengunaannya
dalam menghasilkan buyi-buyi bahasa dsn sifat-sifat akustik buyi yang telah di
hasilkan menurut dasar pertama, fonetik disebut “fonetik organik” (karena
menyangkut alat-alat bicara) atau fonetik artikulatoris (karena meyangkut
pengarti kulasian buyi-buyi bahasa). Menurut dasar yang kedua fonetik di sebut
“fonetik agustik” , karena menyangkut buyi bahasa dari sudut buyi sebagai
getaran udara.
(2) Fonetik
artikulatoris
Fonetik
artikulatoris meneliti alat-alat organik manakah yang kita pakai untuk
menghasilkan bunyi bahasa bila kita bicara udara dipompakan dari paru-paru,
melalui batang tenggorokan ke pangkal tenggorokan yang didalamnya terdapat
pita-pita suara harus terbuka agar supaya udara bisa keluar melalui rongga
mulut atau rongga hidung (atau kedua duanya). Contohnya adalah bernafas saja.
(3) Fonetik
Akustik
Fonetik Akustik
menyelidiki bunyi menurut sifat-sifatnya sebagai getaran udara yang bergetar
adalah udara yang bergerak dalam gelombang – gelombang : artinya,
partikel-partikel udara dibuat bergerak, membentuk ”gelombang” ada tiga hal
yang perlu dibahas di sini. Frekuensi atau titi nada, aplitudo dan resonansi:
a. Frekuensi
atau titinada
Gerakan
partikel secara “ glombang “ itu “ berirama “, artinya berjalan ritmis
ritmennya diukur dengan frekuensi persatuan waktu secara tradisional diukur
dengan satuan detik. Gelombang dapat berupa “biasa” atau “murni” ( seperti
gelombang titi nada suatu garpu tala yang dibunyikan dapat juga berupa “ rumit”
seperti gelombang yang terdiri atas gelombang-gelombang bersama-sama tetapi
dengan frekuensi yang berbeda ( seperti bila kita mengetukkan dua garpu tala
atau lebih pada frekuensi yang berbeda ) gelombang rumit selanjutnya dibedakan
sebagai yang “ periodes “ dan “turbulen” dua nada yang berbeda satu oktaf akan
menimbulkan dua macam gelombang, dengan yang tinggi berfrekuensi tepat dua kali
yang rendah kedua gelombang itu akan naik turun secara bertepatan.
Perbedaan
antara gelombang rumit yang periodis dan yang terbulen penting fonerik fokal
senang tiasa merupakan gelombang rumit yang teriodis secara akustik sedangkan
kebayakan konsonan.
Bagan 3 berikut
adalah ringkasan pengertian mengenai gelombang yang baru saja di paparkan di
atas.
b. Amplitudo
Sebaliknya, apa
yang di tangkap telinga kita sebagai “kerasnya” atau “nyaringnya” atau
“intensitas” bunyi secara akustik yang berpangkal pada luasnya atau lebarnya
gelombang udara (istilahnya “amplitudo”) dan bersifat netral terhadap
frekuensi/titinada.
Menurut
kerasnya bunyi atau amplitudonya, gelombang udara dapat di bandingkan dengan
gelombang air di lautan.
Amplitudo akan
berkurang menurut dari sumber bunyi hal itu terjadi karena amplitudo bunyi akan
berkurang menurut jarak yang di jalani meskipun frekuensinya tetap sama.
Kecepatan pelenyapan di tentukan juga hal lain: misalnya gelombang bunyi dapat
di pantulkan kembali oleh permukaan rata dan keras seperti dinding rata dan
keras dan dengan demikian kecepatan pelenyapan amplitudo adalah rendah ;
c. Resonansi
Resonansi
terjadi bila suatu benda bergetar karena sebuah pengaruh bunyo, yaitu bunyi
yang di hasil kan oleh sumber. Perhatikan contoh berikut: apabila anda
menjentikkan jari pada sebuah gelas tipis, gelas itu akan bergetar dan
menimbulkan nada tertentu. Nada yang di timbulkan itu adalah nada khas gelas
tersebut bergantung ukuran dan bentuk gelas, menurut istilah ahli akustik nada
tersebut adalah frekuensi natural. Contoh ini tidak merupakan apa yang di sebut
dengan resonansi, karena sumber bunyi adalah yang di jentik.
Alat resonansi
tidak perlu merupakan benda padat seperi gelas pada contoh tadi. Alat itu dapat
pula berupa gumpalan udara yang terjadi di sini adalah suatu nada tertentu
kebetulan cocok dengan frekuensi natural yang di miliki gumpalan udara di dalam
kamar mandi.
Dinding yang
memantulkan suara anda dengan baik itu hanya menjamin bahwa bunyi tidak cepat
lenyap atau dengan istilah akustik. Resonansi adalah penting untuk bunyi bahasa
berdasarkan struktur alat-alat bicara. Dalam anotomi alat-alat itu ada bagian yang
hanya “pelanjut” gelombang udara yang di hasil kan, seperti tulang yang penting
adalah rongga-rongga dalam anatomi tersebut, khususnya rongga mulut, rongga
hidung, rongga lating.
4.
Catatan penutup
Di dalam buku
pengantar ini segi artikulatoris dari fonetik akan membahas secara khusus di
bab 4, dan beberapa segi fonetik akustik yang masih perlu di bahas akan di
catat di sana-sini dalam uraian tentang fonetik artikulatoris.
BAB 4
FONETIK
ALKULATORIS
[1] Pengantar
Fonetik alkulatoris membahas bunyi-bunyi bahasa menurut cara di hasilkannya
dengan alat-alat bicara. Bunyi bahasa dibedakan sebagai yang “segmental” dan
yang “suprasegmental”.
Untuk memahami apa yang dimasudkan dengan bunyi “segmental”, ambillah contoh
sederhana, yaitu kata Indonesia dan kata itu terdiri dari bunyi [d], [a], dan
[n], dalam urutan tersebut ,jadi ketiga bunyi itu adalah “segmen-segmen” dari
kata dan itu.
Bunyi
suprasegmental adalah bunyi yang dapat dibayangkan sebagai bunyi yang “di atas”
yang segmental itu. Misalnya perbedaan antaran tuturan Dia telah datang dan Dia
telah datang? Tidak terdiri atas perbedaan secara segmental melainkan atas
perbedaan intonasi (atau lagu) yang berbeda dalam kedua tuturan tersebut.
Pasal [2]
menjelaskan alat-alat bicara; pasal [3] menyangkut cara bekerja alat-alat
bicara itu; pasal [4] membicarakan perbedaan antara konsonan dan vokal,
sedangkan dalam pasal [5] dan pasal [6] di uraikan tentang berbagai jenis
konsonan dan jenis vokal. Pasal[7] membahas tentang semivokal, pasal [8]
tentang tulisan fonetis, pasal [9] dan[10] tentang penggolongan vokal dan
konsonan. Akhirnya dalam pasal [11] ada sekedar catatan penutup.
[2] Alat-alat bicara;beberapa istilah
Kita
menghasilkan bunyi-bunyi bahasa dengan alat-alat bicara, yaitu dengan mulut dan
bagian-bagiannya, dengan kerongkongan dan pita-pita suara di dalamnya, dan
semuannya itu dengan mempergunakan udara yang dihembuskan dari paru-paru.
Telitilah bagan 4 di bawah ini, dengan gambar alat-alat bicara dan dengan
nama-nama alat-alat tersebut.
Bila
istilah-istilah ini dipakai dalam bentuk ajektival, maka biasanya kita pinjam
ajektiva itu dari kata latinnyayang acap kali kita temukan dalam istilah
Inggris. Misalnya, kita tidak lazim memakai sebutan “bunyi bibir”, melainkan
“bunyi labil” ,dan kita tidak lazim memakai istilah “bunyi gigi” ,melainkan
“bunyi dental”.
Seperti akan menjadi jelas nanti (pasal [3]) kita sering terpaksa menggabungkan
dua dari istilah, misalnya dalam istilah”bunyi labio dental”, ” bunyi apiko
–dental” , dan lain sebagainya. Dalam istilah gabungan semacam itu yang
mengikuti pola bahasa latin, perlulah akhiran “-al” itu dalam istilah
pertama di ubah menjadi “-o” , di susul garis penghubung. Contoh lain yang
serupa : “apiko-palatal” ,dorso –velar “lamino-alveolar” , “lamino palatal”
,dan lain sebagainya.
Satu nomor pada
bagan 4, yaitu 6, perlu di jelaskan terlebih dahulu : kutup pangkal
tenggorokan. Alat itu tidak berfungsi dalam menghasilkan bunyi bahasa. Dari
rongga kerongkong ada dua batang ke bawah : yang satu untuk bernafas , yaitu
batang tenggorokan.
[3] Cara bekerja alat-alat bicara
Bila tidak ada
“penyempitan” seperti itu, tak ada bunyi bahasa samasekali, dan kita hanya
bernafas secar normal saja.
Udara keluar
dari paru-paru melalui batang tenggorokan , yang ada pita-pita suara di
dalamnya.
Sebagai contoh
lain,dekatkanlah daun lidah pada gusi gigi atas, dan hasilnya adalah
bunyi[s].
Penyempitan di
antara pita-pita suara membuat bunyi yang di hasilkan menjadi bunyi “bersuara”
; bunyi bersuara itu ada dua jenisnya: konsonan bersuara ;dan semua vokal .
Posisi [a]
adalah untuk bernafas secara normal ;tak ada bunyi bahasa yang di hasilkan.
Posisi[b] di pergunakan biasanya untuk menghasikan bunyi tak bersuara. Posisi
[c] menghasilkan bunyi bersuara,entah vokal entah konsonan bersuara. Akhirnya
,posisi [d] menutup seluruhnya jalan keluar terhadap arus udara.
Hasil tersebut
tercapai dengan sangat menyempitkan celah antara kedua pita suara, sehingga
pitasuara, sehingga pita-pita itu mulai bergetar ,dan bunyi yang di hasilkan
itu”dipantulkan” kembali di seluruh kepala anda .
[4] Konsonan
dan vokal
Konsonan adalah
bunyi yang di hasilkan dengan mempergunakan artikulasi pada salah satu bagia
alat-alat bicara seperti yang di jelaskan pada [ii] sampai [xi] itu.
Vokal adalah
bunyi bahasa yang dihasilkan dengan melibatkan pita-pita suara tanpa
penyempitan atau penutupan apa pun pada tempat pengartikulasian mana pun.
Pita suara
dilibatkan (karena [z] itu adalah bunyi ber suara), namun ada juga
penyempitan lamino-alveolar .atau lafalkanlah [m] ;memang bersuara, namun ada
penutupan pada bibir pula.jadi baik [z] maupun[m] merupakan konsonan ,bukan
vokal.
[5] Beberapa
jenis konsonan
Menurut cara
pengertikulasinya , kita dapat membedakan konsonan sebagai berikut:
[i] konsonan
letupan adalah konsonan yang di hasilkan dengan menghambat arus udara
seluruhnya di tempat artikulasi tertentu secara tiba-tiba dan alat-alat bicara
di tempat tersebut lalu di lepaskan kembali. Tahap pertama disebut “hambatan
“atau “implosi” dan tahap kedua tersebut “letupan”atau “eksplosi” .
[ii] Konsonan kontinuann
adalah semua konsonan yang bukan letupan. Di sebut “kontinuan” karena dapat di
lanjutkan pelafalannya. Golongan ini meliputi beberpa jenis :konsonan segau ,
sampingan , geseran , paduan , getaran, dan aliran.
[iii] Konsonan
segau ,yang di hasilkan dengan menutup arus udara ke luar melalui rongga
mulut ,dengan membuka jalan agar dapat keluar melalui rongga hidung.
Pentup arus udara ke luar melalui rongga mulut dapat terjadi:
Di antara
bibir, Antara ujung lidah dan ceruk , Antara tengah lidah dan langit-langit
keras , antara pangkal lidah dan langit-langit lunak.
[iv] Konsonan
sampingan adalah konsonan yang dihasilkan dengan menghalangi arus udara
sedemikian rupa sehingga dapat keluar hanya melalui sebelah atau kedua belah
sisi lidah saja. tempat artikulasi adalah antara ujung lidah dan lengkung kaki
gigi.
[v] Konsonan
geseran atau frikatif adalah konsonan yang di hasilkan oleh alur
yang amat sempit sehingga sebagian besar arus udara terhambat.
[vi] Konsonan
paduan atau afrikat dihasilkan dengan menghambat arus udara pada
salah satu tempat artikulasi secara implosive, lalu melepaskannya secara
“frikatif”.
[vii] konsonan
getaran adalah konsonan pelafalannya terdiri atas pengulangan cepat dari
apa yang di sebut “pengertikulasian” .
[viii] Konsonan
ali(an) adalah konsonan kontinuan yang tidak frikatif atau paduan .
demikian misalnya konsonan sengau dan konsonan sampingan adalah alir(an).
[ix] Konsonan
kembar atau jeminat adalah konsonan yang di perpanjang
pelafalannya. Perpanjangan itu berbeda beda sifatnya menurut golongan
artikulatoris konsonan yang bersangkutan: untuk segala macam kontinual lamanya
pelafalannya diperpanjang; untuk segala macam letupan ,yang di perpanjang
adalah lamanya waktu antara Implosi dan eksplosi .
6] Beberapa
jenis vokal
Vokal itu
adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan melibatkan pita-pita suara tanpa
penyempitan atau penutupan apa pun pada tempat pengertikulasian mana pun. Jenis
vokal tergantung dari apa yang di sebut “bangun mulut “ kecuali “lamanya” atau
“kuantitas” ,dari vokal (lihat [iv] di bawah); semua sifat vokal lainnya
menyangkut “kualitas” dari vokal.
[i] Vokal
tinggi ,vokal rendah , dan vokal tengah
Penggolongan
ini adalah penggolongan menurut tinggi rendahnya vokal, yaitu menurut tinggi
rendahnya posisi lidah terhadap langit langit.
[ii] Vokal
depan ,vokal belakang ,dan vokal madya.
Kita dapat
membedakan vokal juga menurut depan belakangnya
Depan
belakangnya vokal tergantung dari posisi lidah juga.
[iii] Vokal
bundar dan vokal tak bundar
Perbedaan
bangun mulut ini adalah perbedaan menurut bundar tidaknya dari kedua bibir.
[iv] Vokal
panjang dan vokal pendek.
Perbedaan ini
menyangkut lamanya (atau “kuantitas”) pelafalan vokal.
[v] Vokal
nasal (atau vokal sangauan) dan vokal oral
Dalam
pengucapan vokal oral , seluruh arus udara keluar melalui mulut,dan rongga
hidung tertutup (dengan menggerakkan langit-langit lunak ke dinding belakang
rongga kerongkongan).
[vi] Vokal
tunggal , dan vokal rangkap dua atau diftong.
Semua vokal
yang di bahas dalam dalam [i] sampai dengan [v] adalah vokal pelafalannya tidak
melibatkan perubahan bangun mulut selama pelafalan tersebut .
Dalam pelafalan
vokal rangkap dua (atau diftong), maka setengah lamanya pelafalan vokal ,bangun
mulut di ubah . misalnya [au] dalam kalau adalah sebuah diftong: pelafalannya
mulai dengan bangun mulut renndah-depan , dan berakhir dengan bangun
tinggi-belakang.
Diftong naik
adalah diftong yang perubahannya “ke atas “ , diftong turun adalah diftong yang
berubahnya” ke bawah “ diftrong naik ditemukan dalam contoh-contoh tadi , kalau dan balai.
[7] Semi vokal
Semi vokal
adalah bunyi bahasa di antara konsonan dan vokal . ada hanya dua: [y] dan
[wb]
[Î] adalah
vokal yang paling tinggi dan sekaligus yang paling depan; namanya vokal “tinggi
depan”. (vokal [u] di sampingnya adalah sama tingginya dan depannya,hanya saja
vokal tersebut itu “bundar” , sedangkan [Î]tidak). Vokal seperti [Ə] di sebut
vokal tengah madya ,sedangkan vokal [u]adalah vokal tinggi tengah. Namaan vokal
lazimnya berdasarkan tinggi rendahnya dahulu, dan di ikuti dengan belakangnya.
Ada sedikit
perbedaan antara vokal depan amat tinggi ( seperti [Î]) dan vokal depan amat
rendah ( seperti [à]).
Perbedaannya
ialah bahwa vokal-vokal rendah depan adalah sedikit lebih” kebelakang “ di
banding dengan vokal-vokal tinggi depan berdasarkan anatomi alat-alat bicara
yang terlibat.
[11] Sekedar
catatan penutupdiperkenalkan dengan bunyi-bunyi” “segmental” .
Periksalah
konsonan [t].kita menemukan konsonan ini dalam kata indonesia tidak, dan
juga dalam kata inggris top .
Tentunya kedua
[t] itu “sama’ dalam arti bahwadalam kedua –duanyahal, tidak dan top,[t] itu
merupakan konsonan apiko-alveolar. Di pihak lain, kurang masuk
akal bila kita mengadaikan adanya “kesamaan” antara kedua[t] itu,
karena yang satu termasuk bahasa indonesia, yang lain termasuk bahasa inggris.
Maklum sistem bunyi indonesia dan sistem bunyi inggris tidak sama.
Dalam bahasa
yang sama bunyi yang”sama” dapat dilafalkan dengan cara yang berbeda-beda.
Perbedaan lagi,
antara[t] dari top dan [t] dari stop . dalam kata top , [t]
–nya adalah berasal “beraspirasi” (seperti dikatakan oleh ahli linguisik),
artinya pelafalan [t] di susul oleh bunyi seperti [h] dapat di lambangkan
dengan h tulisan atas itu:[th] .
Sementara ini
,maksud kita hanya satu hal saja:menjadi terlatih dalam mengenali bunyi-bunyi
bahasa; melatih telinga ,”merasakan”penggunaan alat-alat bicara kita sendiri
,mengetahui tentang sifat organik dan sifat akustik bunyi-bunyi bahasa.
BAB 5
FONETIK:PENGARUHBUNYI;
BUNYI SUPRASRGMENTAL; STRUKTUR SILABE
[1] Asimilasi
fonetis
Bunyi-bunyi
bahasa berurutan menurut yang mendahului dan yang menyusul.Dan bunyi-bunyi itu
saling mempengaruhi,contoh dalam bahasa inggris kata stop,[ t ] berupa
laminal ( seperti halnya dalam kata top ) karena pengaruh konsonan [ s ],
[
t ] disesuaikan dalam artikulasi dengan [ s ]penyesuaian itu di
sebut”asimilasi”. Oleh karena asimilasi itu berupa fonetis,maka di sebut
asimilasi fonetis. Dalam kata stop , [ s ] menjadi sebab perubahan
artikulasi [ t ] jadi ada pengaruh dari bunyi yang mendahului terhadap
bunyi yang mengikutinya.Asimilasi semacam itu disebut “asimilasi progresif”
Bandingkan
dengan vocal inggris [ ae ] dalam kata bat ‘kelelawar’ dan dalam kata bad’
jelek ‘ ada perbedaan dalam bad [ ae ]-nya lebih panjang daripada [ ae ]
dalam kata bat karena pengaruh dari [ d ] yang bersuara ( pada akhir kata )
pada vocal yang mendahuluinya , maka disebut asimilasi regresif
[ 2 ]
Kehormoganan
Adanya
pasangan-pasangan konsonan tertentu, misalnya [ t ] dan [ d ] dan [ s ] dan [ z
] perbedaan di antara yang pertama dan yang kedua dari masing-masing
pasangan macam itu yang pertama ta bersuara dan yang kedua bersuara maka
[ t ] dan [ d ]
disebut konsonan homorgan
a. Kehormoganan
penuh
Dengan
perbedaan bersuara / tak bersuara”antara [ t ] dan [ d ]. Oleh karena
memakai tidaknya pita suara tidak lazimdisebut”artikulasi” maka
kehormoganan antara [ t ] dan [ d ] dapat disebut kehormoganan penuh”
b. Kehormoganan
sebagian
Bandingkan antara
[ m ] dan [ b ]. Titik artikulasinya sama ( bilalabial ) Namun [ m ] adalah
kontinual nasal, dan [ b ] adalah letupan oral.
[ 3 ]
Bunyi suprasegmental
“ Segmental”
artinya bunyi yang terdapat secara berurutan. Namun di antara bunyi bahasa ada
juga yang tida langsung beraitan denganbunyi yang berurutan”segmen” bunyi
srgmentalitu sebagai bunyi yang seakan-akan di tempatkan di atasnya dan karena
itu disebut bunyi suprasegmental. Di antaranya adalah lagu kelompok kata (
frasa ) dan lagu klausa atau intonasi , titinada , tekanan,dan asen .
[ 4 ]
Intonasi
Bila kita
menuturkan kalimat-kalimat , nada suara berubah-ubah , menurut tinggi
rendahnya.Nada suara kita berubah-ubah menurut satuan-satuan yang kurang lebih
sama dengan panjangnya kalimat masing-masing. Intonasi juga dapat
disebabkan oleh unsur-unsur lain yzng tida berhubungan dengan
jenis kalimat yang membawahi seperti halnya dengan intonasi yang menunjukkan
rasa sedih atau rasa gembira
[ 5 ]
Nada
Titinada ( nada
) dijumpai juga sebagai nada yang lebih terpisah, artinya yang tida mutlak
menjadi bagian dari lagu intonasi. Misalnya, silabe yang diberi tekanan
biasanya juga dituturkan pada nada yang lebih tinggi. Nada menyertai juga
silabe
( atau
bunyi vokal di dalamnya ) dalam bahasa tertentu,untuk membedakan kata-kata yang
sama” segmental “bahasa-bahasa yang seperti itu disebut bahasa nada.
[6 ] Aksen,tekenan (dan nada)
Yang paling rumit d antara bunyi-bunyi suprasegmental adalah apa yang di sebut
“aksen” dan”tekenan”.bila “tekanan” di tafsirkan sebagai kasus amplitudo,yaitu
kerasnya bunyi
[7] Apa
itu silabe
sturuktur suku kata atau silabe ;dan sekedar penjelasan tentang fonetik
akustik.
· Suku
kata ,atau silabe adalah satuan ritmis terkecil dari hasil Bunyi-bunyi bahasa
dalam arus udara
· Bunyi
vokallah yang menampung puncak sonoritas dalam silabe ,karna vokallah yang
palingg banyak memakay rongga mulut dan rongga hidung ,yang bangunya menentukan
vokal masin-masing
[8] Puncak
silabis
puncak silabis adalah apa yang di sebut “bunyi silabis”,yaitu bunyi yang paling cocok untuk menjadi puncak kenyaringan di dalam silabe
puncak silabis adalah apa yang di sebut “bunyi silabis”,yaitu bunyi yang paling cocok untuk menjadi puncak kenyaringan di dalam silabe
Kesimpulan;
bunyi yang paling tepat untuk menjadi puncak sila bis adalah:vokal lalu
konsonsm tak brsuara kontinuan ; akhirnya konsonan tak berbunyi kontinuan
Setelah membahas bunyi segmental dad bunyi suprasegmental, dalam fonetik masih
tinggal dua pokok yang penting;
[9] Batas
silabe (dan batas kata)
Yang menunjukkan sifat fonetis (dari pada fonologis atau morfologis) dari
silabe itu nampak juga dari batas silabe dalam berbagai bahasa ,termasuk bahasa
indonesia dan bahasa jawa,
Ø Mengapa
pemisahan silabis sebelum [n] itu?
Karna itu
memang pelafalan indonesia
Kembali ka
bangsa indonesia , perhatikanlah bahwa pelavalan yang menarik konsonan tertentu
ke silabe yang berikutnya kadang-kadang melawan kaidah morfemis
Ø Bentuk
silabe mengikuti kaidah-kaidah tertentu yang “otonom” terhadap batas morfomis
,malahan terhadap batas kata dalam bahasa-bahasatertentu
BAB 6
FONOLOGI:
DASAR-DASAR
[ I ] Pengantar
Yang mau di persoalkan sekarang adalah apakah cara macam itu memang dapat
disebut “ identifikasi “ dalam arti yang lebih luas? Misalnya,dalam bahasa
inggris ada bunyi [t],seperti dalam kata stop,dan bunyi],seperti dalam
kata top.Apakah kedua bunyi itu merupakan bunyi yang tidak sama,ataukah dua
bentuk dari satu bunyi yang sama? Contoh lain:kata Indonesia kanak-kanak
berakhir dengan bunyi hamzah [?],sedangkan bunyi ketiga dari akhir dalam kata
kekanak-kanakan adalah bunyi [k].Apakah hamzah dan [k] itu merupakan dua bunyi
yang berbeda identitasnya ataukah hanya dua bentuk saja dari bunyi yang sama?
Fonologi boleh disebut ilmu bunyi yang “fungsional” misalnya,dalam bahasa
inggris, [t] dalam stop dan [] dalam top
kebetulan merupakan bunyi yang “sama” secara “fungsional”.Bunyi fungsioanal
kita sebut “fonem”.Jadi, [t] dan [] merupakan dua
bentuk yang berbeda dari “fonem” yang sama.Fonem itu di lambangkan sebagai
huruf [t] diapit di antara dua garis miring:/t/.Demikian pula, bunyi [?] dan
[k] dalam bahasa indonesia merupakan dua bentuk yang berbeda dari fonem /k/
yang sama.
Identitas fonem berlaku hanya di dalam satu bahasa sama saja.Misalnya,bentuk
[t] dan [] dari fonem
/t/ berlaku untuk bahasa inggris ,tetapi dalam bahasa tertentu yang lain /k/ dan
/?/ merupakan fonem-fonem yang berbeda
Di sini muncullah berbagai pokok pembahasan:
[i] pembuktian
empiris menyangkut identitas fonemis dalam bahasa tertentu;
[ii] “beban
fungsional” dari masing-masing fonem dalam bahasa tertentu;
[iii]perubahan
“alofonemis” fonem tertentu menurut “lingkungannya” {sering disebut “alternasi”
alofonemis};
[iv]masalah
penafsiran bunyi tertentu sebagai satu atau sebagai dua fonem;dan
[v]pengkhazanahan
fonem .
[2] Identitas
fonem sebagai identitas pembeda
Ilimi linguistik adalah ilmu empiris.Menyangkut hal identitas fonem,hal itupun
merupakan hal empiris.Seperti itu perlu di buktikan secara empiris.Dasar bukti
identitas fonem adalah apa yang dapat kita sebut “fungsi pembeda” sebagai sifat
khas fonem itu.Ingatlah contoh yang diberikan dalam bab 2,pasal [2]:tentang
rupa dan lupa.Satu-satunya perbedaan diantara kedua kata indonesia itu ialah
menyangkut bunyi pertama,[I] dan [r].Oleh karrena semuanya yang lain dalam
pasangan kedua kata ini adalah sama,maka pasangan tersebut disebut “pasangan
minimal”: Perbedaan didalam pasangan itu adalah “minimal” (disebut “perbedaan
minimal”).
Selanjutnya bandingkan perbedaan antara [ ] dalam top dan
[t] dalam stop.Apakah top dan stop merupakan pasangan? Tentu saja:top dan stop
adalah dua kata yang berbeda.Apakah pasangan itu merupakan pasangan minimal?
Tentu saja tidak,karrena, selain dari perbedaan antara [ ] dan [t] masih
ada perbedaan yang lain:stop memiliki /s/ dan top tidak.Kesimpulannya:pasangan
(yang tidak minimal) top-stop tidak dapat membuktikan bahwa [ ] dan [t]
merupakan fonem yang berbeda.
Untuk membuktikan bahwa [ ] dan [t]
merupakan fonem-fonem yang berbeda (dalam bahasa inggris),perlulah dicari
pasangan minimal dengan perbedaan di antara [ ] dan [t]
sebagai perbedaan minimal.Akan tetapi pasangan seperti itu tidak akan anda
temukan dalam bahasa inggris:tidak ada dalam bahasa tersebut.
Istilah “oposisi” dan “kontras” memainkan peranan penting dalam penelitian
fonologis.Kata lupa dan rupa dikatakan “beroposisi”,atau “berkontras”.(maka
sering di tulis dengan panah kembar diantaranya,lupa rupa,atau
dengan tanda titik dua,lupa:rupa) oposisi di bedakan di bedakan sebagai “oposisi
langsung” dan “oposisi tidak langsung”.
[3] “Beban
fungsional”
Dalam fonologi sering pula dibicarakan tentang “beban fungsional”
dari oposisi fonemis tertentu.Amatilah oposisi /k/ dan /g/ dalam bahasa
inggris:kita temukan dalam banyak sekali pasangan,seperti
back:bag,beck:beg,bikker:bigger,cot:got;dan lain-lainnya yang tidak sedikit
jumlahnya.Maka kita katakan bahwa “beban fungsional” dari oposisi /k/:/g/ dalam
bahasa inggris adalah “tinggi”.Sebaliknya,oposisi inggris antara // dan fonem manapun
yang lain adalah “rendah”,oleh karena fonem // jarang di
temukan dalam bahasa ini.Conto-contoh fonem // itu kita
dapati dalam leisure (Inggris Inggris /leə/,dan Inggris
Amerika /lÎʒər/ ‘waktu senggang’,measure /meʒə/ ‘ukuran ‘,rouge /ruʒ/
‘warna merah-merahan’; ‘merah pipi’,tetapi tidak ada banyak kata dengan
fonem // itu.
[4]Alternasi
alofonemis
Bentuk-bentuk [t] dan [] kita sebut
“alufun-alufun” dari fonem /t/.Perbedaan di antaranya memang bersifat
fonetis,tetapi dari sudut funulugi “alufun-alufun” itu dapat di pandang sebagai
“anggota-anggota” dari fonem /t/ itu.Lalu dapat kita tanyakan:perbedaan
alofonemis berdasarkan “lingkungan” alofon tersebut.Fonem /t/ pada awal
kata,langsung di susun vokal,seperti pada kata top,memang []
pengucapannya:bila tidak pada awal kata seperti pada kata stop,pengucapannya
adalah [t].
Alofum lain lagi dari fonem /t/ dalam bahasa inggris ialah pelafalan /t/ pada
akhir kataseperti dalam
kata hat atau that : sering diartikulasikan dengan implosi
tetapi tanpa eksplosi: ujung lidah dibiarkan saja tetap pada ceruk,tanpa
melepaskannya.
Karena lingkungan fonem sebagai dasar perbedaan-perbedaan alofonemis,maka
(secara tak langsung) kita dapat menyimpulkan pada bahwa /h/ dan /n/ dalam
bahasa Inggris terpaksa merupakan fonem-fonem yang berbeda.Alasannya adalah
sebagai berikut. Untuk status fonemis kedua bunyi tersebut ada hanya dua
kemungkinan: [i] kedua bunyi itu merupakan dua fonem yang berbeda;atau [ii]
kedua bunyi itu merupakan dua alofon dari fonem yang sama. Kemungkinan [ii]
tidak masuk akal,karena terlalu berbeda pengartikulasiannya dari masing-masing
bunyi,dan kedua bunyi itu,dalam lingkungan yang tidak sama,paling sedikit
haruslah pada tempat yang sama (misalnya,bunyi terakhir,atau bunyi pertama,di
dalam kata).Maka dari itu tinggal hanyalah kemungkinan [i] saja.
(Hal itu dapat
kita rumuskan begini:Alternasi alofonemis adalah “teramalkan” dari
lingkungan).Misalnya alofon Inggris []terdapat hanya
sebagai konsonan pertama sebelum vokal;dan alofon [t] terdapat hanya dalam bila
/t/ itu tidak ada pada awal kata.
Perhatikanlah contoh dari bahasa Jerman berikut.Vokal tertentu,misalnya
/i/,seperti dalam kata ich ‘saya’,didahului oleh bunyi [ʔ]:pelafalannya: [ʔifi]
Padahal,bila tidak pada awal kata ,/i/ tidak didahului oleh bunyihamzah itu (nicht ‘tidak’dilafalkan
/nifit/).
Sebelum mengakhiri pasal ini,perlu dipaparkan juga apa yang disebut “variasi
bebas”.Variasi bebas menyangkut adanya lebih dari satu bentuk kata,untuk
kata-kata tertentu,menyangkut bentuk fenomisnya.Misalnya dalam bahasa Indonesia
ada “[pasangan” telur / telo,berjuang / berjoang,nasehat / nasihat,dan lain
sebagainya.Perhatikanlah bahwa pasangan-pasangan tersebut adalah pasangan
minimal: perbedaan antara telur dan telor dan di
antara pejuang dan pejoang,adalah perbedaan minimal,yaitu di
antara /u/ dan /Ò:Namun,ada dua hal yang menarik perhatian dalam pasangan
seperti itu.
Kesimpulannya jelas:pasangan-pasangan kata tertentu menyangkut perbedaan
(biasanya
minimal) secara fenomis,tidak secara alofenomis,dan “pasangan” tersebut
semata-mata merupakan dua bentuk darisatu kata,bentuk yang kebetulan
berbeda,secara fonemis.
[5]Penafsiran
ekafonem dan penafsiran dwifonem
Amatilah kata Inggris bridge ‘jembatan’.Apakah bentuk fenomisnya
/bridʒ/ (dengan jumlah fonem 5),ataukah /brid/ (dengan 4
fonem)? Apakah [d] + [ʒ] merupakan dua fonem,yaitu /d/ dan /ʒ/.ataukah satu
fonem saja,yaitu /d/? Penafsiran
terkhir disebut “penafsiran ekafonim” dan penafsiran pertama kita sebut
“penafsiran dwifonem”.Contoh lain diambil dari bahasa Indonesia.Bagaimana
tulisan fonemis dari kata banyak itu: /banyak/(fonem) atau /bañak/ (5fonem)?.
Tentu saj,bila dalam kata bridge kita akui adanya baikfonem /d/
maupun fonem /ʒ/,maka /d/-nya berwujud bukan secara
alveolar,melainkan secara laminal;akan tetapi hal itu mudah dimengerti:akibat
artikulasi laminal dari /ʒ/,maka [d] yang laminal di depannya merupaka alofon
dari fonem /d/ (yang “biasa” alveolar itu).
Pilihan antara penafsiran akafonim dan penafsiran dwifonim kita dapati juga
dalam hal bunyi kembar atau jeminat.Analisislah kata Itali cassa ‘dos’,’kasa’.Apakah
/kasa/ (ekafonem) atau /kassa/ (dwifonem)? (Para ahli linguistik lazimnya
menafsirka bunyi yang bersangkutan secara ekafonim).
Yang penting untuk anda ialah supaya anda menyadari akibat-akibat dari
penafsiran yang anda pilih,seperti dijelaskan tadi.Namun diantara akibat-akibat
itu haruslah kita perhitungkan juga tradisi-tradisi yang sudah ada dalam
masyarakat.Sebagai contoh amatilah sekalilagi bunyi laminal dalam kata
Indonesia menyalak.Ingatlah bahwa para ahli linguistik yang pernah
mempersiapkan Ejaan Baru Yang Disempurnakan memandang bunyi laminal sengau itu
secara ekafonim yaitu,sebagai /ñ/. Karena itulah pemenggalan kata menyalak ini
pada akhir baris secara baku adalah me-nyalak.
[6]Pengkhazanahan
fonem
Dalam penelitian bahasa yang tertentu,para ahli fologi mendaftarkan semua
fonem di dalam bahasa itu.Keseluruhan fonem-fonem itu disebut “khazanah”
atau pembendaharaan fonem-fonem itu. (Yang dimaksud lazimnya adalah fonem-fonem
segmental.),jumlah fonem dalam setiap bahasa adalah agak terbatas—biasanya
antara 20 dan 40 buah. Setiap fonem (atau hampir setiap fonem)mempunyai
sejumlah alofon,jadi jumlah alofon dalam bahasa manapun mudah mencapai beberapa
ratus.Maka dari itu tugas pengkhazanahan fonem dalam suatu bahasa memang
memberikan pengertian yang agak mendalam tentang sistem bunyi-bunyi d dalam
bahasa yang bersangkutan.
BAB 7
FONOLOGI :
PERUBAHAN FONEMIS ; FONEM-FONEM SUPRASEGMENTAL
1.
PENGANTAR
Seperti yang
telah dipaparkan dalam bab 6, pengucap setiap fonem tergantung dari lingkungan
fonem yang bersangkutan dan perbedaan alofonemis tidak menubah identitas fonem
itu sendiri. Akan tetapi, ada juga perubahan pengucapan fonem yang
sedemikian rupa sehiingga bentuk yang “baru” itu menyimpulkan fonem yangg lain.
Disamping asimilasi fonemis masih ada berbagai perubahan yang lain yang
menyebabkan fonem tertentu menajdi fonem lain. Perubahan-perubahan tersebut
antara lain: modifikasi vokal jenis umlaut, modifikasi vokal jenis ablaut,
modifikasi vokal jenisharmino vookal,netralisasi, hilangnya fonem dan
kontraksi, dismilasi, dan metatesis.
2.
Asimilasi Fonemis
Asimilasi yang
mengubah fonem tertentu menjadi fonem tertentu yang alin disebut “asimilasi
fonemis”. Asimilasi fonemis berbeda dengan asimilasi fonetis,dalam hal ini
bahwa asimilasi fonetis tidak mengubah status fonem bunyi yang dipengaruhi.
Perlu disadari bahwa asimilasi bahwa fonemis hanya berlakuuntuk bahasa tertentu
saja. Bahasa-bahasa didunia agak berbeda-beda dalam hal asimilasi fonemis.
Asimilasi fonemis dibedakan menjadi 3 yaitu, asimilasi progresif, asimilasi
regresif, asimilasi, timbal balik atau resiprokal.
3.
Modifikasi Vokal : Umlaut
Modifikasi
vokal yang fonemis, artinya modifikasi yang menyebabkan fonem vokal tertentu
berubah menjadi fonem vokal yang lain,ada yang bermacam-macam. Istilah “umlaut”
(dapat juga disebut “mutasi” dan “metafoni”) diartikan sebagai perubahan vokal
lebih tinggi.
4.
Modifikasi Vokal : Ablaut
Modifikasi
vokal “ablaut” (atau “opofoni” atau “gradasi vokal”) adalah perubahan
vokal yang kita temukan dalam bahasa-bahasa german. Secara diakronik, ablaut
itu berdasarkan aksen, dan karena itulah termasuk fonologi, yang penting kita
sadarilah ialah bahwa ablaut berbeda dengan umlaut dalam beberapa hal. Pertama,
umlaut adalah peninggian vokal, dibawah pengaruh vokal tinggi dalam silabe yang
berikut, sedangkan ablaut secara diakronik tidak berasal dari pengaruh silabe
yang berikut.
5.
Modifikasi Vokal : harmoni vokal
Modifikasi
jenis lain adalah apa yang disebut “Harmoni vokal” atau “keselarasan vokal”.
Harmoni vokal adalah perubahan vokal yang dibawah pengaruh vokal yang lain,
sedemikian rupa sehingga vokal dalam bentuk setiap silabe (dalam kata yang sama)
secara fonemis berubah menjadi vokal yang lain.yang penting dicatat disini
adalah bahwa keselarasan melibatkan kualitas vokal, menurut 3 sifat: depan
belakangnya, tinggi rendahnya, dan bundar tidaknya.
6.
Netralisasi atau Arkifonem
Fungsi fonem
adalah membedakan makna suatu fungsi yang nampak dalam pasangan
minimal.Netralisasi adalah alternasi fonem (bukan alternasi alofonemis saja)
akibat pengaruh lingkungan.
7.
Hilangnya Fonem Dan Kontraksi
Dalam semua
bahasa didunia, penutur-penuturbahasa untuk “menghemat” tenaga dalam pemakaian
bahasa dan memperpendek tuturan-tuturunanya, sejauh hal itu tidak menghambat
komunikasi, dan tidak bertentanga dengan budaya tempat bahasa tersebut dipakai.
Perpendekan tuturan mengikuti hukum-hukum yang bermacam-macam. salah satu
diantaranya adalah kaidah fonologis : yang paling mudah diperpendek adalah
segmen-segmen yang tidak bertekana.contoh: shan’t (dari shall not), won’t (dari
will not). perpendekan seperti itu yang dinamakan “hilangnya bunyi” atau
“hilangnya fonem” (satu atau lebih) ada yang berupa “kontraksi”.
8.
Disimilasi
Seperti halnya
asimilasi menyebabkan penyamanan dua fonem yang berbeda, mak apa yang disebut
“dismilasi” menyebabkan dua fonem yang sama (berdekatan atau tidak) menjadi
fonem yang lain.
9.
Metatesis
Dalam proses
“metatesis” yang diubah adalah urutan fonem-fonem tertentu. Dalam bahasa
indonesia ada brantas dan bantras, jalur dan lajur, kerikil dan
kelikir.contoh-contoh seperti ini adalah contoh simkonik.contoh diakroniknya
adalah kata portugis almari yang telah menjadi lemari.
10.
Fonem-Fonem Suprasegmental: Pengantar
Bunyi-bunyi
suprasegmental dipandang dari intonasi, titinada dan nada, aksen, dan tekanan.
Sebenarnya, uraian fonetis tentang bunyi-bunyi suprasegmental hanya merupakan
dasar saja untuk uraian fonemis.
11.
Intonasi
Dalam
jenis-jenis kalimat tertentu, intonasi adalah sesuai dengan jenis kalimat dan
besifat fonemis
.
12.
Nada Sebagai Pembeda Leksikal : bahasa nada
Bahasa tertentu
membedakan kata-kata, atau unsur leksikal, menurut aksen nada.Tonem-tonem juga
memiliki “aloton”, dan bahkan juga asimilasi tonemis.jumlah nada pembeda
leksikal dalam bahasa nada tertentu disebut “rejister nada” dalam bahas yang
bersangkutan.
13.
Aksen, Nada, dan Tekanan
Para ahli
linguistik tidak konsisten pemakaian istilah “aksen” dan “tekanan”.tekan sering
disebut “aksen” bila menjadi sifat khusus untuk unsur leksikal, atau
“kata”.yang menjadi kesulitan khusus adalah bahasa yang memiliki apa yang
disebut “aksen nada” (atau “aksen musikal”).
14.
Perubahan Fonem-Fonem Suprasegmental
Sebagaimana ada
asimilasi, netralisasi, dan perbahan lainnya untuk fonem-fonem suprasegmental,
ada perubahan-perubahan fonemis semacam itu untuk fonem-fonem suprasegmental
pula.
Bab 8
MORFOLOGI :
DASAR –DASAR
1.
Morfologi itu apa ?
Seperti
fonologi merupakan cabang lingiustik yang mengidentifikasikan satuan-satuan
dasar bahasa sebagai bunyi, maka cabang yang namanya “morfologi”
mengidentifikasikan satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal.
2.
Morfem bebas dan terikat ; proses-proses morfemis
Apa “kata” itu
? kata adalah satuan atau untuk “bebas” dalam tuturan. Bentuk “bebas” secara
morfemis adalah bentuk yang dapat berdiri sendiri, artinya tidak membutuhkan
bentuk lain yang digabung dengannya. “Morfem bebas” itu dibedakan dari “morfem
terikat”.Morfem terikat adalah morfen yang tidak dapat berdiri sendiri dan yang
hanya dapat meleburkandiri pada morfem yang lain.
3.
Morfem dasar dan 3 jenisnya
Morfem yang
dileburi morfem yang lain kita sebut “ morfem dasar”, dan yang dileburkan itu
berupa “imbuhan” atau “klitika” atau bentuk dasar yang lain (dalam pemajemukan)
atau yang sama (dalam reduplikasi).Morfem dasar ada tiga macam: “pangkal”,
“akar”, “pradasar”.Morfem pangkal adalah morfem dasar yang bebas.Morfem akar
adalah morfem yang berbentuk terikat.bentuk prasadar adalah bentuk yang
membutuhkan pengimbuhan atau pengklitikan atau pemajemukan untuk menjadu bentuk
bebas.
4.
Morfem Utuh dan Morfem Terbagi
Morfem-morfem
itu dapat berupa morfem “utuh” atau morfem “terbagi”.banyak bahasa tidak
nmemiliki morfem terbagi.dalam bahasa ini morfem akar untuk verba adalah morfem
terbagi, terdiri atas tiga konsonan yang dipisahkan oleh vokal.
5.
Morfem segmental dan Morfem nonsegmental
“Segmental”
artinya morfem macam ini semua dapat diidentifikasikan sebagai satuan pada
“garis” dari kiri ke kanan (meskipun “terbagi”, tidak “utuh”, dalam hal morfem
tertentu).nonsegmental adalah merupakan bentuk “tak teratur” seperti (untuk
jamak).
6.
Morfem “nol”
Para ahli
morfologi dalam penelitiannya sering mempergunakan konsep “morfem nol”.morfem
dapat saja ditafsirkan sebagai morfem “segmental”, dalam hal ini suatu segmen
yang berupa “nol”.
7.
Alternasi alomorfemis
Seperti halnya
dengan fonem tertentu yang direalisasikan secara konkret dalam bentuk
alofon-alofon yang berbeda menurut lingkungannya.kaidah-kaidah yang berlaku
untuk alternasi alomorfemis ada dua jenisnya: pertama adalah kaidah
morfofonemis yang berupa fonemis, dan kedua adalah kaidah alomorfemis yang
tidak berupa fonemis.
8.
Morfem, Morf, dan Alomorf
Seperti halnya
dengan bunyi fonetis semata-mata, yang dilambangkan dengan mengapitnya diantara
kurung persegi, dan dengan fonem-fonem yang diapit diantara garis kanan, maka
formem-formem lazim dilambangkan dengan mengapitnya diantara kurung
kurawal.Berbeda dengan morfem itu, alomorf-alomorfnya adalah jauh lebih konkret
,meskipun tetap tidak mutlak perlu berupa segmental.akan tetapi demi perian
yang mudah kita sering membutuhkan suatu bentuk yang keliatannya cukup
konkret.bentuk konkret yang demikian disebut “morf”.
BAB 9
MORFOLOGI:
PROSES MORFEMIS
SEGMNTAL:
AFIKSASI DAN KLITISISASI
[1] Pengantar
Di antara
proses-proses morfemis, yang terpenting adalah afiksasi, yaitu pengimbuhan
afiks.
Afiks ada empat
macam:
a. Prefiks,
Disebut “prefiksasi”.
b. Sufiks, Disebut
“sufiksasi”.
c. Infiks, Disebut
“infiksasi”.
d. Konfiks.
Perlu diingat
bahwa dalam bab ini hanya morfem segmentalsaja yang akan dibahas.
Selain empat
jenis afiks itu, masih dapat dibahas tentang dua fungsi utama yang dimiliki
oleh proses afiksasi, yaitu: Fleksi, Derivasi,
[2] Sekedar
contoh afiksasi
Semua bentuk
afiksasi terdapat dalam bahasa indonesia.
Di antara
prefiks indonesia men {men-} seperti dalam mendapat
Ada pula
prefiks {pen-} seperti dalam pengurus. {se-} setinggi.
Sebagai infiks untuk
bahasa indonesia dapat disebu hanya {-in-} dalam kata kesinambungan.
Berikut ini
disajikan contoh dari bahasa inggris dan dari berbagai bahasa yang lain.
Bahasa inggris
prefiks: {un-} unneasy. {dis-} disable
Bahasa itali
memiliki sistem yang berbelit-belit. Misalnya: seprti chiudo `aku
menutup’, chiudi `engkau menututupi’
[3]
Konfiks atau prefiks plus sufiks?
Salah satu hal
yang dapat menjadi masalah analisis adalah kesulitan untuk membedakan
konfiksasi dari pengimbuhan rangkap –oleh prefiks dan sufiks pada bentuk dasar
yang sama.
Telitilah
struktur morfemis kata-kata indonesia seperti kelupaan, kejatuhan,
dan lain sebagainya. Apakah prefiks ?*{ke-} ditambah sufiks ?*{-an}, ataukah
ambitiks {ke-I-an}? Tentunya bahasa ini memiliki prefiks {ke-} seperti
dalam ketujuh dan sufiks {-a} seperti dalam bangunan,
tetapi kata-kata tersebut tidak dalam kelas kata dengan anggota seperti kelupaan dan kejatuhan.
Dengan analisis
seperti ini dapat kita buktikan juga adanya prefiks plus sufiks, dan bukan
ambifiks, dalam kontruksi morfemis tertentu.
Lalu
bagaimanakah kontruksi seperti memuatkan, atau memperingati? Menyangkut
pasangan pertama, anda akan mencatat bahwa ada juga verb memuat.
[4] Tipologi
prefiksasi dan sufiksasi
Istilah
“tipologi” dalam linguistik berarti “jenis” bahasa, atau penelitian tentang
“jenis” bahasa.
Bahasa-bahasa
di dunia berbda-beda menurut sifat-sifat tertentu.
Marilah kita
amati tipologi dengan morfologi yang rumit, dan sebagai contoh-contoh
bandingkan bahasa hibrani, turki, jepang, dan indonesia.
Hibrani
(1)(a) kat:ta
se:pe `ia
[dulu] menulis buku.
{verba}
+ {perfectif}
Turki
(2)(a) gor `lihatlah’
{verba}.
Jepang
(1)(a) yomu-ka `apakah
[ia] membaca?’
Indonesia
(1)(a) ia turun
hanya {verba}
monorfemis.
Perhatikanlah
susunan beruntun morfem-morfem tersebut. Dalam bahasa hibrani dan dalam bahasa
indonesia. Bahasa hibrani dan bahasa indonesia secara umum adalah bahasa
pemrefiks, sedangkan bahasa turki dan bahasa jepang adalah bahasa penyufiks.
[5] komplikasi
diakronik dalam penelitian morfologis
Untuk bahasa
tertentu, diskripsi morfologis menghadapi komplikasi yang sumbernya bersifat
diakronik: perkembangan bahasa di masalalu
Kompliksai
diskripsi morfologi tampak jelas dalam bahasa ingris merupakan akibat dari
banyaknya pemungutan kata dari bahasa prancis dulu dan juga akibat pembentukan
kata-kata baru atas dasar bahasa latin dan yunani atau hususnya untuk
istilah-istilah di bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu kedokteran, ilmu
pamakologi dan ilmu lainnya seperti verba-verba permit permit ‘ mengijinkan’
remit “mengampuni “.jeleas ada bentuk asli dalam kurung {: mit} yang berupa
morfem dasar bentuk tersebut pernah di pungut dari verba latin mittere, yang
artinya ‘mengutus atau’ melemparkan .
Prefiks {per_}
dalam bentuk berprefiks yang sama seperti persuade ‘meyakinkan’.permutation
‘perubahahan’ .termasuk tentunya permission’ijin’ yang berasal dari verba
permit ): morfem (per) itu jelas berstatus frefiks, dengan” beban fungsional”
yang cukup tinggi dengan prefix ( re-) (report, melaporkan dan banyak lainnya
), ( ad-) dengan banyak alternasi morfofonemis seperti afektif ‘ afektif’
Bahasa
Indonesia juga menunjukkan komplikasi diakronik ini seperti hususnya akibat
pemungutan kata dari bahasa arab misalnya : sulit mendiskripsikan kata hakiki
yang berasal dari kata hakikat atau ilahi dari alloh
{6} teknik
diskripsi morfologis
Para ahli
linguistic suka menganalisis datanya secara morfemis juga dalam deskripsi
sintaksis karena pengertian sintaksis menuntut adanya pengertian morfologis
Singkatan
deskripsi morfologis ini dipergunakan untuk analisis teks yang
memang selalu terdiri dari kalimat-kalimat. Para ahli linguistic mempergunakan
tiga baris baris pertama memuat teks itu sendiri, yang tidak lain adalah data
dan dinamai baris dasar baris kedua memuat analisis morfem demi morfem dan
baris itu di sebut glose atau terjemahan antar baris atau
interlinear baris ke tiga memuat terjemahan bebas.
{7} paradikma
fleksi dan derivasi
Dalam
penelitian morfologis, ada berbagai kemingkinan untuk menggolong golongkan
kontruksi-kontruksi morfemis. Misalnya menurut penngafiksan dan jenis-jenisnya
namun yang paling masuk adalah penggolongan menurut morfem yang sama contoh
kontruksi morfemis mengajar , dari morfem pradasar ajar seperti mengajara,
belajar, pelajaran dan seterusnya. Golongan bawahan dalam pradikma ajar itu :
ajar itu misalnya hubungan antara mengajar dan di ajar agak erat tetapi antara
pelajar dan kuajari kiranya lebih jauh hubungannya
Golongan
bawahan yang terpenting dalam pradikma morfemis adalah golongan yang
berdasarkan fleksi dan golongan berdasarkan derivasi .golongan fleksi atau
infleksional adalh daftar pradikmatis yang terdiri atas bentuk kata yang sama
sedangkan golongan derivasi kata yang tidak sama misalnya bentuk mengajar dan
diajar adalah dua bentuk ( aktif dan pasif)
Sebenarnya
memakai istilah pradikma hanya untuk daftar alternal-alternal di dalam batas
yang sama, jadi secara fleksi saja dan dalam buku in I kitapun memakai
pengertian tersebut dengan secara fleksi. Akan tetapi apa maksud kata yang sama
dan kata yang tidak sama?” yang dipersoalkan dengan istilah – istilah tersebut
adalah identitas kata tau identitas leksikal. Sebagian hal ini adalah hal yang
intuitif misalnya kata inggris yang bentukanya roof dan
roofs atau tunggal dan jamak. Perbedaan antara tunggal dan jamak
hnya fleksi saja namun tidak semua kasus alternasi morfemis dan kita
membutuhkan kriteria untuk penentuan identitas leksikal. Ada dua
perbedaan kelas kata perbedaan makna. Contoh perbedaan pertama
antara mengajar dan pengajar. Mengajar adalah verba, dan pengajar
adalah nomina dua kelas kata yang berbeda. Hubungan pengajar dan mengajar
adalah hubungan deripasi atau hubungan derivasional.
(8) Klitika
Morfem – morfem
yang namanya klitika termasuk paling sulit dalam analisis gramatikal. Klitika
adalah morfem yang pendek paling- paling dua silabe biasanya satu tidak dapat
diberi aksen atau tekanan apa – apa melekat pada kata atau perasa. Klitika juga
tidak terikat pada kelas tertentu. Klitika dibedakan menjadi “
proklitika dan engklitika, menurut posisinya: disebelah kiri atau disebelah
janan dari kata yang menjadi “ tuhan” tuhan rumahnya. Dalam bahasa indonesia,
pun dan – lah Dan engklitika, dan contoh dari proklitika dalam bahasa in I
adalah pronominal dalam kontruksi verba tertentu. Sifat klitik dari
pronominal tersebut jelas berhubungan dengan bentuk verbal.
BAB 10
MORFOLOGI :
BERBAGAI JENIS FLEKSI
[1] Pengantar
Fleksi, atau
morfologi infleksional adalah proses morfonis yang diterapkan pada kata sebagai
unsur yang diterapkan pada kata fleksikal yang sama. Jenis – jenis
fleksikal ada Sembilan bagian: afiksasi, segmental, reduplikasi, fleksi, non
segmental
[2] Bahasa
pemarkah induk dan bahasa pemarkah bawahan
Bahasa-bahasa
di dunia agak berbeda dalam hal fleksi. Ada yang tidak (atau hampir tidak)
memiliki fleksi (seperti bahsa cina dan bahasa vietnam). Bahasa yang berfleksi
dapat di bedakan menjadi tiga jenis: bahasa pemarkah induk, bahasa pemarkah
bawahan, bahasa pemarkah rangkap.
Untuk memahami
penggolongan ini, perlu di ketahui apa itu”induk”, dan apa itu “bawahan” .
untuk sekarang, kiranya cukup beberapa contoh saja, karena apa itu “induk” dan
“bawahan” cukup mudah dimengerti. Dalam klausa Seniman ini menggambar
puteri, maka verba menggambar adalah (konstituen) “induk”,
sedangkan baik seniman ini maupun puteri merupakan
(konstituen) “bawahan”. Demikkan pula, dalam frasa seniman ini, maka
induknya adalah seniman dan bawahannya adalah ini.
Dalam bahasa
pemarkah induk, maka hanya induk itu sajalah yang dimarkahi secara morfemis,
dan bwahanya tidak; dalam bahasa pemarkah bawahan, hanya bawahan sajalah yang
di markahi dan induknya tidak; akhirnya, dalam bahasa pemarkah rangkap baik
induk maupun bawahan dimarkahi.
Bahasa
Indonesia untuk sebagian besar berupa bahasa pemarkah induk. Tak ada kasus
nominal, tetapi verba sering dimarkahi untuk hubungannya yang sintaktis itu.
Dalam frasa seperti anak Pak Tarjo tak ada pemarkahan samasekali,
tetapi dalam frasa jawa anak-e Pak Tarjo induk induklah (anak) dan
bukan bawahannya yang dimarkahi.
[3] Paradigma
morfologis dan paradigma perifratis
Setiap bahasa
memiliki “siasat” untuk membentukkan paradigma, istilah “paradigma” di dini dipakai
dalam arti lebih luas. Sekedar contoh akan menjelaskan apa yang di maksudkan.
Dalam bahasa
Jepang bentuk verbal arimasu berart “ada” (hanya untuk hal-hal yang
tidak bernyawa), dan arimasen berarti “tidak ada”. Demikian pula
bentuk verbal imasu berarti “ada” (untuk bernyawa, khususnya manusia)
dan imasen berarti “tidak ada”.
Hal tersebut
dapat dirumuskan sebagai berikut: “siasat” bahasa Jepang untuk negasi adalah
penyufiksan (siasat morfologis), dan dalam bahasa Indonesia “siasat” itu adalah
leksikal (siasat leksikal). Jadi paradigma (pendek) srimasu, arimasen,
atau imasu, imasen adalah sama dengan paradigma Indonesia ada, tidak
ada. Paradigma Jepang adalah morfologis semata-mata, dan “paradigma” Indonesia
berupa frasa atau berupa “frasal”.
Akan tetapi,
istilah “paradigma frasa” sudah memperluas arti istilah “paradigma”, karena
sebelum ini “paradigma” diberi definisi yang semata-mata ,morfologis. Definisi
frasal dari istilah paradigma hanya di maksudkan untuk tujuan praktis.
Pembahasan
paradigma dalam bentuk frasal juga perlu untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan
di antara bahasa-bahasa di dunia. Negas berupa afiksasional dalam bahsa jepang,
dan leksikal dalam bahasa indonesia. Alternasi “leksikal” dalam paradigma
sering disebut “perifrastis”. Istilah tersebut dapat berguna dalam
deskripsi linguistik. Misalnya dalam bahasa jepang negasi adalah morfologis dan
dalam bahasa indonesia negasi adalah perifrastis (kebetulan dapat juga
morfologis, yakni dalam bentuk tiada).
[4] Afiksasi
berkonjugasi: pengantar
Dengan istilah
“konjugasi” kita maksudkan paradigma (morfologis atau perifratis) verba;
sedangkan paradigma “nominal” (untuk nomina dan ajektiva) disebut “deklinasi”.
Banyak bahasa membedakan bentuk “finit” dan bentuk “nonfinit”. Bentuk finit
mencakup afiks untuk
“kala”,”aspek”,”modus”,”diatesis”,”persona”,”jumlah”,dan”jenis”. Bentuk
nonfiniit meliputi “infinit”,”partisipia” dan berbagai bentuk lainnya.
Bentuk-bentuk ini, bila di afiksasi menurut kiidah-kaidah deklinasi, bukan
konjugasi.
[5] Afiksasi
verba: kala
Kala menyangkut
atau saat (dalam hubungannya dengan saat penuturan) adanya aau terjadinya atau
dilakukannya apa yang diartikan oleh verba. Banyak bahasa memiliki kala “kini”
atau kala “presen”, kala “lampau” atau “preterit”,dan kala “futur”.
Disini menyusul
paradigma Latin, Wels, Jerman Kuno unntuk kala-kala yang di buat hanya untuk
persona pertama tunggal:
Latin
Kala,
persona pertama tunggal, idikatif,aktif dan verba amore (infinitifnya) “mencintai”
Presen amo “aku
mencintai”
Imperfekta amabam “aku[dulu
sedang] mencintai”
Futur amabo “aku
akan mencintai”
Perfekta amavi “aku
[telah] mencintai”
Anterior amaveram “aku
[sebelumnya sudah] mencintai”
Futur
anterior amavero “aku
akan [berada dalam keadaan] telah mencintai”
Wels
Kala,
persona pertama tunggal, indikatif, aktif dari verba canu (infinitinya) “bernyanyi”
Presen canaf “aku
bernyanyi”
Imperfekta canwn “aku
[dulu sedang] bernyanyi”
Preterit cenais “aku
[dulu pernah] bernyanyi”
Anterior canaswn ‘aku
[sebelumnya sudah] bernyanyi”
Jerman
Kuno
Kala,
persona pertama tunggal, inndikatif dari verba nemon (infinitinya) “mengambil”
Presen nimu “aku
mengambil”
Pretert nam “aku
[dulu pernah] mengambil”
[6] Afiksasi
verbal: aspek
Aspek
menyangkut salah satu segi dari apa yang diartikan oleh verba, yaitu: adanya
(kegiatan atau kejadian) mulainya, terjadinya (atau dilaksanakannya),
berlangsungnya, selesai tidaknya, adanya hasil atau tidak, dan adanya
kebiasaan. Segi “adanya” semata-mata adalah aspek “statif”; segi mulainya
disebut “inkoatif”; terjadinya (atau
dilaksanakannya),”pungtual”berlangsungnya,”duratif”atau “progresif”; selesai
tidaknya, “imperaktif” jika belum selesai dan “perfektif” jika sudah; ada
tidaknya hasil, “resultatif” jika ada hasil atau “nonresultatif”
jika tidak ada;adanya kebiasaan, atau “habituatif”.
Berikut ini ada
contoh aspek verbal yang dimarkahi secara iinfleksional, untuk bahasa ponape,
bahasa konkow, bahasa rusia, bahasa indonesia, dan bahasa latin.
Ponape (Micronesia,
daerah pasifik)
Aspek
perfetiif
i
kanehr rais ‘saya
selesai makan nasi’
Konkow (indian
amerika, rumpun panut)
Aspek
duratif
Nihaj
kanohjen ‘saya
sedang menjadi tua’
Rusia
Aspek
imperfektif dan perfektif
on
priglasil menya ‘ia[pernah]mengundang saya’
(tetapi saya tidak kesana)
on
priglail menya ‘ia[pernah]mengundang
saya’ (dan saya memang ke sana)
Latin
Aspek
inkoatif
Rubesco ‘[muka]
saya memerah’
Indonesia
Aspek
statif
Korban
berdarah
[7] Afiksasi
verbal: modus
Modus adalah
pengungkapan sikap penutur terhadap apa dituturkannya. Secara infleksional
sikap itu nampak dalam modus verbal seperti
‘indikatif”,”subjungtif”,”opiatif”,”desideratif” dan juga sebagai “interogatif”
dan “negatif”. Seperti halnya kala dari aspek, moduspun dapat berupa
perifrastis. Misalnya optatif diungkapkan dalam bahasa indonesia dengan semoga
(semoga ia berhasil), dalam bahasa inggris dengan verba modal may (may he
live long).
Berikut adalah
contoh modus subjungtif secara afiksasional dalam bahasa latin, bahasa jepang,
dan bahasa yunani kuno.
Latin
Modus
subjungtif, persona pertama, tunggal, aktif, berrbagai kala, dari verba amare
Presen amem ‘semoga
aku mencintai’
Imperfekta amarem ‘semoga
aku mencintai [sekiranya mungkin]’
Perfekta amaverim ‘semoga
aku [telah] mencintai’
Anterior amavissem ‘semoga
aku [telah] mencintai’
Jepang
Modus
interogatif
Arimasuka? ‘apakah
ada’
Yunani
kuno
Modus
optatif
Genolto ‘semoga
terjadi’
Jepang
Modus
negatif
Arimasen ‘tidak
ada’
[8] Afiksasi
verbal: diatesis
Diatesis adalah
bentuk verba transitif yang subjeknya sedemikian rupa sehingga dapat atau tidak
dapat berperan ajentif. Diatesis dibedakan sebagai “aktif” dan “ pasif”, dan
dalam bahasa tertentu juga sebagai “medial”. Contohnya adalah kalimat bahasa
inggris All have read the book sebagai aktif dan The book has
been by all sebagai pasif.
Berikut
ini menyusul contoh dari bahasa Latin dan dari bahasa Yunani Kuno.
Latin
Diatesis
aktif dan pasif, kala presen dan imperfekta, indikatif, persona
pertama, kedua,
ketiga, tunggal, dan jamak, dari verba amare ‘mencintai’, amo ‘aku ‘mencintai’, amor ‘aku
dicintai’, amabem‘ aku [dulu] mencintai’, amaber ‘aku
[dulu] dicintai’,
dan seterusnya untuk persona lainnya tunggal dan jamak.
Yunani
Kuno
Diatesis
aktif, pasif, dan medial, preterit (namanya “aorist”), indikatif, dari
verba louein ‘memandikan’
: elousa ‘saya [pernah] memandikan’, elou-samen ‘saya
pernah bermandi’, elouthen ‘saya pernah
dimandikan’, dan seterusnya semikian
untuk persona
lainnya, tunggal dan jamak (perhatian: e- pada awal disebut “augmen”
– yang dipakai untuk kala tertentu dalam bahasa ini),
dan e- ini plus akhiran dapat
di analisis
sebagai konfiks).
[9] Afiksasi
verbal: persona, jumlah, dan jenis
Banyak bahasa
memarkahi verba untuk “persona”, “jumlah”, dan “jenis”, sesuai dengan Subjek,
Objek, atau frasa nominal yang lain dalam kalimat dan tidak jarang untuk lebih
dari satu frasa nominal itu.
“Persona”
dibedakan sebagai “pertama”, “kedua” dan “ketiga”, dan sering memang juga
menurut jumlah, yaitu “tunggal”, “jamak”, “dual” (yaitu untuk jumlah dua),
“trial” (untuk jumlah tiga) dan “paukal” (yaitu untuk jumlah yang hanya
beberapa saja). Akhirnya, banyak bahasa membedakannya menurut “maskulin” dan
“feminin”, dan ada bahasa juga yang memiliki jenis yang ketiga, yaitu
“neutrum”.
Dalam pasal ini
kita pusatkan perhatian pada paradigma infleksional saja. Pemarkahan verba
untuk persona, jumlah dan jenis disebut “persesuaian”. Persessuaian ini tidak
ditemukan dalam bahasa-bahasa tertentu: misalnya, bahasa jepang tidak tidak
memiliki persesuaian verbal dengan dengan frassa nomonal apa pun (kecuali
secara “sosial”: ada sufiks –u atau –ru untuk verba dalam
bahasa informal, dan –masu (presen), -mashita (preterit)
dan seterusnya dalam bahasa halus).
Bahasa
Indonesia tidak memarkahi verba yang berawalan men- untuk persona dan
jumlah dari subjek, tatapi memang memarkahinya untuk Objek anaforis
(misalnya mengundangku, memandangnya, dan seterusnya), dan verba
transitif tanpa men- dimarkahi untuk “pelaku” (dibantingnya, kubuat, dan
lain-lain serupa).
Indonesia
(16)
Persesuaian menurut persona dan jumlah,
Verba mengundang ,
bentuk-bentuknya dengan di- dan bentuk lain tanpa men-, masing-masing
menurut “pelakunya”:
Bentuk di- bentuk
lain tapi men-
1
t. kuuundang
2
t. kaundang
3
t. diundangnya (dia
0-undang)
Morfem
“nol” “dipostulasikan” (istilahnya) di lajur kanan, artinya morfem {:undang}
merupakan morfem pradasar, sehingga terpaksa kita postulasikan adanya 0-
itu bila yang mendahului adalah pronomina bebas.
Toraja
(17)
Persesuaian menurut persona dan jumlah, verba {:sua} `suruh`, benntuknya
dengan di- (pasif), masing-masing menurut subjeknya (bukan pelakunya!):
dan verba {:tankan} `tangkap`.
[10] Asifikasi
Berdeklinasi Pengantar
Afiksasi
paradigmatis tipe deklinasi adalah afiksasi menurut “kasus”, “jumlah”, “jenis”,
dan diterapkan pada kelas-kelas kata yang “nominal”, yaitu “nomina”,
“ajektiva”, “pronomina”, dan berbagai bentuk nonfinit dari verba seperti,
misalnya, partisipia.
Bahasa
Indonesia tidak ada proses afiksasional untuk jumlah, tidak ada kasus nominal,
tidak ada persesuaian antara ajektiva dan nominal, dan tidak ada bentuk
morfologis yang berupa partisipia
“kasus” adalah
bentuk nomina dan pronomina. Misal objek (langsung) dalam bahasa latin berupa
kasus akusatif, objek tak langsung berupa kasus datif, dan konsep milik di
ungkapkan dengan kasus jenitif
[11] Deklimasi
Pengafiks: kasus
Dalam
bahasa inggris nomina membedakan kasus “jenitif” yaitu kasus untuk pemilik,
dari bentuk yang tidak berkasus, dan pronomina( kecuali it dan you) membedakan
kasus “nominatif” dari kasus “akusatif”, yaitu kasus sebagai objek atau sesudah
preposisi.
Inggris
(18) Kasus
nominatif, jenetif, akusatif, nomina dan pronomina
Konsep milik
pronominal diunggkapkan dengan pronomina posesip: my, your, his,
dan seterusnya; pronomina ini adalah ajektival sifatnya.
Bahasa latin
memiliki enam kasus, masing-masing “nominatif”, “jenitif”, “datif”,
“akusatif”,”vokatif”, dan “ablatif”.
Latin
(19) sistem
kasus nominal, tunggal dan jamak.
Bahasa
finlandia memiliki tidak kurang dari 16 kasus.
Finlandia
(20) Sistem
kasus nominal, tunggak dan jamak, nomna talo `rumah`:
Tunggal jamak
Nominatif talo talot
Jenitif talon talojen
Akusatif talon talot
Partitif taloa taloja
Instruktif taloin
Komitatif taloine
Abesif talotta taloitta
Esif talona taloina
Prolatif talotse taloitse
Translatif taloksi taloiksi
inesif talossa taloissa
[12] Deklinasi
pengafiks: jumlah
Konsep “jumlah”
meliputi “tunggal” dan “jamak” dalam banyak bahasa, dan diantaranya ada banyak
yang membentukkan jamak dengan pengafiksan. Ada juga bahasa
yang mempunyai jumlah “jual” (untuk jumlah dua) “trial” (untuk
jumlah tiga), atau “paukal” (untuk jumlah tak terinci yang rendah). Dual dan
trial khususnya terdapat dalam sistem pronominal.
Tok pisin
(21) Jumlah (yaitu
tunggal, dual, trial, jamak), pronominal personal (afiks untuk dual dan trial
di cetak tebal; -pela adalah sufiks untuk jumlah “non tungal” ).
Portugis
(22) Jumlah (yaitu
tunggal dan jamak)pronomina demonstratif este `ini` [dekat], esse `itu`
[agak dekat], dan aquele `itu`[agak jauh]
[13]
Deklinasi pengafiks: jenis
“Jenis”
berfungsi dalam banyak bahasa, sebagai “maskulin” dan “feminin”, dan dalam
bahasa tertentu juga sebagai “neutrum”. Pembedaan jenis untuk nomina bersifat
derivasional, tidak paradigmatis, dan tidak berupa deklinasi
Latin
(23) Jenis (maskulin,
feminin , dan neutrum), dari ajektiva bonus ‘baik’ , tunggal dan
jamak.
Jerman
(24) Ajektiva
menurut jenisnya, kasusnya (n=nominatif; j=jenitif; d=datif; a=akusatif)
dan jumlanya, dalam tiga macam konstruksi: [i] ajektiva + nomina,
tampa kata sandang atau promina apa-apa di depanya (namanya “ deklinasi kuat”
untuk ajektiva); [ii] kata sadang definit + ajektiva+ nomina (
namanya, “ deklinasi lemah” untuk ajektiva); [iii] kata sandang
indefinit + ajektiva + nomina ( yaitu, campuran deklinasi kuat dan deklinasi
lemah, dan tentunya hanya tunggal saja).
BAB 11
MORFOLOGI:DERIVASI,REDUPLIKASI,DAN
KOMPOSISI
[1] PENGANTAR
Setelah membahas proses morfemis yang disebut “paradigmatis”, kita siap
menggarap proses morfemis yang lain itu yang namanya “derivasi”
Dalam tatabahasa masih ada 2 proses morfologi lain yaitu, reduplikasi
& komposisi.reduplikasi bersifat paradigmatis,dapat pula bersifat
derivasional.kompoposisi selalu bersifat derivisional.
[2] Sekali
lagi:infleksi & derivasi
Fleksi adalah perubahan morfemis dengan mempertahankan identitas leksikal dari
kata yang bersangkutan, dan derivasi adalah perubahan morfemis yang
menghasilkan kata dengan identitas morfemis yang lain. Misalnya,inggris friend
dan friends termasuk leksem yang sama,sedangkan friend dan
befiend merupakan leksem leksem yang berbeda.
Verba to befriend adalah hasil derivasi dari nomina friend, bukan
hasil infleksi karena dari dua kata itu tidak sama kelasnya yaitu verba dan
nomina.jikalau dua kata dengan dasar yang sama termasuk kelas kata yang
sama,tetapi berbeda maknanya, kedua kata itu berbeda secara leksikal.
[3] Derivasi
dalam bahasa indonesia: verba dan nomina tindakan/penindak
yang agak mendalam; marilah kita mulai dengan derivasi bahasa indonesia
Sebagai contoh,amatilah derivasi dari bentuk pradasar{:ajar:}. morfem pradasar
itu sendiri adalah tidak bebas .yang di turunkan dari padanya adalah,pertama
tama,beberapa verba:mengajar,mengajarkan,mengajari,belajar.sebagaimana kita
lihat,verba “bentuk kutip” yang di pilih adalah bentuk yang berawalan men atau ber.
[4] Derivasi
dalam bahasa indonesia:sekedar contoh lain
Bahasa ini mempunyai banyak tipe pengambifiksan ini.
Yang pertama
adalah tipe yang menghasilkan nomina yang maknanya adalah
‘’penggeneralisasi’’. Misalnya,dari ajektiva indah dapat diturunkan
‘’keindahan; dari rendah, kerendahan dan lain sebagainya.
Ambifiks
ke-|-an tipe lain adalah tipe verbal, yang dapat di sebut ke-|-an
adversatif,yaitu ke-|-an yang mengandung makna sesuat yang merugikan’:
kejatuhab (kelapa),kecurian (radio),kecopetan (domet).
Orang yang
mengalami hal yang merugikan itu adalah orang yang di acu oleh
subjek.arti verba tipe ke-|-an yang ini adalah pasif.tipe verba yang
berambifik ke-|-an yang lain adalah ‘’pasif’’ juga,tetapi tidak secara
‘’adversatif’’: kelupaan,kelewatan,dan lain sebagainya.
[5] Sekedar
contoh derivasi morfemis dalam berbagai bahasa
Siasat siasat derivasional afisaksional yang kita temukan dalam bahasa bahasa
yang bermacam macam memperlihatkan betapa banyak alat alat derivasional
itu.tadi anda sudah mengetahui nomina tindakan dan nomina penindak dalam bahasa
indonesia,serta afiks ‘’pasif’’ dan penominalisasi ;dan juga sufiks –an yang
bermacam macam.
Bahan tersebut pembahasannya sudah menunjukkan berbagai cara untuk meneliti
derivasi afiksasional secara antar bahasa.pada umumnya ada tiga cara:
[i]menurut bentuknya-----misalnya berapa –an ada dalam bahasa indonesia?; [ii]
menurut maknanya----bagaimana nomina tindakan / penindak di bentukkan dalam
bahasa tertentu,dan secara antar-bahasa?; [iii] menurut siasat siasat derivasi
secara antar bahasa.
[6] Alternasi
alomorfemis dalam derivasi
Alternasi beerlaku juga untuk morfem morfem yang menjadi alat derivasi.
Contohnya dalam bahasa indonesia adalah nomina tindakan dan nomina penindak:awalan
pen-(baik prefiks {pen-}maupun awalan konfiks {pen-|-an} ) menjadi /pen/, atau
/pan/, atau /pa/ dan seterusnya,sesuai dengan lingkungan fonologis.
Alternasi morfofonemis itu daoat mempersulit identifikas morfem,misalnya,apakah
prefiks dalam katapemuda itu {pen-} atau {pe-}? Apakah kata /pen/ dalam
kata pengungsi adalah {pe-} (dengan ‘’perkecualian’’ dalam alternasi
,menyimpang dari apa yang biasa disebabkan oleh lingkungan ,menyebabkan adanya
/pen/ ataukan /pen/ dengan alternasi morfofonemis yang ‘’biasa’’ sebelum vokal
(tetapi dengan “perkecualian”sistematis)/selanjutnya adakah dlam bahasa ini
konfiks {pe-|-an} dalam kata seperti pekarangan atau pegunungan.??
[7] Derivasi
secara nonsegmental
Seperti halnya ifleksi (yang pqrqdigmatis itu) dapat berupa
segmental,dapat juga berupa nonsegmental ,,,derivasi pun dapat memanfaatkan
proses morfemis yang nonsegmental :atas dasar fonlogis (sinkronik atau
diakronik),yaitu dengan perubahan vukal umlaut atau ablaut,dan atas dasr
morfologis,berupa modifikasi vokal.
Amatilah kata kata jerman berikut,buch ‘buku’, buchlein ,’buku
kecil’.Pendek kata umlaut itu terjadi (atas dasar diakronik) secara
paradigmatis dalam jamak bucher ‘buku buku’ dan secara derivasional
(kebetulan atas dasar sinkronik)dalam buchlein.
Hal serupa kita temukan dalam ablaut,seperti anda ingat ,contoh ablaut yang
paradigmatis dalam bahasa inggris adalah sing-sang-sung.secara
derivasional ada song ‘nyanyian’,dari verba sing.contoh lain
dari derivasi berablaut fell ‘menjatuhkan,menebang’,diturunkan dari fall
‘jatuh’,secara “kausatif”.
[8] Asal dan
hasil derivasi menurut kelas kata
Para ahli linguistik lazim memakai sekumpulan istilah demi analisis proses
derivasi.peristilahan tersebut memungkinkan rumusan singkat dalam analisis
morfologi derivasional.Dengan peristilahan ini , kita juga dapat merumuskan
kaidah-kaidah derivasi;contohnya,untuk bahasa indonesia ; semua verba yang
ber-prefiks memper-adalah denominal , deajektival atau denumeral.
Reduplikasi
adalah proses morfemis yang mengulangi bentuk dasar atau sebagian dari bentuk
dasar tersebut.Dalam linguistik indonesia sudah lama lazim dipakai sekumpulan
istilah sehubungan dengan redupllikasi dalam bahasa sunda dan jawa yaitu
[a] dwilingga
[b] dwiliingga
saling swara
[c] dwipurwa
[d] dwiwasana
[e] trilingga
Tradisi
linguistik iindonnisia ini pantas di ingat sebagai tradisi yang kaya.
[10]
Reduplikasi dalam berbagai bahasa
Seperti sudah di uraikan,reduplikasi parsial kita temukan tidak hanya dalam
bahasa indonesia (tipelelaki,pepatah,leluhur,tangga) dengan kaidah
morfofonemis sendiri, yaitu : silabe pertama direduplikasi, dengan perubahan
vokal menjadi pepet. Di samping itu juga reduplikasi tipe lain, yaitu
reduplikasi penuh: jiwij ‘sepatu’ menjadi jiwij jiwij ‘memakai
sepatu’. Seperti anda ingat, kiadah kaidah derivasi adalah kaidah beruntun.
Misalnya urutan derivasi dari ketergantungan adalah: : gantung-tergantung-ketergantungan.
[11] komposisi:
pengantar
“komposisi” ,
atau “pemajemukan” adalah proses morfemis yang menggabungkan dua morfem dasar [
atau pradasar ] menjadi satu kata , yang namanya “kata majemuk” atau “kompaun”.
Contoh-contoh
dari pemajemukan : street corner dalaam bahasa inggris , atau daya
juang dalam bahasa indonesia .
Komposisi
selalu bersifat derivasional , tidak paradigmatis.
[12] komposisi
dalam berbagai bahasa
Selain dari
kompaun dengan dasar dan pradasar sebagai komponennya [ daya juang , tukang
jual , daya muat ]tidak ada banyak tipe komposisi yang lain.Contoh-contoh
serupa dapat ditemukan juga dalam bahasa Jerman dan bahasa Belanda.
[13]
Produktivitas proses-proses morfemis
Salah
satu pertanyaan penting tentang setiap proses morfemis adalah; apakah daftar
alternan merupakan “dafter terbuka” ataukah “daftar tertutup” . Dafter tertutup
adalah daftar yang terbatas ; dafter terbuka adalah daftar yang dapat ditambahi.
Misalnya,
daftar paradigmatis tidak dapat di tambahi alternan-alternannya,jadi paradigma
merupakan daftar tertutup .paradigma dari kata inggris girl ada hanya
ada empat unsurnya:girl dan jamaknya girls.
BAGIAN V:
SINTAKSIS
BAB 12
SINTAKSIS
KLAUSA: KONSEP KONSEP DASAR
[1] Apa itu
sintaksis?
Sintaksis adalah tatabahasa yang membahas hubungan antar-kata dalam tuturan.
Apa itu “tuturan”? Tentunya,tuturan adalah apa yang dituturkan orang. Salah
satu satuantuturan adalah kalimat. Pada dasarnya,sintaksis itu berurusan dengan
hubungan antar-kata di dalam kalimat. Hubungan antar kalimat termasuk “analisis
wacana” , dan hubungan antara tatabahasa (termasuk sintaksis)kalimat dengan
wadahnya di dalam wacana perlu diperhatikan.
[2] Sintaksis
kalimat , sintaksis klausa , dan sintaksis frasa .
Perhatikan kalimat Kami akan membangun rumah yang besar .
Bagian-bagiannya ialah : kami , yaitu “subjek”,akan membangun,
“Predikat”, rumah yang besar , “Objek”.Pembagian ini adalah
pembagian sintaksis dan , karena itu , termasuk sintaksis kalimat.
Akhirnya , masih ada sintaksis “frasa”. Frasa adalah kelompok kata , yang dalam
praktek dapat juga terdiri hanya dari satu . Misalnya , dalam contoh tadi, ada
frasa nominal rumah yang besar dan frasa verbal akan
membangun.
[3] Fungsi,
kategori, peran
Ada tiga cara untuk menganalisis klausa secara sintaksis.
[4] Konstituen
“inti” dan konstituen “luar inti”
Di dalam klausa , konstituen induk adalah verba (atau frasa verbal – demi
mudahnya , baiklah kita pakai istilah “verba” saja ); namanya secara fungsional
adalah “PREDIKAT”.Hanya konstituen –konstituen inti saja yang dapat
disebut “Peserta” , atau “Argumen” (pada verba).Konstituen periferal, bahkan
kalau nominal , tidak berstatus Argumen , tidak berstatus “Fungsi”.
[5] Apakah
“Fungsi” sintaksis ?
Yang disebut “Fungsi” sintaksis di sini tidak asing bagi anda , Di SMP dan SMA
anda sudah terlatih mencari “Subjek” dan “predikat” dan ‘Objek” kalimat.
[6] Apa yang
dimaksud “Peran” sintaksis ?
“Peran” sintaksis adalah segi sematis dari Peserta-Peserta verba.Sistem verbal
Tagalog memarkahi verba untuk “fokus” (menurut Peran) “topik” klausa-topik itu
segera dikenali karena adanya “pemarkah topik” ang(Peserta yang bukan
topik dimarkahi dengan ng untuk peserta yang berstatus Argumen , dan
dengan sa untuk yang periferal).
[7] Apa yang
dimaksud “kategori” sintaksis ?
Kategori sintaksis adalah apa yang sering disebut “kelas kata” seperti nomina ,
verba , ajektiva , adverbia , adposisi (artinya , preposisi atau
posposisi.Nomina dapat berupa tunggal atau jamak, atau bermarkah untuk definit
atau indefinit , ataupun bemarkah atau tak bermarkah untuk kasus.
[8]
Keseimbangan fungsi , peran dan kategori : “pengisian”
Bagaimanakah fungsi , peran dan kategori “bekerjasama” dalam sintaksis
klausa ? Akhirnya , rasanya dalam pikiran anda sudah muncul pertanyaan
mengapa hingga kini tidak disebutkan Fungsi yang namanya “Objek tak langsung ?
Alasannya ialah bahwa yang “tak langsung” itu sebetul-nya menyebut Penerima ,
atau Benefaktif , pokoknya Peran tertentu .
[9] Fungsi ,
Peran , dan kategori dipandang secara antar-bahasa
Bila kita bertanya struktur fungsi , Peran , dan kategori dalam sintaksis
klausa dijumpai dalam semua bahasa di dunia , maka tidak perlu banyak
penelitian untuk mengetahui bahwa memang semua bahasa memiliki kelas-kelas kata
atau kategori tertentu.
Kesimpulannya :
tidak ada dasar dalam bahasa Aceh untuk mengandaikan adanya “Fungsi” sintaksis
sama skali . Bahasa-bahasa yang tidak memiliki struktur fungsional sama sekali
termasuk tipologi tertentu yang akan dibahas kemudian, dan pengertian tipologi
tersebut akan dipersiapkan dengan pembahasan . Di sini cukuplah kalau dikatakan
bahwa banyak bahasa memiliki struktur “campuran” antara dua tipe bahasa :
bahasa dengan struktur fungsional yang “dominan”, dan bahasa dengan struktur
Peran yang “dominan.BAB 11
MORFOLOGI:DERIVASI,REDUPLIKASI,DAN
KOMPOSISI
[1] PENGANTAR
Setelah membahas proses morfemis yang disebut “paradigmatis”, kita siap
menggarap proses morfemis yang lain itu yang namanya “derivasi”
Dalam tatabahasa masih ada 2 proses morfologi lain yaitu, reduplikasi
& komposisi.reduplikasi bersifat paradigmatis,dapat pula bersifat
derivasional.kompoposisi selalu bersifat derivisional.
[2] Sekali
lagi:infleksi & derivasi
Fleksi adalah perubahan morfemis dengan mempertahankan identitas leksikal dari
kata yang bersangkutan, dan derivasi adalah perubahan morfemis yang
menghasilkan kata dengan identitas morfemis yang lain. Misalnya,inggris friend
dan friends termasuk leksem yang sama,sedangkan friend dan
befiend merupakan leksem leksem yang berbeda.
Verba to befriend adalah hasil derivasi dari nomina friend, bukan
hasil infleksi karena dari dua kata itu tidak sama kelasnya yaitu verba dan
nomina.jikalau dua kata dengan dasar yang sama termasuk kelas kata yang
sama,tetapi berbeda maknanya, kedua kata itu berbeda secara leksikal.
[3] Derivasi
dalam bahasa indonesia: verba dan nomina tindakan/penindak
yang agak mendalam; marilah kita mulai dengan derivasi bahasa indonesia
Sebagai contoh,amatilah derivasi dari bentuk pradasar{:ajar:}. morfem pradasar
itu sendiri adalah tidak bebas .yang di turunkan dari padanya adalah,pertama
tama,beberapa verba:mengajar,mengajarkan,mengajari,belajar.sebagaimana kita
lihat,verba “bentuk kutip” yang di pilih adalah bentuk yang berawalan men atau ber.
[4] Derivasi
dalam bahasa indonesia:sekedar contoh lain
Bahasa ini mempunyai banyak tipe pengambifiksan ini.
Yang pertama
adalah tipe yang menghasilkan nomina yang maknanya adalah
‘’penggeneralisasi’’. Misalnya,dari ajektiva indah dapat diturunkan
‘’keindahan; dari rendah, kerendahan dan lain sebagainya.
Ambifiks
ke-|-an tipe lain adalah tipe verbal, yang dapat di sebut ke-|-an
adversatif,yaitu ke-|-an yang mengandung makna sesuat yang merugikan’:
kejatuhab (kelapa),kecurian (radio),kecopetan (domet).
Orang yang
mengalami hal yang merugikan itu adalah orang yang di acu oleh
subjek.arti verba tipe ke-|-an yang ini adalah pasif.tipe verba yang
berambifik ke-|-an yang lain adalah ‘’pasif’’ juga,tetapi tidak secara
‘’adversatif’’: kelupaan,kelewatan,dan lain sebagainya.
[5] Sekedar
contoh derivasi morfemis dalam berbagai bahasa
Siasat siasat derivasional afisaksional yang kita temukan dalam bahasa bahasa
yang bermacam macam memperlihatkan betapa banyak alat alat derivasional
itu.tadi anda sudah mengetahui nomina tindakan dan nomina penindak dalam bahasa
indonesia,serta afiks ‘’pasif’’ dan penominalisasi ;dan juga sufiks –an yang
bermacam macam.
Bahan tersebut pembahasannya sudah menunjukkan berbagai cara untuk meneliti
derivasi afiksasional secara antar bahasa.pada umumnya ada tiga cara:
[i]menurut bentuknya-----misalnya berapa –an ada dalam bahasa indonesia?; [ii]
menurut maknanya----bagaimana nomina tindakan / penindak di bentukkan dalam
bahasa tertentu,dan secara antar-bahasa?; [iii] menurut siasat siasat derivasi
secara antar bahasa.
[6] Alternasi
alomorfemis dalam derivasi
Alternasi beerlaku juga untuk morfem morfem yang menjadi alat derivasi.
Contohnya dalam bahasa indonesia adalah nomina tindakan dan nomina penindak:awalan
pen-(baik prefiks {pen-}maupun awalan konfiks {pen-|-an} ) menjadi /pen/, atau
/pan/, atau /pa/ dan seterusnya,sesuai dengan lingkungan fonologis.
Alternasi morfofonemis itu daoat mempersulit identifikas morfem,misalnya,apakah
prefiks dalam katapemuda itu {pen-} atau {pe-}? Apakah kata /pen/ dalam
kata pengungsi adalah {pe-} (dengan ‘’perkecualian’’ dalam alternasi
,menyimpang dari apa yang biasa disebabkan oleh lingkungan ,menyebabkan adanya
/pen/ ataukan /pen/ dengan alternasi morfofonemis yang ‘’biasa’’ sebelum vokal
(tetapi dengan “perkecualian”sistematis)/selanjutnya adakah dlam bahasa ini
konfiks {pe-|-an} dalam kata seperti pekarangan atau pegunungan.??
[7] Derivasi
secara nonsegmental
Seperti halnya ifleksi (yang pqrqdigmatis itu) dapat berupa
segmental,dapat juga berupa nonsegmental ,,,derivasi pun dapat memanfaatkan
proses morfemis yang nonsegmental :atas dasar fonlogis (sinkronik atau
diakronik),yaitu dengan perubahan vukal umlaut atau ablaut,dan atas dasr
morfologis,berupa modifikasi vokal.
Amatilah kata kata jerman berikut,buch ‘buku’, buchlein ,’buku
kecil’.Pendek kata umlaut itu terjadi (atas dasar diakronik) secara
paradigmatis dalam jamak bucher ‘buku buku’ dan secara derivasional
(kebetulan atas dasar sinkronik)dalam buchlein.
Hal serupa kita temukan dalam ablaut,seperti anda ingat ,contoh ablaut yang
paradigmatis dalam bahasa inggris adalah sing-sang-sung.secara
derivasional ada song ‘nyanyian’,dari verba sing.contoh lain
dari derivasi berablaut fell ‘menjatuhkan,menebang’,diturunkan dari fall
‘jatuh’,secara “kausatif”.
[8] Asal dan
hasil derivasi menurut kelas kata
Para ahli linguistik lazim memakai sekumpulan istilah demi analisis proses
derivasi.peristilahan tersebut memungkinkan rumusan singkat dalam analisis
morfologi derivasional.Dengan peristilahan ini , kita juga dapat merumuskan
kaidah-kaidah derivasi;contohnya,untuk bahasa indonesia ; semua verba yang
ber-prefiks memper-adalah denominal , deajektival atau denumeral.
Reduplikasi
adalah proses morfemis yang mengulangi bentuk dasar atau sebagian dari bentuk
dasar tersebut.Dalam linguistik indonesia sudah lama lazim dipakai sekumpulan
istilah sehubungan dengan redupllikasi dalam bahasa sunda dan jawa yaitu
[a] dwilingga
[b] dwiliingga
saling swara
[c] dwipurwa
[d] dwiwasana
[e] trilingga
Tradisi
linguistik iindonnisia ini pantas di ingat sebagai tradisi yang kaya.
[10]
Reduplikasi dalam berbagai bahasa
Seperti sudah di uraikan,reduplikasi parsial kita temukan tidak hanya dalam
bahasa indonesia (tipelelaki,pepatah,leluhur,tangga) dengan kaidah
morfofonemis sendiri, yaitu : silabe pertama direduplikasi, dengan perubahan
vokal menjadi pepet. Di samping itu juga reduplikasi tipe lain, yaitu
reduplikasi penuh: jiwij ‘sepatu’ menjadi jiwij jiwij ‘memakai
sepatu’. Seperti anda ingat, kiadah kaidah derivasi adalah kaidah beruntun.
Misalnya urutan derivasi dari ketergantungan adalah: : gantung-tergantung-ketergantungan.
[11] komposisi:
pengantar
“komposisi” ,
atau “pemajemukan” adalah proses morfemis yang menggabungkan dua morfem dasar [
atau pradasar ] menjadi satu kata , yang namanya “kata majemuk” atau “kompaun”.
Contoh-contoh
dari pemajemukan : street corner dalaam bahasa inggris , atau daya
juang dalam bahasa indonesia .
Komposisi
selalu bersifat derivasional , tidak paradigmatis.
[12] komposisi
dalam berbagai bahasa
Selain dari
kompaun dengan dasar dan pradasar sebagai komponennya [ daya juang , tukang
jual , daya muat ]tidak ada banyak tipe komposisi yang lain.Contoh-contoh
serupa dapat ditemukan juga dalam bahasa Jerman dan bahasa Belanda.
[13]
Produktivitas proses-proses morfemis
Salah
satu pertanyaan penting tentang setiap proses morfemis adalah; apakah daftar
alternan merupakan “dafter terbuka” ataukah “daftar tertutup” . Dafter tertutup
adalah daftar yang terbatas ; dafter terbuka adalah daftar yang dapat
ditambahi.
Misalnya,
daftar paradigmatis tidak dapat di tambahi alternan-alternannya,jadi paradigma
merupakan daftar tertutup .paradigma dari kata inggris girl ada hanya
ada empat unsurnya:girl dan jamaknya girls.
BAB 12
SINTAKSIS
KLAUSA: KONSEP KONSEP DASAR
[1] Apa itu
sintaksis?
Sintaksis adalah tatabahasa yang membahas hubungan antar-kata dalam tuturan.
Apa itu “tuturan”? Tentunya,tuturan adalah apa yang dituturkan orang. Salah
satu satuantuturan adalah kalimat. Pada dasarnya,sintaksis itu berurusan dengan
hubungan antar-kata di dalam kalimat. Hubungan antar kalimat termasuk “analisis
wacana” , dan hubungan antara tatabahasa (termasuk sintaksis)kalimat dengan
wadahnya di dalam wacana perlu diperhatikan.
[2] Sintaksis
kalimat , sintaksis klausa , dan sintaksis frasa .
Perhatikan kalimat Kami akan membangun rumah yang besar .
Bagian-bagiannya ialah : kami , yaitu “subjek”,akan membangun,
“Predikat”, rumah yang besar , “Objek”.Pembagian ini adalah
pembagian sintaksis dan , karena itu , termasuk sintaksis kalimat.
Akhirnya , masih ada sintaksis “frasa”. Frasa adalah kelompok kata , yang dalam
praktek dapat juga terdiri hanya dari satu . Misalnya , dalam contoh tadi, ada
frasa nominal rumah yang besar dan frasa verbal akan
membangun.
[3] Fungsi,
kategori, peran
Ada tiga cara untuk menganalisis klausa secara sintaksis.
[4] Konstituen
“inti” dan konstituen “luar inti”
Di dalam klausa , konstituen induk adalah verba (atau frasa verbal – demi
mudahnya , baiklah kita pakai istilah “verba” saja ); namanya secara fungsional
adalah “PREDIKAT”.Hanya konstituen –konstituen inti saja yang dapat
disebut “Peserta” , atau “Argumen” (pada verba).Konstituen periferal, bahkan
kalau nominal , tidak berstatus Argumen , tidak berstatus “Fungsi”.
[5] Apakah
“Fungsi” sintaksis ?
Yang disebut “Fungsi” sintaksis di sini tidak asing bagi anda , Di SMP dan SMA
anda sudah terlatih mencari “Subjek” dan “predikat” dan ‘Objek” kalimat.
[6] Apa yang
dimaksud “Peran” sintaksis ?
“Peran” sintaksis adalah segi sematis dari Peserta-Peserta verba.Sistem verbal
Tagalog memarkahi verba untuk “fokus” (menurut Peran) “topik” klausa-topik itu
segera dikenali karena adanya “pemarkah topik” ang (Peserta yang
bukan topik dimarkahi dengan ng untuk peserta yang berstatus Argumen
, dan dengan sa untuk yang periferal).
[7] Apa yang
dimaksud “kategori” sintaksis ?
Kategori sintaksis adalah apa yang sering disebut “kelas kata” seperti nomina ,
verba , ajektiva , adverbia , adposisi (artinya , preposisi atau
posposisi.Nomina dapat berupa tunggal atau jamak, atau bermarkah untuk definit
atau indefinit , ataupun bemarkah atau tak bermarkah untuk kasus.
[8]
Keseimbangan fungsi , peran dan kategori : “pengisian”
Bagaimanakah fungsi , peran dan kategori “bekerjasama” dalam sintaksis
klausa ? Akhirnya , rasanya dalam pikiran anda sudah muncul pertanyaan
mengapa hingga kini tidak disebutkan Fungsi yang namanya “Objek tak langsung ?
Alasannya ialah bahwa yang “tak langsung” itu sebetul-nya menyebut Penerima ,
atau Benefaktif , pokoknya Peran tertentu
.
.
[9] Fungsi ,
Peran , dan kategori dipandang secara antar-bahasa
Bila kita bertanya struktur fungsi , Peran , dan kategori dalam sintaksis
klausa dijumpai dalam semua bahasa di dunia , maka tidak perlu banyak
penelitian untuk mengetahui bahwa memang semua bahasa memiliki kelas-kelas kata
atau kategori tertentu.
Kesimpulannya :
tidak ada dasar dalam bahasa Aceh untuk mengandaikan adanya “Fungsi” sintaksis
sama skali . Bahasa-bahasa yang tidak memiliki struktur fungsional sama sekali
termasuk tipologi tertentu yang akan dibahas kemudian, dan pengertian tipologi
tersebut akan dipersiapkan dengan pembahasan . Di sini cukuplah kalau dikatakan
bahwa banyak bahasa memiliki struktur “campuran” antara dua tipe bahasa :
bahasa dengan struktur fungsional yang “dominan”, dan bahasa dengan struktur
Peran yang “dominan.
BAB 13
Sintaksis
klausa: JENIS-JENIS PREDIKAT
1. Pengantar
Dalam banyak bahasa predikat harus selalu verbal ;
Sedangakan
dalam bahasa-bahasa lain banyak juga, selain dari yang verbal, bisa juga berupa
nonverbal yaitu nominal.
Ada tiga tipe
predikat dalam bahasa yang berbeda sistematik gramatikalnya.
· Predikat
ekuasional atau penyama
· Predikat
dengan verbal yang bervalensi satu
· Predikat
dengan verbal yang bervalensi dua atau tiga
2. Predikat
“penyama”
Setiap bahasa memiliki
konstruksi klausal yang di kenal sebagai klausa ”ekuasional”
juga di sebut klausa ”ekuatif” atau klausa
”penyama”.
Tipe klausa
yang dimaksud adalah klausa seperti (Indonesia) Dia (adalah)
Guru dalam (Inggris) he is a teacher.
Predikat
penyama adalah menyamakan salah satu sifat, atau sesuatu proses yang
bukan tindakan atau kegiatan yang disebut predikat.
Ada bahasa yang
menuntut ada kata “penghubung” atau “kopula”. Ada bahasa yang tidak memiliki
dua kemungkinan.
Ø Kopula
Indonesia tidak berupa verbal “kopula statif”. Contoh mereka marah.
Ø Kopula
Inggris memang berupa verbal “kopula dinamis”. Contoh they were angry
Predikat
nominal adalah semata-mata dan predikat yang merupakan campuran unsur
verbal dan unsur nominal.
Tipe predikat
penyama ada empat yaitu:
a) Nominal,
tanpa kopula
b) Nominal,
dengan kopula nonverbal
c) Nominal,
dengan kopula verbal statif
d) Nominal,
dengan kopula verbal dinamis
Kopula adalah memang
tidak verbal, tidak dapat dinegasikan, misalnya (hal itu adalah tidak
benar, bukan *Hal itu tidak adalah benar).
Kata adalah kiranya
lebih tepat disebut “pengantar predikat”, karena untuk pemakaiannya malah tidak
perlu adanya subjek (misalnya: Adalah sulit untuk mengatakan bahwa[...]).
3. Predikat
verbal: verba intransitif
Dari verba
“transitif” dan “intrnasitif”. Pada dasarnya penggolongan ini adalah
penggolongan menurut “valensi” yaitu: Verba transitif adalah dua atau
tiga kalau verba intransitif adalah bervalensi satu atau lebih dari satu.
Contoh dari veba intransitif yaitu: (Indonesia) Dia tidur (Inggris) She skater.
Ada verba yang
mengandung makna “pengalaman” atau “verba pengalaman” dan ada verba yang
mengandung makna “tindakan” atau verba “pnindak”. Perbedaan antara verba
pengalam dan verba penindak yaitu.
Verba pengalam
adalah tidak ada kegiatan apa yang dituntut dalam subjek untuk tidur atau
jatuh.
Verba penindak
adalah mengandalkan adanya kegiatan tentu pada subjek. Misalnya: berlari
atau bekerja.
Jadi
verba (intransitif) yang berprefiks men- pun tidak berdasarkan prefiks tersebut
untuk keanggotaannya sebagai verba pengalam atau penindak.
Bahasa inggirs tidak membedakan verba intransitif dengan cara demikian
(verba bantu untuk kala perfekta selalu have, tidakmpernah be),
tetapi bahasa Jerman, bahasa Danmark, bahasa Prancis, dan bahasa Itali
membedakan dua jenis verba intransitif seperti halnya dalam bahasa Belanda,
yakni dengan seleksi verba bantu untuk kala perfekta.
Tidak apa-apa bila kita memakai istilah “subjek” untuk Argumen tunggal, asal
kita ingat bahwa dalam konteks tertentu rasanya lebih tepat bila istilah
seperti “Argumen tunggal” Itu dipakai.
4. Predikat
verbal: verba trnsitif
Dalam banyak bahasa, sebagai besar verba transitif bervalensi dua, dan sebagainya
yang relatif kecil bervalensi tiga. Argumen pertama adalah subjek; Argumen
kedua disebut “objek”, dan bila tiga Argumen, kedua Argumen yang bukan
subjek itu masing-masing berupa objek.
Contoh: Saya
memasak nasi untuk adik
Dalam contoh
ini, konstituen untuk adik tidak berstatus argumen dan tidak
dikatakan “ber-peran”__untuk adik adalah komplemen. Memasak adalah
verba yang bervalensi dua (subjek dan objek), dan memasakkan bervalensi
tiga (subjek, dan objek rangkap).
Dasar analisis
tersebut. Pertama Fungsi tidak sama dengan peran. Kedua baik fungsi maupun
peran (dan jumlahnya) tergantung dari valensi verba. Ketiga valensi verba
sendiri tergantung dari sifat-sifat semantis. Dari analisis ini, dapatlah
disimpulkan sesuatu yang penting menyangkut bentuk kategorial dari
konstituen-konstituen yang bersangkutan.
Indonesia
(19) Guru
menguraikan teori ini.
(20) Guru
menguraikan tentang teori ini.
Verba menguraikan bervalensi dua, dan objeknya ber-peran pasien,
entah disertai preposisi tentang entah tidak: teori ini dalam
(19) dan tentang teori ini dalam (20). Dan yang lebih penting
menyangkut bentuk kategorial Argumen, untuk Bab ini, adalah bentuk kategorial
verba di tempat predikat.
5.Predikat
tunggal dan predikat serial
Diantara
Predikat verbal, ada yang ‘’tunggal’’ dan yang ‘’serial’’. Predikat verbal yang
tunggal adalah Predikat dengan verba utama yang hanya satu. Contoh-contohnya:
(13), (15)-(18), dan (19)-(20) di atas. Istilah ‘’verba utama’’ menunjukkan
kemungkinan adanya Predikat ‘’perifrastia’’, seperti dalam (13) di atas
(dengan wordt sebagai verba bantu ), tetapi dengan verba ‘’utama’’
yang hanya satu (gewandeld dalam (13); yaitu, dalam klausa
yang sama .
Struktur verba serial adalah struktur predikatif dengan verba utama yang lebih
daripada satu (biasanya: dua), sedemikian rupa sehingga tak ada verba yang
tergantung dari verba laiinya.
Predikat serial perlu dibedakan juga dari urutan verba utama sedemikian
rupa sehingga hanya satu yang berupa induk dan yang lain sebagai verba bawahan.
Hal itu sudah jelas pada klausa perifrastis.
Verba utama ada dua (yang cetak tebal) dalam masing-masing klausa ini. Dalam
bahasa-bahasa yang banyak di pergunakan struktur verbal serial, struktur yang
demikian dapat di bandingkan dengan verba tunggal dalam bahasa yang lain.
BAB 14
SINTAKSIS
KLAUSA:HUBUNGAN ANTAR PERAN DAN KATEGORI
1. Pengantar
Sifat leksikal
inilah yang menentukan beberapa hal, seperti:
i. Valensi
vebal
ii. Peran
dari Argumen (satu atau lebih)
iii. Sifat-sifat
lain dari Argumen, khususnya:
a) Persona
(bilanpronominal) dan bentuknya yang bebas atau terikat;
b) Jumlah;
c) Jenis;
Dan terutama
d) Kasus
Sifat [i] dan [ii] adalah sintaksis; sifat [iii] [a] – [b] adalah
kategorial.akan tetapi, asa utama di sini ialah bahwa pemarkahan verba untuk
sifat [i], [ii] dan [iii] tidak mutlak hadir (misalnya, bahasa inggris tidak
memiliki morfem verba untuk objek benefaktif); dan bahwa dasar dari verba dalam
hubungannya dengan [i] – [iii] berupa leksikal semantis.
Baiklah disini
menyusul sekedar contoh yang sederhana yaitu:
Contoh
Inggirs. Dalam
konstuksi transitif, Argumen berkasus no-minatif, Argumen pasien berkasus
asukatif: he hit me.
2. Argumen
yang sesuai dengan veba: persona, jumlah, jenis
Disini Argumen
akan dibahas menurut bentuknya, sejauh sesuai dengan sifat semantis verba.
Verba juga to stampede ‘berlari tungaang-langgang’: verba ini “dipredikasikan”
(istilahnya)hanya tentang subjek yang jamak, atau to massacre ‘membunuh [orang
banyak]’, yang menuntut adanya objek dalam bentuk jamak.
Tetapi ada
bahasa dengan pemarkahan macam itu, misalnya bahasa indonesia. Verba seperti
itu berdatangan menuntut adanya subjek jamak, dan konfiks ber-|-an memarkahi
kendala tersebut. Pemarkahan yang lain seperti itu adalah reduplikasi:
berbondong-bondong, misalnya, menuntut adanya subjek jamak.
Ada juga jenis
dalam bahasa verba tertentu dapat dipredikasikan hanya tentang perempuan , dan
verba lain lagi hanya tentang laki-laki.
3. Argumen
yang sesuai dengan verba: pemarkahan kasus: pengantar
Yang jauih
lebih penting dalam banyak sekali bahasa adalah pemarkahan kasus pada
argumen-argumen. Permakahan ini tergantung dari sifat semantis verba-salah satu
dari padanya adalah valensi verba. Yang perlu disadari ialah bahwa kaidah
itu tidak berlaku secara antar-bahasa-hanya berlaku untuk bahasa-bahasa
tertentu saja.
Yang berlaku
umum menyangkut pemarkahan kasus pada Argumen-Argumen secara antar- bahasa,
sejauh diketahui oleh para ahli linguistik sekarang, dapat didasarkan hanya
atas penafsiran Argumen sebagai peran saja, tidak sebagai fungsi (seperti
“subjek” dan “objek”).
4.Peran-peran
pada verba yang bervalensi satu
Verba yang bervalensi satu,yakni verba yang disertai hanya oleh
satu argumen saja, memiliki tiga macam argumen: penindak,atau
pengalam,atau”perasa”.
Periksa klausa-klausa inggris berikut: I run dan I fall dan I think. Peran
dari I dalam I run adalah peran “penindak”,karena untuk
berlari di tuntutlah kegiatan tersebut;karena untuk orang yang jatuh tidak
dituntut kegiatan apa-apa;akhirnya I dalam I think ber-peran
“perasa”,karena I think acap kali berarti ‘saya mendapat
kesan’.
Banyak
sekali bahasa membedakan antara argumen perasa yang demikian dengan argumen
penindak,misalnya bahasa Rusia:
Rusia
(1) On
ne spit.
3:T:NOM tidak
tidur
‘Dia tidak
tidur’
(2) Jemu
ne spitsa.
3:T:DAT tidak
tidur:REFL
‘Dia tidak
dapat tidur’
Dalam bahasa Guaymi (bahasa india di Amerika tengah) ada pembedaan antara peran
penindak dan peran pengalam,sama tipenya dengan bahasa aceh dan bahasa
Crow.
Guaymi
(3)Toma-
qwe blit- ani.
Tom PK bicara K
‘Tom berbicara’
(4)Tom
riri-
Tom:NOM tamabah:besar K
‘Tom bertambah besar’
5. Peran-peran
pada verba yang bervalensi dua:Ajentif dan Objektif
Klausa yang mengandung verba bervalensi dua adalah klausa yang memiliki argumen
ajentif dan argumen objektif ada tipe yang argumen ajentif berkasus
nominatif(biasanya tak bermarkah) dan argumen yang obejktif nya berkasus
akusatif.
Ada tipe lain yang dapat dijelaskan dengan contoh-contoh berikut ini,di
ambilkan dari bahasa Bask( suatu bahasa non-indo-eropa di bagian barat laut
spanyol danbagian barat daya prancis), dan dari bahasa Dyirbal (suatu bahasa
asli di australia.
Ada argumen ajentif dalam salah satu kasus “ajentif”, biasanya “jenitif”, yang
namanya kasus “ergatif” dan dengan Argumen kedua yang berkasus “nominatif
(artinya tak bermarkah), atau (istilahnya lazim) “absolutif”-tipe ini disebut
“tipe ergatif-absolutif”, dan sebagai kependekannya lazimnya dipakai istilah
“tipe ergatif”.
6. Peran-peran
yang bervalensi dua: Ajentif dan oblik
Amatilah klaisa-klausa inggris I shot the dog dan I shut at the dog. Dalam
contoh pertama Anjing itu mengalami pngaruh kegiatan “trnsitif” itu sepenuhnya;
dalam contoh kedua, hanya untuk sebagian (misalnya anjing kaget dan lari).
Semua bahasa mempunyai struktur untuk ketransitifan “oblik” itu.
Bahasa ini tidak berstruktur kasus, dan kemarkahan dengan preposisi boleh
dipandang sebagai bentuk frasal dari apa yang dimarkahi dengan kasus dalam
bahasa yang bersistem kasus. Camkanlah bahwa tentang, antara dan mengenai
adalah konstituen “opsional”, artinya boleh hadir boleh juga tidak. Sifat
“opsiona” itu hanya berarti bahwa kedua konstruksi itu adalah grametikal, tidak
mutlak bahwa kedua konstruksi itu persis sama informasinya. Menurut penafsiran
tertentu, pemanasan air ditafsirkan sebagai lebih intensif dengan verba pemanaskan
dan tidak seintensif itu dengan verba memanasi.
7. Peran-peran
pada verba yang bervalensi dua: perasa dan objetif
Periksa lagi pasal [4] di atas: tentang verba intransitif dengan Argumen frasa
; contoh-contoh diatas, dari bahasa kanada, dapat dilengkapi disini dengan yang
berikut:
Kannada
(17) nanage i vicara gottu.
1:T:DAT ini fakta:NOM tahu
‘saya tahu fakta ini.
8. Peran-Peran
pada verba yang bervalensi tiga
Verba yang bervalensi tiga memiliki dua Argumen objektif.
Contoh:
Indonesia
(19) Si Dul memukul perampok dengan tongkat.
(20) Si
Dul memukulkan tongkat pada tembok.
(21)
Dia memuati truk dengan batu bara.
(22)
Dia memuatkan batubara pada truk.
Inggris
(23) Paul beat {the
burgler/him} with a stick.
(24) Paul beat the
stick against the wall.
(25) Paul loaded the
truck with coal.
(26) Paul loaded the
coal on to the truck.
Ada beberapa hal yang menarik perhatian dalam contoh-contoh ini. Pertama,
verbal indonesia dimarkahi dengan morfem akhiran “fokus” untuk memungkinkan
Argumen yang langsung menyusul: perampok pada memukul, tetapi
fokus instrumental –kan pada tongkat. Analisis serupa berlaku untuk
contoh-contoh Inggris 23-26 anda di ajak untuk merimiskannya. Bila Argumen
Objektif menjadi pronominal, Argumen tersebut berkasus akusatif (him dalam
23).
9. Persesuaian
verba dengan Argumen: pengantar
Para ahli linguistik sering membahas persesuaian verbal itu dengan memerikan
nama-nama “fungsional” kepada Argumen-Argumen yang menyebabkan pemarkahan pada
verba: persesuaian dengan “subjek”, dan/atau dengan “objek”. Dengan sistem yang
lebih berbelit-belit, hal itu terjadi pula dalam bahasa latin dan yunani
kuno; periksalah, misalnya, Bab 10, pasal 4, dan pasal 7. Akan tetapi,
contoh-contoh tersebut memperlihatkan afiksasi verbal pada umumnya, termasuk,
afikasi untuk “persesuaian” (menurut persona dan jumlah subjek), tetapi juga
afiks untuk kala, modus, dan lain sebagainya, yang tidak termasuk
“persesuaian”.
10. Persesuaian
verbal dengan Argumen sebagai fungsi dan peran
Memang “kaidah” tradisional yang mengatakan bahwa persesuaian verbal selalu
terdapat dengan Argumen menurut fungsinya (dan, seperti sering diandaikan,
hanya dengan subjek). Dalam bahasa –bahasa Indo-Eropa persesuaian verbal memang
dengan Argumen subjek___jadi tanpa pengaruh dari peran manakah yang ada pada
subjektersebut. Persesuaian verbal hanya menurut subjek, dan secara netral
terhadap peranArgumen yang ber-fungsi sebagai subjek.
Nampaknya, persesuaian verbal hanya menurut subjek , dan secara netral terhadap
peran Argumen yang ber-fungsi sebagai subjek.
Selain dari persesuaian denagn subjek, dalam bahasa prancis dan Itali kita
temukan persesuaian dengan objek dalam konstruksi predikat yang terdiri atas
verba bantu disusul partisipia perfekta__bila objek mendahului predikat. Banyak
bahasa mempunyai verbal menurut fungsi Argumen baik untuk subjek maupun untuk
objek.
11. Perujukan
silang, klitisisasi, dan persesuaian
Persesuaian verbal dengan Argumen-Argumen mengndaikan adanya Argumen “lengkap”,
pronominal atau nominal disamping pemarkahan verbal. Tetapi dalam banyak bahasa
tidak demikian halnya; maksudnya, verba dimarkahi untuk persona dan/atau jumlah
dan/atau jenis, tetapi pronomina tidak dapat hadir. Seperti sudah
disebutkan tadi, dalam bahasa indonesia struktur seperti contoh berikut ini
tidak gramatikal:*aku kulihat film atau*engkau kaubaca buku, atau*murid
dipukulnya guru.
Pengklitikaan Argumen yang tidak dapat hadir bukan “persesuaian”. Akan tetapi,
hal itu hanya merupakan soal peristilahan saja, karena klitisisasi pun
berstruktur menurut peran atau menurut fungsi, tergantung dari bahasanya.
Para ahli linguistik sering menyebut persesuaian maupun klitisisasi Argumen sebagai
“perujukan silang” dari Argumen pada verba.
BAB 15
SINTAKSIS
KLAUSA: DIATESIS VERBAL DAN TIPOLOGI BAHASA
[1] Pengantar
Banyak bahasa
di dunia memiliki sistem verbal morfemis dan klausal dengan “alternasi
diatetis”, artinya dengan kemungkinan adanya dua atau lebih bentuk verbal di
tempat predikat sedemikian rupa sehingga “perspektif” penutur dialternasi.
Sebagai contoh,
amatilah dua klausa inggris, yang pertama “aktif” Businesses have made a
lot of profit, dan yang kedua pasif A lot of profit has been made by
businesses. Klausa “aktif” mencerminkan “perspektif” si penutur pada
perusahaan-perusahaan (sebagai sumber kegiatan yang menghasilkan keuntungan):
pemasifannya mengarahkan “perspektif” penutur pada hasil keuntungan tadi.
Akhirnya, ada
pertanyaan penting apakah alternasi aktif: pasif merupakan satu-satunya
alternasi diatetis, secara antar bahasa? Adakah yang lain lagi? Memang ada:
kita temukan juga diatesis “medial” disamping aktif dan pasif, umpannya dalam
bahasa yunani kuno, seperti anda lihat dalam bab 10, pasal (7), contoh (15).
Bahakan pernah ada tahap perkembangan bahasa-bahasa indo-eropa dengan hanya
aktif dan medial (dan pasif belum) sebagai diatesis-diatesis yang terdapat ada
bahasa yang lain yang memiliki sistem diatesis dengan alternasi antara
“ergatif” dan “antipasif” dengan “ergatif” sebagai diatesis kanonik. Diantara
bahasa-bahasa ini ada juga yang memiliki sistem berdiatesis tiga: ergatif,
antipasif, dan pasif.
Lalu, pasal (6)
sampai dengan (18) lebuh terinci memaparkan tentang sistem ergatif dan
akusatif, menurut sistem-sistem itu sendiri dan menurut diatesis-diatesisnya
serta sifat-sifatnya berhubungan: dengan ketransitifan.
[2] Tipologi
klausa: pemarkahan kasus pada argumen
Dalam bab 15
tadi, kita mempelajari tentang beberapa tipe klausa, menurut pemarkahan
argumen-argumen dalam bentuk kasus. Baiklah kita membahas ini dengan menentukan
pelambangan yang sesuai.
Pertama, ada
“tipologi ergatif”, rumusan berikut berlaku untuk tipologi ini
[a] Tipologi
“ergatif”: Pk=Pm=Ob#Aj
Dengan
perkataan lain: bahasa-bahasa “ergatif” tidak membedakan (dalam bentuk
kasusnya) antara penindak dan pengalaman dan objektif, sedangkan ketiga argumen
tersebut, memang dibedakan dari argumen adjentif.
Contoh-contoh:
bahasa Bask dan bahasa Dyirbak; periksa bab 14, pasal (5), contoh (6)-(7).
Nama kasus
dalam bahasa “ergatif” adalah “kasus ergatif” untuk AJ dan “kasus absolutif”
untuk PK, PM, dan OB. Nama lengkap untuk tipologi ini adalah “tipologi
ergatif-absolutif”, kependekannya adalah: “tipologi ergatif”
Kedua, ada
“tipologi akusatif“. Untuk tipologi ini dapat dianjurkan dalam rumusan berikut
[b] tipologi
“akousatif” Pk=Pm=Aj#Ob
Dengan
perkataan lain: bahasa-bahasa “akusatif” tidak membedakan (dalam bentuk
kasusnya) penindak dan pengalam dan ajentif, sedangkan ketiga argumen tersebut
memang dibedakan dari argumen adjektif.
Contohnya:
bahasa inggris. Misalnya: dalam I walk (I sebagai penindak) dan I fall (I
sebagai pengalam) dan I hit him (I sebagai ajentif),maka argumen 1 sama-sama
berkasus nominatif,sedangkan him(objektif)dalam i hit him berkasus
akusatif.semua bahasa indo-eropa myang sekarang di eropa barat bertipologi
akusatif-sedikitnya dalam sintaksis klausa.
Dari kedua
kasus yang tadi,nominatif dan akusatif,biasanya kasus akusatiflah yang
berimarkah,sedangkan kasus nominatif tidak bemarkah(atau “kurang”
bermarkah).bila kita berbicara tentang”pemarkahan”kasus niminatif.
Ketiga,ada
“tipologi aktif-statif “,(perhatikanlah dengan seksama:”aktif disini bukan nama
diatesis,melaikan nama tipologis,dan “statis” bukan nama peran,melainkan nama
tipologis,sebetulnya,banyak bahasa tipe “aktif-statif” ini bahkan tidak
memiliki sistem diatesis).dalam tipologi aktif-statif ada rumusan berikut yang
dapat dipakai.
[c]Tipologi
“aktif-statif”Pk=Aj#Pm=Ob
Dengan perkatan
lain:bahsa-bahasa “aktif-statif” ini tidak membedakan(dalam pemarkahan kasus
pada argumen)Pk dan Aj,dan tidak juga antara Pm dan Ob:tetapi membedakan
Pk/Aj,di satu pihak dan Pm/Ob di pihak lain.
Contohnya:bahasa
guaymi:dalam bab 14,pasal [4],ada contoh (3)-(4),yang perlu yang di
lengkapi dengan contoh klausa transitif (contoh intransitif di ulangi disini):
Guaymi
(1)toma-qwe
blit-ani
Tom PK bicara K
Tom berbicara.
(2)Tom riri
–aba
Tom:Mp
tambah:besar K
Tom bertambah
besar
(3)Toma
qwe dari dema ini
Tom Aj Doris:Pm
cium k
Tom mencium
doris
Nama kasus
dalam bahasa “aktif”adalah “kasus aktif” untuk Pk dan Aj,dan “kasus
pengalan”untuk Pm dan Ob.
[3]Tipologi
Klusa:Perujukan Silang Argumen Pada Verba
Dari
tipologi aktif-statif contohnya di temukan dalam bahasa Aceh:
periksa bab 12 ,pasal [9],contoh (30)-(33):dalam bahasa Crow:lihat bab 12,pasal
[9],contoh[34]-[39]:dan dalam bahasa lakhota(suatu bahasa indian rumpun
sioux,Amerika serikat),
Dalam bahasa
inggris,perujukan silang argumen pada verba terjadi,hanya untuk subjek,entah
apa peranya.Bahasa akusatif tidak membedakan Pk,Pm dan Aj(ketiga ini di tempat
subjek),sehingga dasarperujukan silang adalah hanya “fungsional”belaka.
[4]Tipologi
bauran:keergatifan,keakusatifan dan keaktif-statifan
Akan
tetapi,dalam konstruksi tanpa men-, maka ku- dapat menjadi Aj (kunyanyikan,atau
kubangun,atau kepersembahkan),tetapi tidak dapat menjadi Pk (kupergi)atau Pm
(kujatuh) atau Ob (diundangnyaku )jadi sejauh ini bahasa indonesia
bersifat negatif.(sebenarnya,mempunyai dua “rejister” dalam pemakaian
bahasa:yang ergatif dan yang ekusatif)
Ada perbauran
juga dari keergatifan dan kreatif-statifan .dalam sejumlah bahasa ergatif,kelas
verba intransitif tertentu dijukioleh argumen Pk dengan cara tertententu,
dan oleh argumen Pm oleh cara tertentu yang lain,suatu sisitem pesial yang agak
kecil didalam sistem yang lebih besar yang ergatif.contoh lain dari perbauran
keakusatifan dan keaktifstatifan di temukan dalam hal seleksi verba bantu untuk
kala perfekta dalam bahasa demmis menurut tipelogi bahsa dapat
dirumuskaark.
[5]
Sistem-sistem diatetis menurut tipologi bahasa
Pada umumnya
sistem diatetetis menurut tipologi bahsa dapat dirumuskan sebagai berikut:bahsa
akusatif bersistem diatetis aktif dan pasif .
Perlu dibedakan
tiga arti dari istilah “energatif” yaitu tipologi ergatif
bersistem diatesis ergatif dan anti
pasif .(dan mungkin juga),dan bahasa aktif-statif buasanya tidak memiliki
sistem diatesis.
Jadi entah
suatu bahasa berupa ergatif,ekusatif, atau aktif-statif tidak mutlak ada
alternasi.
[6] Sistem
diatetis dalam tipologi akusatif:diatesis medial
Dalam bahasa
litunia,tidak mungkinlah hadir konstutuen anjentif dalam bahas
inggris,konstituen tersebut adalah opsional.
Konstituen
anjentif dalam pasif dimarkahi sebagai anjentif ,oeh karena itu dalam bahasa
yang dipakai dalam konstituen anjentif dalam klausa pasi adalah abltfiatau
jenetif.
[7] Sistem
diatetis dala tipologi akusatif:diatesis medial
Arti diatesis
medial itu ialah: secara”benefaftif” untuk anjentif itu sendiri;oleh
karena itu tidak ada yang lagi dalam bahasa-bahasa indo-eropa ,apa yang
diuraikan tadi hanya interasan dari sudut dakroinit menyangkut rumpun
tersebut.akan tetapi dalam bahsa-bahasa indi-eropa di eropa barat dewasa ini,
bentuk refleksif sering dipakai sebagai pasif.
[8]Sistem
diatetis dalam tipologi akusatif:”medio-pasif
Dalam (22)
kontruksi rerleksif menggatikan pasif,tetapi konstituen anjentif tidak
mungkin.contoh (23)-(24) adalah refleksif secara morfologis ,tetapi secara
sintaksis hanya,(23)saja yang refleksif(perhatikan bentuk jamak verbal)
sedangkan (24)pasif(perhatikan bentuk tunggal verbal)_25 ditambahkan sebagai
contoh pasif morfologis hanya dalam pasif yang terakhir ada kemungkinan
hadirnya konstituen ejentif dalam (24) tidak.
[9] Sistem
diatetis dalam tipologi akusatif :”aktif” sabagai pasif
Disamping
konnstruksi refleksi sebagai pasif “semantis” ada juga bahasa yang
mempergunakan verbal transitif sebagai “pasif”tanpa petmakahan apa-apa.bahasa
indonesia mempunyai beberapa verba yang demikian,misalnya,lupa,kelupaan,:namun
verbal seperti itu agak sedikit jumlahnya.
[10] Sistem
akusatif:pasif impersonal:pengantar
Dalam pasif
“personal” ada persesuaian antra subjeck dan verba pasif itu.miasalnya,
inggris,(he was /they were)infited; latin;
Dalam pasif
“inpersonal”bentuk verbal adalah personal ketiga tinggal bahasa-bahasa yang
memiliki bentuk pasif dapat digolong0golongkan menurut kemungkinan adanya atau
tidak adanya pasif inpersonal.
[11]Sistem
akusatif;pasif inpersonal verba intransitif
Yang menarik
perhatian ialah bahwa malahan verba pengalaman dapat di pasifkan secara
impersonal dalam bahasa-bahasa tertentu,asalkan argumen itu berupa itu berupa
insani misalnya,”jatuh sakitnya” dalam bahasa turki,atau :menghilang” dalam
bahasa litunia,atau bahkan,kopulatif adalah bahasa yang sama.
[12] Sistem
akusatif;pasif inpersonal verba transitif dan intransitif
Pasif personal
adalah pasif dengan subjek(dari verba pasif)dan dengan persesuaian antara
bentuk verbal dan subjeck tersebut,sebaliknya,pasif personal selalu berpesona
ketiga dan berjumlah tinggal,bahkan dalam konsruksi transitif
Salah satu
bahasa yang menunjukkan pasif mempersonal untuk semua verba,ermasuk
verbatransitif.
[13]sistem
akusatif; bahasa tanpa pasif impersonal
Contoh baik
dari bahasa yang memiliki hanya pasif personal,dan tidak memiliki pasif
impesional adalah bahasa inggris.there was sung beatiful , atau there was slept
a great deal.ciri sintaksis yang khas dari bahasa ini mungkin ini ada
saja hubungannya dengan tiadanya perbedaan secara sintaksis, antara verba
intrasitif penindak dan verba pengalaman.
BAB 16
SINTAKSIS KLAUSA:SISTEM
KALA,ASPEK DAN MODUS
[1]Pengantar:sistem”kala
aspek-modus”
Dalam semua
bahasa ada sistem verbal yang lazim di sebut “sistem kala aspek-aspek modus”,
atau sering disingkat “sistem KAM”untuk menjelaskan sistem KAM itu,perlu di
ketahui bagaimana sistem kala,sisitem aspek,dan sistem modus bekerja sama,dalam
sisntaksis klausa.
Pada
umumnya,tatabahasa sistem KAM menunjukkan daerah pertumpang-tindihan antara
morfologi dan sintaksis.pembahasan dalam bab 17 nanti akan terpusat pada segi
sintaksisnya.
Yang mendasari
pembahasan sistem aspek dan sistem modus dalam satu sistem “KAM” ialah
tumpang-tidihnyayang rumit di antara ketiga sistem tersebut.sistem kala sering
dipakai untuk pengungkapan modus atau aspek,dan baik sisitem aspek maupun
sistem modus sering memakai predikat perifastis,jadi dengan verba bantu ataupun
konstituen nonverbal.
[2] Sintaksis
kala;pengantar
Di antara
bahasa-bahasa di dunia ada yang tidak memiliki sistem kala morfologis (misalnya
bahasa indonesia). Sistem kala preterit rangkap dengan hubungan diantaranya
banyak ditemukan dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa: ada kala preterit, dan ada
kala yang “sebelumnya”, misalnya “perfekta anterior”. Kalimat Inggris he
had gone, misalnya, mengungkapkan sesuatu yang mendahului tindakan preterit
biasa seperti he went. Susunan kala dalam hubungan satu dengan yang
lainnya dapat disebut dengan istilah tersebut, yaitu “susunan kala”.
[3] Sintaksis
kala: sekedar data
Dalam bahasa
yang tidak bersistem kala secara morfemis, pengartian kala (bila dibutuhkan
dalam konteks) terletak dalam konstituen periferal yang sesuai.
Kesimpulannya:
tanpa pemarkahan morfemis verbal untuk kala, pengartian kala terlaksana secara
leksikal saja, atau dengan “partikel” yang agak kuat sifat gramatikalnya.
Seperti halnya
dengan verba Indonesia, verba Tok Pisin pun tidak berparadigma morfemis untuk
kala.
Dalam bahasa
ini pinis adalah pemarkah aspektual, menunjukkan selesainya proses
yang diungkapkan oleh verba, sedangkan bin berupa pemarkah kala, yang
dapat disebut “prapreterit”.
Selain dari
pemakaian konstituen bin, pinis, dan bai, dalam wacana
naratif, bentuk verba tindakan atau verba kegiatan yang tidak bermarkah
biasanya mengandung makna kala preterit ((9)), sedangkan bentuk yang tidak
bermarkah dari verba statif mengandung makna kala presen ((10)).
Dalam bahasa
ini, preterit anterior direferensikan pada preterit sebelumnya: had
failed direferensikan padawent.
[4] Sintaksis
aspek: pengantar
Aspek-aspek
verbal dapat dibagi atas aspek yang menyangkut beberapa segi dari apa yang
diungkapkan oleh verba: yakni permulaan, penyelesaian, hasil, keberlangsungan,
pengulangan, kebiasaan, keterikatan pada saat yang tak terbagi, dan keadaan.
Pentinglah
diperhatikan bahwa semuanya itu sering bersifat leksikal semata-mata tidak
membutuhkan alat-alat morfologis atau sintaktis.
Kesimpulannya:
aspek verbal bersifat leksikal semata-mata jika arti leksikal itu sendiri
menjadi dasar, bahkan bila arti itu berdasarkan pada afiks derivasional.
[5] Sintaksis
aspek: sekedar data
Dalam
bahasa Tok Pisin, verba yang disusul oleh partikel pronominal resumtif i + stap berupa
duratif, sedangkan verba stap itu sebagai verba utama berupa statif.
Dalam bahasa
latin, aspek inkoatif bersifat morfemis, yaitu –sco (untuk persona
pertama indikatif aktif presen), didahului oleh –a-, -e- atau –i- (tergantung
dari kelas verba), tetapi untuk aspek perfektif dipakai sufiks kala perfekta (-avit di
atas).
[6] Sintaksis
modus: pengantar
Modus verbal
ada yang bermacam-macam, menyangkut sifat deklaratif dan interogatif, sifat
afirmatif dan negatif, sifat desideratif (atau optatif), sifat kepastian atau
kesangsian, sifat pandangan real atau ireal, dan sifat hortatif dan imperatif.
Dalam
penelitian sintaktis, kita biasa berbicara tentang “klausa
deklaratif” dan “klausa interogatif”; tentang “klausa afirmatif”
dan “klausa negatif”. Dalam semua hal ini kita sering juga mempergunakan
istilah “bentuk”, seperti “bentuk desideratif”, “bentuk irealis”, “bentuk
imperatif”, dan lain sebagainya.
[7] Sintaksis
modus interogatif: jenis-jenisnya dan sekedar data
Klausa interogatif
(misalnya Apakah dia sudah berangkat?) beroposisi dengan klausa deklaratif
(misalnyaDia sudah berangkat). Dari kedua tipe tersebut, klausa deklaratif
merupakan “modus yang tak bermarkah”, jadi secara gramatikal tidak memiliki
bentuk khusus (secara morfologis atau sintaktis).
Dalam setiap
bahasa, dibedakan dua jenis klausa interogatif: “pertanyaan ya/tidak” (atau
“pertanyaan y/t”), dan “pertanyaan apa”.
Pertanyaan
polar dalam berbagai bahasa dimarkahi hanya dengan intonasi saja, misalnya
dalam bahasa Tok Pisin, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia.
Dalam bahasa
Inggris, pertanyaan dengan susunan beruntun yang sama dengan klausa deklaratif
biasanya menunjukkan rasa heran, dan demikian pula dalam bahasa Indonesia.
Di lain pihak,
sepengetahuan para ahli bahasa, kebanyakan bahasa di dunia memiliki struktur
sintaktis yang khusus untuk klausa interogatif.
Berbagai bahasa
mempergunakan juga susunan beruntun dengan Subjek sesudah Predikat untuk
memarkahi pertanyaan, misalnya dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris.
Pertanyaan
nonpolar pada umumnya mempergunakan pronomina interogatif seperti apa? dan siapa? Dalam
bahasa Indonesia dan what? dan who? Dalam bahasa Inggris,
atau adverbia interogatif seperti mengapa? danberapa? dalam
bahasa Indonesia, atau why? dan how {many/much}? Dalam
bahasa Inggris.
[8] Sintaksis
modus negatif: jenis dan data
Klausa negatif
(seperti misalnya dalam klausa Indonesia Para mahasiswa tidak setuju)
beroposisi dengan klausa afirmatif (misalnya Para mahasiswa setuju).
Modus negatif
dalam klausa dianggap sama dengan negasi Predikat, dan dengan demikian negasi
klausa. Hal itu penting diperhatikan, karena “cakupan” negasi dapat saja
menjadi struktur yang lebih kecil dari klausa, misalnya frasa, atau bahkan satu
kata saja.
Alat negasi ada
yang bermacam-macam: ada yang diklitikakan pada verba, dan ada yang berupa
partikel yang relatif “bebas” secara morfologis. Di antara bentuk negasi itu
ada juga yang terbagi.
[9] Sintaksis
modus desideratif: jenis dan data
Dalam
bahasa-bahasa tertentu modus desideratif atau optatif berupa morfologis, yang
tampak dalam paradigma verba, seperti dalam bahasa Yunani Kuno dan bahasa
Jepang, dengan modus optatifnya periksa sekali lagi Bab 10, pasal [6].
Alat modus
desideratif atau optatif yang biasa ditemukan dalam banyak bahasa adalah verba
bantu yang mengandung makna ‘ingin’, ‘dapat’ atau ‘mampu’, ‘boleh’, ‘harus’:
Banyak hal lain
perlu diperhatikan dalam penelitian tentang modus desideratif/optatif dan
hortatif, khususnya dalam klausa bawahan; tetapi dalam Bab ini hanya klausa
tunggal saja yang dibahas.
[10] Sintaksis
modus irealis: jenis-jenisnya dan sekedar data
Dalam
pembahasan ini kita tafsirkan modus irealis itu dalam arti yang lebih terbatas
ini.
Modus irealis
adalah modus yang dimarkahi, beroposisi dengan modus realis, yang tidak
bermarkah dan tidak berbeda dari modus deklaratif.
Modus
subjungtif dalam banyak bahasa menjadi alat modus irealis itu; dan dalam bahasa
yang lain ada verba bantu atau konstituen lain yang menjadi alat modus irealis
ini.
Dalam bahasa
indonesia konstruksi seperti ini hanya mungkin dalam kontaks yang mengandung
klausa bawahan yang diawali dengan (kalau) seandainya atau
dengan (kalau) sekiranya.
[11] Sintaksis
modus imperatif dan hortatif: jenis dan data
Semua bahasa
memiliki “siasat” untuk membuat orang yang disapa berbuat sesuatu,
seperti Pergi(lah)!Dalam bahasa Indonesia atau Go! Dalam bahasa
Inggris. Penyuruhan lazim disebut “imperatif” dan pembujukan halus disebut
“ekshortatif” atau “hortatif”.
Seperti halnya
dengan modus-modus lainnya, modus imperatif-hortatif dapat berupa morfemis
semata-mata, atau disertai konstituen khusus.
Banyak bahasa
memiliki imperatif tanpa Subjek (yakni, orang yang diberi perintah) seperti
dalam contoh Latin dan Jerman ini, tetapi Subjek dapat ditambahkan dalam bahasa
tertentu, bahkan persona ketiga.
Dalam bahasa
Indonesia tak dapat ada Subjek, tetapi dalam bahasa Melayu dulu Subjek
imperatif dapat hadir, dimarkahi preposisi Ajentif.
Banyak bahasa
memiliki struktur khusus untuk imperatif negatif: dalam bahasa Latin
dengan noli(te) + infinitif (dari verba nolle ‘tidak
menghendaki’) atau penegasi ne + subjungtif; dalam bahasa Indonesia
denganjangan (daripada tidak atau bukan) dan dengan
mempertahankan men- bila ada (bahkan dengan verba transitif).
Berdekatan
dengan modus imperatif ada juga modus hortatif, dengan subjungtif atau dengan
verba bantu hortatif, atau dengan konstituen yang lain.
BAB 17
SINTAKSIS
KLAUSA SUSUNAN BERUNTUN
(1) Susunan
beruntun
Susunanan
beruntun adalah tata urutan segmen-segmen tuturan.Misalnya, dalam klausa kita
mempelajari bab ini, maka subjek kita mendahului verba mempelajari, dan objek
bahan bab ini menyusul. Tentunya susunan beruntun masing-masing segmen frasa
dalam contoh ini dapat di persoalkan juga; misalnya urutan bahan+ bab ini dan
bab+ini.
Dalam
contoh tersebut,susunan beruntunnya adalah subjek, predikat, objek. penelitian
antar-bahasa menunjukkan bahwa yang terpenting adalah urutan predikat, atau
verba (V) dan objeknya (O). Dalam pasal [2], susunan VO dan OV akan dijelaskan
dengan sekedar contoh. Lalu pentingnya kedua urutan VO da OV ini akan di
pelajari dalam pasal [3] sampai dengan [5] di bawah.
(2) Susunan
VO dan susunan OV
Periksalah
contoh-contoh berikut:
Indonesia
(1) Ayah
anak ini menantikan berita itu.
Tagalog
(2) Bumili
ang nanay ng saging.
Beli:AJ PT ibu PNT pisang
‘ibu itu membeli pisang.’
Malagasi
(3) Manusia
lamba ny zazavavy.
Cuci pakain itu gadis
‘Gadis itu mencuci pakaian.
Jepang
(4) Watashi
wa hon o mimasu.
1:T PT buku PSP lihat
‘Saya melihat buku.’
Turki
(5) Kahveyi-
yi sabahlari-sev- er im.
Kopi AK pagi suka K 1:T
‘Saya
suka kopi pagi hari.’
Dalam
(1) – (3) ada urutan VO, dan dalam (4) dan (5) ada urutan OV. Kedua
susunan tersebut menghabiskan segala kemungkinan; VO dan OV. Tempat S
terhadap VO dan OV akan di bahas pada pasal [6] di bawah
.
Telitilah
contoh-contoh berikut, dari bahasa Arab (VO) dan bahasa Turki (OV). Kedua
bahasa itu merupakan “bayangan cermin” satu dari yang lain. Bandingan (6)
dengan (10), (7) dengan (11), dan seterusnya demikian:
Arab (VO)
(6) sa-
handa lkalb
Lihat dia
anjing:itu
'Dia melihat
anjing itu.'
(7) lkal
akbar min lqippa
anjing;itu
besar dari kucing;itu
Anjing itu
lebih besar dari kucing itu.'
(8) sa-
hada lkalb min issibak
lihat dia
anjing:itu dari jendela:itu
'Dia melihat
anjing itu dari jendala itu.'
(9) sa-
handa lkalb ala- dii 'akala 'allahm
lihat dia
anjing:itu yang makan:dia daging:itu
'Dia melihat
anjing itu yang makan daging itu.'
Turki(OV)
(10) kopegi
gordu
anjing
liat(-dia)
'Dia melihat
anjing itu.'
(11) kopek
kediden daha buyuk
anjing
kucing:dari lebih besar
'Anjing itu
lebih besar dari kucing itu.'
(12) pencereden
kopegi gordu
jendela:dari
anjing lihat(-dia)
'Dia melihat
anjing itu dari jendela itu.
[3]
“Keselarasan infraklausal”: hukum DM dan hukum MD
Sepanjang tradisi penelitian tatabahasa di indonesia terkenal"hukum
DM" yang dibahas oleh S. Takdir Alisjahbana. Hukum DM ini khusus
menyangkut bahasa indonesia.sekali lagi amati contoh:
1) di
atas: Verba menantikan "ditentukan" (D) oleh objeknya, yaitu berita
itu, dan onjek tersebut adalah konstituen yang "menentukan" (M).
Urutan "D(itentukan)-M(enentukan), atau "DM" adalah rumus Pak
Takdir untuk apa yang disebut "VO" disini. Namun, hukum DM ini tidak
hanya menyangkut urutan VO tersebut (urutan konstituen dalam klausa)
tetapi menyangkut pula susunan beruntun pada tataran "infraklausal"
yaitu tata frasal. Keselarasan infraklausal artinya hukum tersebut berlaku baik
untuk klausa maupun untuk frasa.
"Keselarasan
infraklausal" disini umum dianggap ditemukan oleh ahli linguistik
antropologis Joseph Greenberg pada tahun 60-an. Akan tetapi hukum tersebut
ditemukan sepuluh tahun sebelumnya oleh Takdir Alisjahbana, meskipun hanya
untuk bahasa indonesia (Greenberg menemukannya sebagai semestaan bahasa untuk
sebagai besar bahasa-bahasa VO).
Memang
hukum DM berlaku umum untuk bahasa yang berurutan VO, sedangkan untuk bahasa OV
berlalu hukum MD. Tipe-tipe unsur D dan M pada tataran infraklausal dapat
dibedakan sebagai berikut:
a) dalam
frasa nominal, atribut adalah M dan nominal induk adalah D;
b) dalam
frasa adposisional, objek adposisi adalah M dan induknya, yaitu adposisi itu
sendiri, adalah D;
c) dalam
frasa perbandingan (komparatif), pembaku pembandingan adalah M dan induknya,
yaitu bentuk komparatif, adalah D. untuk masing frasa ini, periksalah
contoh-contoh berikut:
Woleai (Mikronesia, daerah pasifik)
(13) wa tewas
perahu rusak
'perahu yang
rusak
(14) sar
gach yeel
anak baik ini
'anak yang baik
ini'
(15) woal
mariiken
dalam:nya
Amerika
'di Amerika'
(16) faal
mai we
di:bawah:nya
pohon:sukun itu
'di bawah pohon
sukun itu'
(17) tti
tangi Bill
cepat dari
Bill.
'lebih cepat
dari Bill'
(18) toulap
tangi sangeras
banyak dari
seribu
'lebih banyak
dari seribu'
Jepang
(19) takai
kirei na yama
tinggi indah
PKL gunung
'gunung yang
tinggi dan indah'
(20) muzukashii
kotoba
sulit kata
'kata yang
sulit'
(21) Yokohama
made
Yokohama sampai
'sampai
Yokohama'
(22) sono
heye ni
itu kamar dalam
'dalam kamar
itu'
(23) anata
yori takai
kamu dari
tinggi
'lebih tinggi
daripadamu'
(24) Itaria
yori ookii
Italia dari
besar
'lebih besar
daripada Italia'
Bahasa
Woleai adalah VO, dan hukum DM secara infraklausal kita temukan untuk frasa
nominal (14) dan (15), frasa preposisional (17) dan (18), dan frasa komparatif
(19) dan (20) sebaliknya bahasa jepang adalah OV, dan hukum MD secara
infraklausal kita temukan untuk frasa nominal (20) dan (21), frasa
posposisional (22) dan (23) dan frasa komparatif (24) dan (25). perhatikan
bahwa adposisi (kata belakang) dalam urutan MD.
Keselarasan
infraklausal terwujud pula dalam bentuk morfemis, Misalnya dalam bahasa yang
mentaati hukum DM seperti bahasa indonesia afiks posesif itu berupa sufiks,
seperti -ku, -mu, atau -nya dalam ayah -ku, ayah -mu atau ayah-nya. (prefiks
posesif tidak banyak ditemukan dalam bahasa-bahasa OV, yang biasanya
mengungkapkan milik dalam bentuk kasus, yaitu kasus jenitif ).
keselarasan
infraklausal secara morfemis paling jelas dalam kata mejemuk, kata mejemuk yang
mentaati hukum MD. contoh dari bahasa sanskerta: deva-hedanau. 'tindakan yang
membuat marah dewa-dewa' atau vrtrha 'pembunuh Vrtra'; dan dari bahasa jepang:
yama-nobori 'pendakian gunung' (ya-ma 'gunung).
Di
sini bermanfaatlah untuk menyebut kemungkinan adanya keselarasan infraklausal
bahkan secara fonemis, dalam bahasa-bahasa tertentu. Entah karena apa, sebagian
besar bahasa-bahasa yang memiliki aksen nada (dan bukan aksen tekanan)
nampaknya merupakan bahasa OV (bahasa jepang).
[4] Tempat
“Penegasan” dalam susunan beruntun
Selain
dari S, V dalam klausa (dengan O pula bila klausanya transitif), ada juga
konstituen lain-konstituen yang lazim disebut “keterangan”. Misalnya dalam
klausa Kami akan menandatangani naskah itu besok, maka besok keterangan.
Akan
tetepi, ada satu jenis keterangan yang memiliki sifat-sifat khas, dan tempatnya
dalam susunan beruntun ditentukan oleh kaidah-kaidah yang lebih ketat. Namanya
"Penegas". Yang dimaksud "Penegas" adalah: negatif,
interogatif, kausatif, refleksif, resiprokal, desideratif, kondisional, dan
propositif.Dalam bahasa tertentu penegas berupa konstituen bebas; dalam bahasa
tertentu yang lain berupa afiks, contoh berikut:
Indonesia
(a) Apakah
dia tidak akan memper-lebar jalan ini?
IGF
NEG PRPF KAUS
Contoh
penegas interogatif adalah (apakah), negatif (tidak), propositif (akan), dan
kausatif (memper).
(b) Gadis
itu tidak ber- bedak setiap hari.
REFL
Contoh penegas
refleksif adalah (ber).
(c) Kami
lalu ber- surat- surat- an ramai selama satu tahun.
RSPL
RSPL
Contoh penegas
resiprokal adalah (ber- -an)
.
(d) Jika
saya mau belajar bahasa jawa, perlu seorang guru.
KOND
DES
Contoh penegas
kondisional adalah (jika) sedangkan contoh desideratif adalah (mau).
[5] Bahasa
“konsisten” dan bahasa “campur”
Di
atas dibahas tentang bahasa-bahasa yang secara konsisten bersusun
beruntun VO atau OV, dan yang memiliki keselarasan infraklausal. Memang
banyak sekali bahasa adalah konsisten dalam hal ini begitu banyak sehingga
keselarasan infraklausal tidak mungkin merupakan hal yang kebetulan saja. Akan
tetapi ada juga bahasa yang tidak memiliki keselarasan infraklausal. Contohnya
adalah bahasa inggris. Urutan prototipis dalam klausa adalah VO seperti:
I will read
that book first.
1: TPRRPF baca
itu buku dulu
'saya akan
membaca buku itu dulu'.
[6] Tempat S
dalam susunan beruntun VO dan OV
Tipologi
susunan beruntun menjadi lebih berbelit-belit bila tempat S di masukkan. Tempat
S untuk keselarasan infraklausal (bila ada ) memang tidak relevan sama sekali.
Akan tetapi, dalam beberapa aspek lain memang tempat S lebih penting. Kita
dapat membedakan dua pokok menyangkut tempat S itu: yang pertama, tempat S
dalam hubungannya dengan V saja.
Tempat
S relatif pada tempat V dan O memperlihatkan tidak kurang dari enam
kemungkinan: untuk urutan VO ada SVO, VSO, dan VOS; untuk urutan OV ada SOV,
OSV, dan OVS. Semua tipe ini memang ditemukan di antara bahasa-bahasa di dunia,
akan tetapi yang berakhir Subjek (VOS dan OVS) jarang di temukan; dari bahasa
bertipe VOS ada hanya antara sepuluh dan dua puluh (bahasa Malagasi di
antaranya), dan OVS lebih jarang lagi: hanya satu atau dua bahasa Indian di
Amerika Selatan.
Menyangkut
urutan V dan S, perlu diketahui bahwa cukup banyak bahasa memiliki baik urutan
SV maupun urutan VS. perbedaan diantara S praverbal dan S posverbal adalah
pragmatis. Misalnya, dalam bahasa Melayu Kuno, VS lebih sering ditemukan
sedangkan kini urutan SV adalah lebih biasa.
[7] “Pembilang
kambang”
"Pembilang
kambang" adalah istilah yang artinya"pembilang yang dapat
berpindah-pindah tempatnya dalam susunan beruntun". "Pembilang"
itu adalah kata seperti kata bilangan (seperti satu, dua, seratus, tiga ribu---
yang "numeral", istilah nya) atau pembilang yang non-numeral (seperti
banyak, atau sedikit). Meskipun pembilang seperti itu memodifikasikan nomina,
namun pembilang itu seluruhnya sama dengan atribut lainnya. Antara lain,
pembilang itu lebih bebas tempatnya dalam susunan beruntun, dan dapat
"mengambang" kanan kiri dari kata yang "dibilang" (artinya,
yang " dikuantifikasi"). Seperti contoh di bawah ini:
Indonesia
(44) Dia sudah
banyak membaca buku.
(45) Dia sudah
membaca banyak buku.
(46) Dia sudah
membaca buku banyak.
(47) Saya beli
satu meja, dan kursi saya beli empat.
Yang
menarik perhatian adalah bahwa yang dapat "meluncurkan pembilangan kambang
adalah objek, seperti dalam (44) sampai (47) di atas. Untuk subjek kemungkinan
"mengambang" jauh lebih terbatas: analisislah yang berikut:
Indonesia
(52)
Banyak murid membaca buku novel.
(53) *Murid
banyak membaca buku novel.
[8] Susunan
beruntun: sifat "sifat "struktural" dan sifat "
pragmatis"
Sejauh
ini susunan beruntun telah kita bahas dengan cara yang boleh di
sebut "struktural" . Banyak bahasa memiliki
juga kaidah susunan beruntun yang lebih "pragmatis" sifatnya.
Misalnya, dalam bahasa yang memungkinkan baik SV maupun VS, biasanya S praverbal
kurang menonjol (dalam konteks) secara topik dibanding dengan S posverbal.
Menurut penelitian akhir-akhir ini, kaidah ini berlaku secara antar-bahasa .
BAB 18
KALIMAT MAJEMUK
(1)KALIMAT MAJEMUK
Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih.Kalimat
yang identik dengan satu klausa saja adalah kalimat tunggal,dan satu klausa
tersebut dapat juga di sebut klausa mandiri.Klausa yang di bahas dalam Bab 12
adalah klausa mandiri.Klausa-klausa yang kita temukan dalam kalimat majemuk
adalah klausa yang bergabung sama dengan yang lainnya.Contoh berikut ini:
Indonesia
(1)Sri pergi ke dapur
(2)Sri mempersiapkan makanan
(3)Sri membawa makanan ke meja kami di depan
(4){Sri pergi ke dapur},{mempersiapkan makanan},{dan
membawa makananke meja kami di kebun}
(5){sesudah sri pulang },{adiknya segera pergi}
(6){karena sri baru pulang {sesudah tugasnya selesai}},{dia tidak dapat
menghadiri rapat}.
Masing-masing contoh (1)-(3)ini adalah kalimat tunggal (terdiri atas kalusa
mandiri ),sedangkan masing-masing (4)-(6) adalah kalimat majemuk (klausa-klausa
nya di apit antara kurung kurawal).kebetulan (4)sama dengan rangkaian (1)-(3) (dengan
beberapa perubaha:sesudah klausa pertama Subjek dapat di lesapkan,dan klausa
terakhir di awali dengan dan).Dalam (4) ketiga klausa itu berstruktur
koordinatif (tidak ada klausa yang lebih“tinggi”dari klausa yang
lain),sedangkan dalam (5) ada klausa induk (adiknya segera pergi)dan klausa
bawahan (sesudah Sri pulang ).Klausa induk selalu merupakan klausa
“atasan”terhadap klausa bawahan yang tergantung dari padanya.Tetapi tidak
setiap klausa atasan adalah klausa induk.
(2)KLAUSA MANDIRI DAN KLAUSA GABUNGAN
Klausa mandiri(yang identik dengan kalimat tunggal itu)di bedakan dari klausa
gabungan,artinya sebuah klausa yang harus di gabungkan dengan klausa lain untuk
membentuk kalimat majemuk.Misalnya,masing-masing klausa dalam contoh (4)-(6) di
atas adalah klausa gabungan,artinya klausa yang di gabungkan dengan klausa yang
lain untuk membentuk kalimat majemuk.Klausa gabungan ada 3 yaitu: (1)Klausa
koordinatif (seperti masing-masing klausa dalam (4)),
(2)Klausa subordinatif (seperti klausa sesudah Sri pulang dalam(5)),
(3)Klausa induk(seperti klausa adiknya segera pergi dalam (5)dan
(3)KLAUSA TERKANDUNG DAN KLAUSA BERBATASAN
Klausa bawahan dapat di bedakan lagi sebagai klausa terkandung dan klausa
berbatasan :
Klausa terkandung adalah klausa bawahan yang merupakan bagian yang tak
terasingkan dalam klausa lebih atas,atau bagian dalam salah satu frasa yang
terdapat dalam klausa lebih atas tersebut.Misalnyadalam (6)
tadi.
Klausa berbatasan tidak mutlak merupakan bagian esensial dari klausa lebih
atas.Misalnya :
INDONESIA
(7){{yang merepotkan }adalah ongkosnya }
(8){Dia mengira{bahwa temannya masih di yogya }}.
(9){Hanya penumpang {yang sudah sampai}dapat di tamping}}
INGGRIS
(10){THIS WILL BE {WHAT WE HOPET FOR}}.ini VBKF KOP:INF apa I:J harapkan :PRP’’
inilah yang kami harapkan’’.
(11){WHEN EVENING FELL,{we left silently} waktu senja jatuh I:J berangkat
diam-diam “waktu matahari terbenam,kami berangkat diam-diam”.
(12){THE WEATHER BEING FINE},{they cancelled ART:DEF cuaca KOP:PAPR indah 3:J
batalkan classes kuliya :J “karena harinya indah kuliyah di batalkan”.
(13){ALL THINGS CONSIDERED},{WE MUSST GIVE WAY}.semua hal pertimbangkan 1:J
harus mengalah “sesudah mempertimbangkan segala hal,kita harus mengalah”.
INDONESIA
(14){meskipun ongkosnya tinggi},{perlu alat itu kita beli}.
(4)KLAUSA ABSOLUT DAN KLAUSA RELASIONAL
KLAUSA ABSOLUTadalahklausa bawahan yang tidak memiliki argument yang ada juga
dalam klausa lebih atas .sedangkan KLAUSA RELASIONAL adalah memiliki argumen
yang ada juga dalam klausa lebih atas.Contoh dari klausa absolut adalah klausa
all things considered dalam,meskipun ongkosnya tinggi dalam.
LATIN
(15){URBE DELETA},{HOSTES }kota :T:ABL hancurkan:PAP:PAS:F:T:ABL musuh :J:NOM
discesserunt}pergi :KPA:3:J.
Dalam klausa reasional ada bentuk verbal nonfinit yang secara sintaksis
berhubungan dengan salah satu argument dalam klausa lebih atas .Contoh dari
klausa reasional
INGGRIS
(16){BEING OPTIMISTIC},{CHARLES,PREDICTED SUCCESS}.KOP:PAPR optimis Charles
ramal kan sukses”karena dia merasa optimis,Charles meramalkan sukses”.
LATIN
(18){IGNOSCO INIURIAM}{mihi ampuni :I:T:KPR:IHD:AKT ketidak adilan
:T:AK:I:T:DAT illatam}}.lakukan:PAP:F:T:AK.”Saya mengampuni ketidakadilan yang
telah di lakukan terhadap saya”.
(5)KLAUSA LENGKAP DAN KLAUSA BUNTUNG
Klausa
lengkap adalah klausa yang memiliki predikat,verbal atau non verbal,seperti hal
nya pula dalam klausa mandiri.
Klausa buntung adalah klausa gabungan yang berfungsi sebagai klausa dalam
segala tetapi hanya menyebut topic((19)-(22) dan (24))
INDONESIA
(19){Ayah saya *(//)},{dia tidak mau mendaftarkan diri}
(21){Menyangkut rencana saya *(//)}.tidak usah saja kita bicarakan}
(24){Harusnya *(//)},{oleh siapa ?}.[dalam konteks:’Haruskan demikian?.Tetapi
siapakah yang mengharuskan?’]
INGGRIS
(26){AS FOR JACK*(//)},{WE CANNOT menyangkut Jack I:J dapat :KPR:tidak help
him},tolong 3:M:T.’’Menyangkut jack,kita tidak dapa menolong dia’’.
(6)KLAUSA KOORDINATIF DAN KLAUSA SUBORDINATIF
Klausa koordinatif adalah klausa yang bergabung langsung dengan klausa yang
lain,ada beberapa jenis nya (sedikitnya bahasa-bahasa tertentu)misalnya dalam
koordinatif netral,kontrastif,alternative dan konsekutif.contoh-contoh berikut
koordinasi adalah netral dalam (33)-(34)dan (40).Kontrastif dalam (35)-(36)dan
(41).alternatif dalam (38)-dan(41),dan konsekutif dalam (39)dan (43).
INDONESIA
(35){Hal tersebut kebanyakan terjadi pada musim penghujan },{TETAPI jarang
terjadi pada musim kemarau}.
(36){cempaka ini berkayu lunak},NAMUN tahan lama
INGGRIS
(41){I DON’T KNOW}{BUT I CAN LOOK FOR IT}.I:T NEG tahu tetapi 1:T bisa
cari3:N:T ‘’Saya tidak tahu tetapi saya bisa mencari nya’’
(42){I WAS CONFUSED}.{SO I SAID.I:TKOP:KLP bingung jadi I:T katakan:KLP
NOTHING}.tidak apa-apa.”Saya bingung,jadi saya tidak mengatakan apa-apa”.
Klausa berbatasan adalah klausa subordinatif yang tidak termasuk klausa lebih
atas sebagai konstituen intinya.Biasanya klausa seperti itu adalah klausa
adverbal.klausa adverbal terdiri atas 6 bagian yaitu:
< temporal
(44)
< final
(50)
< kausal (45)
<
konsekutif (51)
< kondisional (47)
<
konsesif (52)
INDONESIA
(44){pemindahan di lakukan }, {SEWAKTU kecambah masih pendek}
(45){Daun kantil umumnya berwarna hijau},{KARENA mengandung zat hijau}.
(47){JIKA kendaran di angkat },{gunakan penunjang tetap}.
(50){susunan dan komposisi makanan pokok harus ada},{AGAR ransum memenuhi
syarat kesehatan dan gizi}.
(51){Makanan terlalu basah akan membasahi tubuh anak itik},{SEHINGGA bulunya
menggumpal dan menjadi jarang}.
(52){Orang itu tidak suka menyombomgkan diri},{MESKIPUN sebenarnya dia
terpilih menjadi siswa teladan].
INGGRIS
(55){SHE FELL} {BECAUSE SHE WAS TRIPPED UP}3:F:T jatuh:KLP
karena 3:F:T terantuk.”Dia jatuh karena terantuk kakinya”.
(58){IT BEGAN TO RAIN},{SO THAT WE HAD TO STAY 3:Y mulai PINF hujan
sehingga I:J harus:KLP tinggal AT HOME }di rumah.’’mulai hujan,sehingga
kami terpaksa tinggal di rumah’’.
(7)TUMPANG-TINDIH KOORDINASI DAN SUBORDINASI
Bandingkan contoh sebagai berikut:
INDONESIA
(60){Ada gula}.{akibatnya ada semut}
(61){Ada gula}.{sehingga ada semut}
(62){Kalau ada gula}.{ada semut pula}
(63){Ada gula}.{ada semut}
Dalam (60) kita lihat dua kalimat tunggal,jadi masing-masing klausa
mandiri.Kata akibatnya memarkahi kalimat ke dua sebagai
‘’konsekutif’’,tetapi’’kekonsekutifan’’tersebut betrsifat leksikal saja tidak
gramatikal.
INGGRIS
(64){TOUCH THE PEARL},{AND I’ II SHOOT YOU}.Sentuh ART:DEF permata dan I:T VBKF
tembak 2:T .’’Kalau anda sentuh perm ata,anda akan saya tembak’.
(65){DO THIS},{AND YOU WILL BE SORRY}.Buat ini dan 2:T VBKF tembak 2:t.’’Kalau
anda berbuat demikian,anda akan menyesal hal itu’’.
Contoh-contok seperti ini menunjuk kan bahwa perbedaan antara konstruksi
subordinatif dan konstruksi koordinatif tidak selalu jelas,sedikitnya tidak
dari sudut gramatikal semata-mata.
Struktur gramatikal klausa bawahan dalam bahasa jerman,belanda dan nggris
adalah menarik karena perbedaan-perbedaan tertentu diantara ketiga bahasa yang
serumpun ini dan yang di turunkan dari suatu bahasa purba yang sama (yaitu
bahasa german purba).klausa bawahan dalam bahasa jerman dan belanda beruntun OV
,sedangkan dalam bahasa inggris runtunnya adalah VO,
JERMAN
(69){ICH LESE DAS BUCH }:T:NOM baca :I:T:KPR:IND:AKT ART:DEF buku:T:AK {WEIL
ICH NUR SOLCHE BUCHER LESEN WILL} karena I:T NOM hanya macam itu buku
J:AK baca ingin ‘’saya membaca buku ini,karena saya hanya ingin membaca
buku-buku macam itu.’’
BELANDA
(70){IK LEES DIT BOEK OMDAT I:T:NOM baca:I:T:KPR:IND:AKT PRDM buku:T karena IK
ALLEEN ZULKE BOEKEN WIL LEZEN}.ILT:NOM hanya macam:itu buku:J ingin baca.’’saya
membaca buku itu,karena saya hanya ingin membaca buku-buku macam itu.’’atau {IK
LEES DIT BOEK} {OMDAT IK ALLEEN ZULKE BOEKEN LEZEN WIL}.
INGGRIS
(71){I READ THIS BOOK } {because I ONLY WANT TO READ THAT KIND OF BOOKS}’’saya
membaca buku itu,karena saya hanya ingin membaca buku-buku macam itu’’.
Seperti nampak dalam contoh-contoh itu,urutan OdanV dalam klausa induk adalah
VO dalam ketiga bahasa ini.Hanya dalam bahasa Inggris saja kita temukan ukuran
VO juga dalam klausa bawahan.Akan tetapi ada perbedaan di antara bahasa jerman
dan Belanda dalam hal ini.Dalam bahasa jerman bentuk finit dari verba (yaitu
verba bantu will)merupakan konstituen paling akhir,dan tidak dapat
mendahului bentuk infinitif lessen.
(8) TIPOLOGI KOORDINASI DAN SUBORDINASI
Meskipun baik koordinasi maupun supordinasi kita temukan dalam semua atau
hampit semua bahasa yang berurutan VO,namun koordinasi lebih cocok dengan
tipologi VO,sedangkan subordinasi lebih cocok dengan tipologi
OV.contohnya;
JEPANG
(72){HIKOOKI GA OCHITE}{HITU GA TAKUSAN SHINIMASHITA}.Pesawat PS
jatuh orang PS banyak tewas .’’pesawat jatuh terbang dan
banyak orang tewas’’.
(74){ANO HITO WA OOKIKU –TE}.{SUYOI DESU} ini orang PT besar
kuat KOP’’ orang ini adalah tinggi dan kuat’’.
Perhatikan sufiks =te dalam (72)-(74):bentuk verba dengan sufiks tersebut
adalah bentuk nonfinit sehingga struktur klausa pertama mirip sedikit dengan
klausa buntung(dari pasal (5).
BAB 19
SINTAKSIS
FRASA: FRASA NOMINAL, TIPE NOMINA+NOMINA
1. Frasa adalah
kelompok kata yang merupakan bagian fungsional dari tuturan yang lebih panjang.
Periksalah kalimat (1)
Indonesia
(1) {secara(lebih
mendalam}}kita {akan membahas}{kemampuan{menilai{{prestasi belajar}}siswa}}}
{kepentingan{pengajaran{yang lebih baik}}}
Diatas
disebutkan bahwa frasa adalah bagian fungsional. Kualifikasi “fungsional”
menyatakan bahwa bagian ini sebagai konstituen di dalam konstituen yang lbih
panjang. Contoh tadi kemampuan menilai presctasi belajar siswa berfungsi
sebagai objek pada verba membahas: sebagai contoh mendalam adalah konstituen
keterangan yang memodifikasi verba membahas. Dalam (1) urutan kata mendalam
kita atau pengajaran yang, tidak merupakan frasa karena tidak merupakan bagian
fungsional di dalam konstituen yang lebih panjang.
Dalam bab 19
dan bab 20 frasa verbal yang sama dengan predikat (tunggal) “Perifrastis” atau
predikat “Serial” tidak akan diperiksa karena sudah di bahas di bab 13.
Indonesia
(2) Guru
menguraikan teori ini
(3) Guru
menguraikan tentang teori ini
Pendek kata,
dalam kedua contoh ini objek pada verba menguraikan berupa frasa nomina dapat
berupa pula frasa aposisional. Demikian pula nomina yang di artikan pemilik
dapat mengikuti yang termilik saja.
2. Berbagai
jenis frasa nominal, tipe nomina+nomina
Frasa nominal
terdiri atas nomina induk dan atribut. Atribut dapat berupa nomina, jadi tipe
frasa dengan atribut yang demikian berupa nomina+nomina. Perbedaan struktur
sintaksis kedua tipe frasa nominal sangat penting.
Pokok-pokok
frasa nomina+nomina
a) Hubungan
semantic diantara induk dan atribut
b) Frasa
posesif
c) Frasa
penindakan
d) Frasa
dengan atribut nominal rangkap serial
e) Frasa
dengan atribut nominal rangkap terkandung
f) Frasa
dengan aposisi sebagai atribut
g) Frasa
dengan semiatribut penyalin
h) Frasa
dengan nomina induk penggolong
Baik frasa tipe
nomina+nomina maupun frasa tipe nomina+non nomina terdiri atas konstituen induk
dan konstituen bawahan yaitu atribut sedangkan hubungan antara konstituen-konstituen
subordinatif.
3. Hubungan
semantic diantara induk dan atribut
Apabila
sintaksis frasa tipe nomina+nomina dibandingkan dengan sintaksis frasa tipe
nomina+non nomina maka hal yang menarik perhatian berikut: hubungan semantis
diantara nomina induk dan nomina atribut dalam frasa tipe nomina+nomina adalah
fleksibel, dibandingkan dengan frasa tipe nomina +non nomina contoh (6 dan 7)
Indonesia
(6) patumg
seniman
(7) kamus pak
Subroto
Konstituen
induk adalah patung dan kamus: dan atribut adalah seniman dan Pak Subroto. Bila
(6) menyatakan bahwa patung dibuat oleh seniman, atribut berupa pelaku terhadap
induk. Bila (6) menyatakan bahwa patung adalah milik seniman, hubungan semantic
adalah posesif, dengan induk sebagai termilik dan atribut sebagai pemilik.
Kedua analisis ini (induk sebagai pelaku, dan induk sebagai yang termilik)
berlaku pula pada (7).
4. Frasa
Posesif
Frasa seperti
(6) – (12) kadang-kadang di sebut frasa “posesif”, dalam arti yang begitu luas
sehingga konsep milik menjadi agak kabur. Maka dari itu, frasa nomina+nomina
dengan hubungan antar konstituen semantic yang posesif dalam arti yang lebih
terbatas pantas diteliti sebagai suatu kelas sendiri-sendiri.
Kedua kelas
nomina itu tidak hanya dibedakan secara semantis saja tetapi juga secara
gramatikal, sedemikian rupa sehingga nomina milik tak terasingkan
diperlukan dengan cara khusus, secara morfologis, atau secara sintaksis atau
kedua-duanya.
Paulohi (Pulau
seram., sudah punah)
(13) u-utu
‘kutu-ku’.,mu-utu ‘kutu-mu’.,(dan seterusnya)
Ina-u
‘ibu-ku’.,ina-mu ‘ibu-mu’ (dan seterusnya)
Tidak jarang
nomina milik tak terasingkan di temukan hanya dengan sufiks posesif saja,
sedangkan nomina tanpa sufiks itu adalah bentuk terikat.
5. Frasa
Penindakan
Dalam frasa
tipe ini, nomina induk adalah nomina deverba artinya nomina yang di derifasikan
dari verba, dan dengan demikian dapat membawa arti keajentifan atau penindakan.
Keajentifan dalam kontsek ini berarti bahwa nomina diderifasikan dari verba
transitif;dan penindakan bila diderifasikan dari verba intransitif.
Nomina yang
demikian ada dua jenis (a) nomina membawa arti kegiatan, (b) nomina induk
membawa arti penggiat.
Indonesia
(26) induk
“transitif”
(a) penulisan surat; penerbitan buku
(b) penulis surat; penerbit buku
(27) induk
“intransitif”
(a) kedatangan tamu; keberangkatan menteri
(b) pendatang; pejalan; pekerja;pelaut
6. Frasa dengan
atribut
Dengan istilah
“atribut rangkap serial” dimaksudkan atribut dua atu lebih, yang di rangkaikan
secara koordinatif dengandan, atau dan lain sebagainya
Indonesia
(32)
rumah bapak dan ibu Sumarman
(33)
pendidikan anak-anak dan orang dewasa
(34)
pemimpin buruh dan majikan
(35)
perbanyakan folder atau majalah
(36)
tulisan rahmat dan pranjoto
7. Frasa dengan
atribut nominal rangkap terkandung
Yang dimaksud disini adalah frasa nominal tipe nomina+nomina, sedemikian rupa
sehingga atributnya bersifat frasa nominal, entah tipe nomina+nomina
((40)-(42)) entah tipe nomina non nomina ((43)-(46))
Indonesia
(40)
milik ibunya guru
(41) umur kepala
bagian penerangan
(42)
pemahat patumg pahlawan
(43)
milik ibu yang baik hati
(44) umur anak
kecil
(45)
pemimpin rakyat setempat
8. Frasa dengan
atposisi sebagai berikut
Dalam frasa
nominal yang atribut nomina yang namanya “atposisi” adalah atribut yang member
keterangan tambahan tentang identitas orang atau benda yang di acu oleh nomina
induk, seperti terlihat dalam contoh berikut
Indonesia
(50) Bapak
Sriyono, Profesor Kedokteran pada Universitas ini
(51) Ruang
ini, kamar makan untuk staf
(52) Presiden
Republik Indonesia pertama, yaitu Soekarno
(53) Kondisi
lain, yakni kondisi politis dan historis Negara kita
9 .Frasa dengan
“semiatribut penyalin”
Indonesia
(67) Rumah
(milik) Pak ali
(68) Surat
(keterangan) jalan
(69) Cerpen
(susunan) Ali
(70) Ruang
(tempat) rapat
10. Frasa
dengan induk penggolong
Banyak bahasa
termasuk bahasa Indonesia, memiliki system nomina “penggolong” ; alat
penggolong kelas nomina “atribut”. Contoh Indonesia adalah: buah, ekor,
butir, dan lain sebagainya.
Indonesia
(71) se-batang rokok;
se-buah almari; se-butir telur; se-carik kertas; se-ekor burung;
se-orang wanita; se-pucuksurat; air anggur; air liur.
BAB 20
SINTAKSIS FRASA
: FRASA NOMINAL,TIPE NOMINA + NON-NOMINA
1) Pengantar
Dalam Bab
19,diuraikan tentang fleksibilitas semantis yang ada di antara induk dan
atribut dalam frasa nomina+nomina. Fleksibilitas yang demikian tidak ada dalam
frasa nominal dangan atribut non-nominal. Misalnya saja, dalam frasa yang
terdiri dari nomina induk dan ajektiva,ajektifalah yang menentukan sifat
semantis konstituen induk. Demikian pula,bila atribut berbentuk tentang nomina
induk. Artinya seluruh relasi semantis antara induk dan atribut ditentukan oleh
atribut non-nominal seperti ajektifa atau klausa.
Ada satu lagi
perbedaan antara frasa nomina+nomina dan nomina + non nomina; yaitu dalam frasa
nomina+ non-nomina,ada banyak kategori kata sebagai atribut . Disamping
ajektiva dan klausa relatif ada juga atribut pronominal(anaforis,deiktris,interogatif,dan
idefinit) dan pembilang.
Yang menarik
perhatian dalam frasa nomina + non-nomina adalahsifat struktur sintaksisnya
,yaitu ada tidaknya “penyambung” untuk menyambung atribut dengan induk;alat
yang demikian di sebut perangkai.
2) “Hierarki
penyambungan” antara induk dan atribut
Menurut teori “Hierarki penyambungan” antara nomina induk dan atribut non-
nominal induk penyambungan tersebut dapat bersifat sangat rapat,sehingga
konstituen perangkaian tidak diperlukan,sedangkan bila penyambungan tersebut
tidak begitu rapat konstituen perangkaian dipakai secara opsional atau bahkan
secara wajib. Misalnya dalam bahasa Indonesia,yang wajib hadir dalam(1) tetapi
tidak wajib dalam(2):
Indonesia
1. Anak
(yang) telah datang
2. Anak
(yang) cerdas
Dalam frasa
(1), perangkaian yang wajib hadir,karena tanpa yang ada konstruksi lain,yaitu
kalimat anak telah datang. Sebaliknya anak (yang) cerdas mempergunakan
perangkaian secara opsional.
Inti pokok teori “Hierarki penyambungan” dapat dijelaskan sebagai berikut.dalam
setiap bahasa ada hierarki konstruksi frasa nomina + non-nomina sedemikian rupa
sehingga hukum berikut berlaku: semakin tinggi frasa yang demikian dalam
hierarki,semakin rapat pulalah sambungan antara induk dan atribut, sedemikian
rupa sehingga perangkai dilarang atau paling-paling dipakai hanya secara
opsional saja. Sebaliknya, semakin rendah frasa yang demikian dalam hierarki
tadi, semakin kurang rapat sambungan antara induk dan atribut, sehingga
perangkai dipakai secara opsional atau bahkan secara wajib.
Pronomina relatif yang benar pun berstatus perangkai, karena menyambung nomina
induk(sebagai antiseden) dengan klausa relatif(sebagai atribut). Namun namun
dalam bahasa-bahasa Austronesia tadi tidak mutlak perlu ada pembedaan esensial
antara atribut “relatif” dan atribut “nonrelatif”.
3) Frasa
dengan atribut relatif: beberapa konsep pokok
Atribut dalam
frasa nominal:
· Pertama
: istilah “anteseden” . Nomina induk dengan klausa relatif sebagai atribut
adalah “anteseden” klausa relatif. Istilah “anteseden” sudah begitu biasa
secara tradisioanal sehingga sebaiknya kita pertahankan, tetapi perlu
dijelaskan disni bahwa “anteseden” berarti bahwa nomina induk itu
mendahului klausa relatif. Padahal,ada pula bahasa-bahasa dengan susunan
terbaalik,nomina induk mengikuti klausa relatif. Namun,marilah kita
mempertahankan istilah “anteseden” saja, entah apa susunan beruntuk induk atau
atribut.
Anteseden +
klausa relatif; klausa relatif+ anteseden; dan anteseden didalam klausa relatif
· Kedua
: kluasa relatif ada dua kelas semantisnya : klausa pembuka dan klausa
pembatas. Perbedaan tersebut penting juga secara sintaksis.
· Ketiga
: konstituen (entah bebas entah terikat ) yang memarkahi klausa relatif
sebagai klausa relatif dapat disebut “perelatif” ,akan tetapi “perelatif” itu
tidak mutlak perlu berupa perangkai.
· Keempat
: perelatif dapat berupa perangkai pronominal,sehingga berstatus argumen
didalam klausa relatif,atau merupakan objek adposisi.
· Kelima
: perelatif dapat berupa perangkai sebagai “penghadir” anteseden didalam klausa
relatif.
4) Susunan
beruntun anteseden dan klausa relatif
Dalam contoh
berikut anteseden dicetak tebal
Ilokano (luzon,filipina)
ART laki-laki PRK FPLK kawin
‘laki-laki yang kawin itu’
5) Klausa
relatif pembuka dan klausa relatif pembatas
Pentinglah
pembedaan klausa-klausa relatif sebagai klausa “pembuka” dan klausa “pembatas”.
Seperti di jelaskan dalam Bab 19, aposisipun dibedakan demikian. Artinya ,
klausa relatif pembuka tidak mutlak perlu untuk identifikasi antiseden.
Sebaliknya, klausa relatif pembatas mutlak perlu hadir demi identifikasi
tersebut.
Klausa relatif
pembuka adalah “pikiran susulan”(yaitu Bab 19), yaitu keterangan yang ditambah
demi alasan tertentu tetapi keterangan yang tidak perlu demi
pengidentifikasian nomina indu secara unik.
Pendek kata
dalam bahasa Jepang klausa relatif mutlak perlu bersifat pembatas dan tidak
dapat bersifat pembuka, karena klausa pembuka merupakan pemikiran susulan
dan pikiran susulan jelas tidak dapat berupa pranominal. Bila penutur Jepang
ingin mengungkapkan keteranga yang bersifat pembuka, ia akan mengungkapkannya
dalam klausa (independen) yang baru.
[6] Konstituen
“perelatif” yang tidak berupa perangkai
Dalam bahasa tertentu ada pemarkah klausa relatif yang tidak berupa perangkai.
Pemarkah yang demikian diafikskan pada verba di dalam klausa relatif. Misalnya
(pemarkah di cetak tebal):
“kursi
yang di rusak oleh seorang petani kemarin”
(7) Konstituen
“perelatif” yang berupa perangkai
Perelatif perangkai yang tidak pronominal sudah di bahas dalam
kerangka “hierarki penyambungan lihat pasal [2] di atas. Dalam
bahasa yang bersangkutan, tidak adapembedaan sintaksis yang jelas antara
atribut yang memakai perangkai untuk atribut taraf 3 atau 2 dan untuk
atribut taraf 1, yang berupa klausa relatif.
Sebaliknya, perelatif itu dapat berupa pronomina, atau frasa adposisional
dengan pronomina relatif sebagai objeknya.
(8)
Konstituen perelatif perangkai sebagai penghadir anteseden
Perangkai berupa prominal dan nonprominal, anteseden itu “dihadirkan” olehnya
dalam klausa relatif dalam bentuk tertentu. Dalam hal perelatif tanpa perangkai
tidak selalu jelas status anteseden di dalam klausa relatif. Sebagai contoh
dari jepang :
‘bis yang
sedang di tunggu’ atau
‘bis yang
sedang menuggu
[tidak jelas
status anteseden di dalam klausa relatif itu subjek atau objek]
Sebagai contoh
dari indonesia:
*orang yang
saya mengundang
*orang yang
saya mengundangnya
Jadi
artinya oran yang saya undang
*Surat
yang saya akan tulis
*surat yang
akan saya menulisnya
Jadi artinya
surat yang akan saya tulis
(9) Frasa
dengan atribut “adverbial”
Dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa indonesia dan bahasa inggris, adverbia
atau frasa yang berfungsi adverbia.
Contohnya
(atribut di cetak tebal):
Bunga-bunga
(yang) di meja ini
Pengumuman
(yang) tadi malam itu
Rencananya
(yang) ke jakarta itu
Rakyat( yang
)setempat
Waktunya( yang)
untuk istirahat( kurang) cukup
Kedatangan
mereka( yang) dari solo
[10]
Frasa dengan atribut non-nominal rangkap serial
Atribut rangkap
serial adalah atribut yang bagian-bagiannya tersusun secara koordinatif. Contoh
indonesia
Indonesia
(113)
pernyataan (yang) itu dan (yang) ini
(114) Anak
(yang ) ini dan (yang) itu
[115]
orang *(yang) baik dan (yang) bisa dipercaya
[116] orang
(yang) ini (*dan yang di percaya)
Yang sebagai
perangkat operasional atau wajib. Khusus dalam (116), jika atribut pertama
adalah deiktis (taraf 6) dan yang akhir klausa relatif (taraf 1) maka atribut
serial tidak mungkin, karena taraf-tarafnya terlalu berbeda. Sebaliknya, jika
koordinasi atribut dalam (115) bisa, karena taraf-tarafnya (3 dan 1) tidak
terlalu berbeda.
[11] Frasa
dengan atribut non-nominal rangkap terkandung
Atribut rangkap
terkandung adalah dua atau lebih atribut sedemikian rupa sehingga atribut P
tergantung atribut Q. Misalnya :
Indonesia
(124) acara
{{{tadi} {*(yang) menarik }} itu}
(125) acara
{{tadi} {*(yang) kami lupa}}
(126) naskah
{{(yang) ini} {*(yang) tidak sedikit itu}
Perhatikan
sistem kurung (kurawal) yang sebagian terkandung.
[12] Frasa
tanpa nominal induk
Kontituen induk
dengan atribut relatif memiliki struktur sistematis yakni makna konstituen
induk dibatasi oleh atribut relatif, entah dalam klausa pembuka, entah dalam
klausa pembatas. Kadang-kadang atribut relatif begitu umum sehingga konsituen
induk tidak perlu. Akibatnya, frasa tidak memiliki induk, dan perangkai menjadi
induk-bahkan perangkai nonpronominal, seperti yang dalam bahasa indonesia dapat
di katakan menjadi “yang sebagai pengganti”:
Indonesia
(131) yang
itu/ini
(132) yang
mana?
(133) yang banyak
itu
Perhatikan
bahwa itu dalam (131) adalah ektoforis dan dengan demikian termasuk taraf 2,
bukan 1 (pada taraf 1 yang tidak mungkin, apalagi tanpa induk).
[13] Frasa
nominal konjungsional
Frasa nominal
terdiri atas konstituen induk dan konstituen bawahan. Frasa nominal dapat
terdiri juga atas nominal yang di koordinasi, dengan atau tanpa konjungsi.
Contoh berikut
Indonesia
(149) Sarju dan
isterinya senang main catur
(150) (a) Sarju
senang main catur dan isterinya senang main catur
(b)
Sarju senang main catur danisterinya juga
Dalam (149)
Sarju dan isterinya tidak mutlak perlu di tafsirkan sebagai frasa nomina;
konjungsional, karena (149) dapat di pandang sebagai bentukeliptis dari (150);
yakni sebagai koordinasi bukan dari dua nomina melainkan dari dua klausa. Jadi
frasa yang terdiri dari nomina+dan+nomina dapat di pandang sebagai
nominalkonjungsional paling sedikit dalam konteks tertentu. Dalam bahasa
indonesia maupun bahasa inggris, frasa konjungsional dengan nomina lebih
daripada dua,konjungsi dan / and tidak wajib hadir kecali di depan nomina
terakhir.
BAB 21
FRASA ADPOSISIONAL,AJEKTIVAL DAN ADVERBAL
1. Pengantar
Sintaksis
frasa,disamping frasa nominal,juga meliputi frasa adposisional,frasa
ajektival,dan frasa adverbial(mengingat bahwa frasa verbal lebih tepat dibahas
dalam pembahasan predikat Bab 12). Sintaksis frasa dapat dipandang menurut
struktur intrafasalnya dan menurut struktur ekstrafasalnya. Misalnya,
frasa preposisional dapat berfungsi sebagai objek secara ekstrafasal,ataupun
sebagai konstituen keterangan, secara ekstrafasal pula (seperti dalam contoh
(2) dibawah.
Indonesia
Ø Guru
menguraikan tentang teori ini.
Ø Olah
tanah dengan cangkul.
Padahal,secara
intrafasal semua frasa yang dicetak tebal ini adalah sama: frasa
adposisional.
2. Frasa
adposisional : pengantar
Ada beberapa pokok menyangkut frasa adposisional yang perlu di bahas dibawah
yaitu:
a. Adposisi
dan “objekzz”-nya
b. Adposisi
berupa preposisi,posposisi dan ambiposisi
c. Adposisi
bertumpuk, yaitu konstituen induk terdiri yang terdiri dari dua adposisi
d. Frasa
adposisional bermarkah induk dan bermarkah bawahan
e. Frasa
adposisional sebagai atribut
f.
3. Adposisi
dan “objek”-nya
Frasa
adposisional terdiri tas adposisi sebagai induk dan kata atau frasa nominal
sebagai konstituen bawahan. Konstituen tersebut dalam ilmu linguistik lazim
disebut “objek”, artinya “objek” pada adposisi induk. Kita pun akan memakai
istilah “objek” itu, dieja dengan “o” kecil”, untuk membedakannya dari “objek”
(huruf besar) sebagai argumen klausa : artinya, objek pada verba.
Kebiasaan
menyebut konstituen adposisi “objek” pernah muncul oleh karena dalam banyak
bahasa adposisi berasal dari verba. Tumpang tindihnya kedua kelas kata itu,
adposisi dan verba, masih terlihat dalam bahasa seperti bahasa Inggris
(pasrtisipia presen), bahasa Indonesia(bentuk men-) dan bahasa tok pisin(bentuk
–im):
Inggris
ü Considering
this
Mempertimbangkan
ini
‘karena hal
ini’
Indonesia
ü Mengingat
hal itu
;
menurut dia:
Mempertimbangkan
hal
itu:
melebihi tuntutan
Tok pisin
ü Winim
hat
bilong
wara
Lebih: dari
panasnya PRP: POS air
“lebih panas
dari air”
Selain dari
itu, bahkan dalam hal adposisi berupa verbal, “objek” –nya belum tentu
diperlalukan seperti objek pada verba predikatif. Misalnya, dalam bahasa
indonesia bentuk verbal dengan men- dapat menyufiskan objek pronominal(misalnya
membaca-nya , mengingat-nya), tetapi bentuk serupa sebagai objek adposisi tidak
gramatikal: frasa adposisional mengingat hal itu tidak dapat diubah menjadi
mengingat-nya dalam arti yang sama. Sebaliknya,banyak adposisi nonverbal
dalam bahasa ini dapat menyufiskan objeknya dalam bentuk pronominal.
4. Preposisi,
posposisi, ambiposisi
Seperti sudah
kita pelajari di atas, adposisi yang dapat mendahului objeknya disebut
“preposisi”, sedangkan adposisi yang dapat mengikuti objrknya lazim dinamai
“posposisi”.selain dari kedua jenis ini, ada juga apa yang kita sebut
“ambiposisi”,yaitu adposisi dengan dua bagian, yaitu didepan dan dibelakag
objeknya. (istilah “ambiposisi”, seperti juga istilah “ambifiks” dan
“sirkumfiks” tidak sangat umum dipakai dalam ilmu linguistik).
Ada banyak
bahasa yang tidak memiliki keselarasan infraklausal untuk susunan beruntun,
sehingga frasa adposisional meliputi baik proposisi maupun posposisi.
(5) AD
Posisi bertumpuk
Dalam penelitian antar bahasa kita temukan berbagai sistem adposisi bertumpuk.
Periksalah sistem adposisi dalam bahasa inggris. Bahasa ini memiliki sitem
adposisi
( Tunggal) yang
cukup terperinci . menyangkut sistem adposisi bertumpuk dalam bahasa ini,
sistem tersebut tergantung dari kebutuhan semantis( dengan kendala gramatikal
tertentu), tetapi seluruh sistem adposisi adalah sistem yang terdiri dari
banyak adposisi tunggal. Sistem kiranya dapat kita sebut sistem “ tipe
Inggris”. Sebaliknya,dalam bahasa tertentu yang lain ada sistem yang agak lain
sifat-sifatnya: jumlah adposisi tunggal hanya sedikit saja, sehingga kebutuhan
semantis perlu di ungkapkan dengan sistem adposisi bertumpuk.
Konstituen di depan long (kecuali paslain dan raun), bila dipakai
tanpa long, dapat berfungsi sebagai nomina atau adverbia. Sedangkan aninit
long dan antap long adalah preposisi bertumpuk dan baru dengan
nomina berikut frasa preposisional, seperti :
Tok
pisin
Antap
long
haus
ainit long haus
Atas
dirumah
bawah di rumah
‘di atas
rumah’
‘di bawah rumah
(6) Frasa
adposisional bermarkah induk dan bermarkah bawahan
Frasa adposisional pemarkah induk ada dua jenisnya:
Yang pertama pemarkahan adposisi secara prominal sebagai pengganti nomina.
Misalnya untuk-nya, atau bagi-nya, menggantikan nomina artinya bila nomina
hadir, tak ada pemarkahan -nya tidak mungkin kontruksi seperti un-tuk-nya
guru, haruslah untuk guru.
Yang kedua pemerkahan adposisi induk adalah pemerkahan yang hanya menyertai,
tidak mengganti nomina objek, jadi ada baik pemarkahan (tebal) maupun
nomina objek contohnya dari jerman:
Dengan
anak-anak itu
Sejak perang
itu
Selama waktu
ini
(7) Frasa
adposisional sebagai atribut
Steruktur frasa dalam bab ini di bahas hanya dalam stuktur intrafrasalnya.
Namun steruktur tersebut kadang-kadang tergantung dari ekstrafrasalnya.
Dalam tradisi pembahasan gramatikal baik untuk bahasa inggris maupun bahasa
indonesia tidak terlihat adanya masalah. Misalnya dalam bahasa inggris frasa
proposional on the table dapat menjadi atribut pada the flowers, dalam bahasa
indonesia frasa profesional di samping lemari dapat menjadi atribut pada kursi.
Contoh :(bahasa
inggris) - the flowers on the table
(bahasa indonesia) -kusi di samping lemari
(8) Frasa
ajektival (pengantar)
Frasa ajektival terdiri dari ajektiva sebagai induk dan konstituen bawahannya.
Konstituen bawahan itu ada yang bermacam-macam , dan frasa ajektival dapat di
golongkan menurut jenis konstituen bawahan sebagai berikut :
[a] penegas
negatif, penegas refleksif, penegas modal
[b] nomina
milik yang tak terasingkan
[c] pembaku
pada komparatif, superlatif, dan ekuatif
[d] adverbia
atau frasa adverbial derajat
[e] nomina
pengukur
[f]
nomina “aspek”
Contohnya:
(a) Cara
yang [tidak sehat], (b) makanan yang [kurang baik]
(a) Mawas diri (b)
bangga diri (c) aku yang [sadar akan diriku]
(9) Frasa
ajektival dengan pemodifikasi penegasan
Penegasan dalam klausa ada praverbal (di sebelah kiri verba) dalam bahasa VO,
dan posverbal (di sebelah kanan verba) dalam bahasa OV. Bahasa –bahasa yang
secara konsisten mentaati “hukum DM” dan “hukum MD” secara infraklausal pula,
akan menempatkan penegas dalam frasa ajektival di sebelah kiri ajektiva dalam
bahasa VO, dan di sebelah kanannya dalam bahasa OV. Di bawah ini ada beberapa
contoh tentang negasi:
(a) cara yang [tidak sehat]
(b) makalah
yang [kurang baik]
(10)
Frasa ajektival dengan pemodifikasi milik tak terasingkan
Perhatikan bahwa angkuh hati bukan frasa nominal (dengan hati sebagai induk dan
angkuh sebagai atribut) melainkan frasa ajektival (dengan angkuh sebagai induk
dan hatinya) sebagai bawahan dengan makna milik tak terasingkan.
Contohnya:
(a) Orang
yang [sombong pikirannya]
(b) Orang
yang [sombong adiknya]
Artinya orang
yang pikirannya sombong adalah sombong, padahal orang yang adiknya sombong
tidak sombong hanya karena adiknya demikian. Dalam hal ini pikiran orang
dimiliki secara tak terasingkan tetapi orang lain (seperti adik).
[11] Frasa
ajektival dengan pemodifikasi pembaku
Pembaku adalah
konstituen bawahan pada ajektiva sebagai induk, sedemikian rupa sehingga induk
itu berupa komparatif, superlatif, atau ekuatif.
Dalam bahasa
latin, pembaku superlatif diberi bentuk jenetif
Latin
(78) alt-
issum- us onm-
ium
Tinggi
SUPL M:T:NOM semua J:JEN
‘yang paling
tinggi di antara semua’
[12] Frasa
ajektival dengan pemodifikasi derajat
Dalam bahasa
tertentu adverbia diber bentukmorfologis yang khas. Dalam bahasa ini,
komparatif dan superlatif dari kelas ajektiva tertentu dibentuk secara frasal
dengan more ‘lebih’ dan most ‘paling’ , seperti pada contoh
berikut (bentuk *comfortabl-er dan *difficult-est tidak
gramatikal)
(81) more luxurious most difficult
Lebih
dewasa
paling sulit
‘lebih
mewah’
‘paling sulit’
[13] Frasa
ajektival dengan pemodifikasi pengukur
Perhatikan
sintaksis inggris kontruksi: pemodifikasi pengukur mendahului ajektiva derajat
positif, dan dapat didahului atau menyusul ajektiva derajat komparatif, pada
hal, bila menyusul, harus dimarkahi dengan by:
Inggris
(82) thirty
meter- s high
Tigapuluh meter
J tinggi
‘tinggi
tigapuluh meter’
[14] Frasa
ajektival dengan pemodifikasi “aspek”
Aspekdalam
pemodifikasi ini berupa frasa adposisional. Bentuknya dapat juga verbal; pasif
bila nomina yang di atributi oleh ajektiva mengalami apa yang di ungkapkan oleh
verba, seperti dalam (87)-(89), aktif bila nomina yang bersangkutan melakukan
apa yang diungkapkan oleh verba, seperti dalam (90):
Indonesia
(87) orang yang
[pantas (untuk) dihargai]
(88) karya seni
yang [indah dipandang]
(89) manisan
yang [enak dikunyah]
(90) anak yang
[pandai berbicara bahasa indonesia]
[15] Frasa
adverbial
Frasa adverbial
terdiri dari adverbia sebagai induk dan adverbia (atau frasa adverbial) lain
sebagai konstituen bawahan.
Indonesia
(93) melakukan
tugas [amat baik]; lari [sangat cepat]
Frasa
adposisional sering berfungsi secara adverbial menurut peranan ekstrafrasalnya:
seperti, misalnya: secara lucu; dengan mudah; with great difficulty; to a
large extent; dan lain sebagainya.
BAB 22
SISTEM,
STRUKTUR, DAN SISTEMATIK
1. Pengantar
Dari istilah
“struktur” dan “sistem” memiliki perbedaan yang tidak sulit di mengerti.
Istilah “Struktur” adalah nama susunan tuturan. Sedangkan istilah “Sistem”
sering di pakai untuk menamai setiap hubungan antara bentuk-bentuk yang
termasuk dalam salah satu , tetapi tidak secara “struktual”.
Untuk mengaji
bahan tertentu memang “struktur” dan “sistem” perlu di bedakan. Jadi kita
memnutuhkan istilah baru yang mencangkup kedua-duanya yaitu istilah “sistematik”.
Bentuk ajektivalnya adalah “sistematis”, dan bentuk ajektival dari “sistem”
adalah “sistemis”. Bagan 14 memudahkan pengertian istilah-istilah yang
bersangkutan.
2. Struktur
, sistem dan “distribusi”
Istilah
“distribusi” dicetuskan oleh ahli linguistik Leonard Bloomfield. Istilah
tesebut dapat dipakai dalam dua arti.
Pertama,
“distribusi” di artikan sebagai sifat segmen atau konstituen di dalam struktur
tertentu. Misalnya (1) Si Amin tidak mengenal putri yang berani itu.
Masing-masing
segmen dapat di analisis menurut “distribusi”-nya di dalam kalimat atau di
dalam segmen yang lebih pendek. Misalnya Si Amin adalah subjek pada
predikat mengenal . kata tidak adalah penegas pada
verba mengenal , kata berani tidak langsung termasuk
seluruh klausa tetapi merupakan atribut pada konstituen induknya putri sebagai
frasa putri yang berani. Ini adalah Analisis menurut distribusi struktual.
Kedua ,
“distribusi” adalah pengertian sistemis: yaitu menyangkut mungkin tidaknya
salah satu konstituen struktual di ganti oleh unsur lain. Misalnya, Si
Amin dapat diganti oleh nomina lain, demikian putri juga dapat
di ganti dengan nomina lain.
Bila dua unsur
dapat saling mengganti dalam struktur tertentu, maka distribusi kedua unsur
tersebut adalah “paralel”.
3. Beberapa
jenis struktur
a. Struktur
fonetis
Secara fonetis
vokal itu dimulai dengan bunyi hamzah. Bunyi hamzah dalam bahasa ini tidak
pernah berstatus fonem, jadi kaidah dalam setiap kata bahwa setiap kata dalam bahasa
jerman harus mulai dengan bunyi hamzah adalah kaidah fonetis bila fonem pertama
dalam kata adalah vokal.
b. Struktur
fonologis
Struktur
fonologis sebagai susunan fonem-fonem di dalam kata. Secara struktual fonem ini
tidak pernah ditemukan pada awal kata.
Dalam hal ini
lazimnya para ahli fonologi membedakan awal kata (namanya anlaut ),
tengah kata (namanya in-laut), dan akhir kata (auslaut) ketiga istilah ini
adalah nomina jerman yang sudah lama dipakai secara internasional (jadi huruf
besar yang wajib dalam bahasa jerman pada awal nomina tidak wajib di pakai
dalam bahasa lain).
c. Struktur
alofonemis
Struktur
alofonemis tergantung dari lingkungan fonem yang ditemukan bentuk
alofonemisnya, jadi bersifat struktual.
d. Struktur
morfemis
Pembagian afiks
atas prefiks, sufiks, infiks dan ambifiks adalah pembagian atas dasar
struktual, karena menyangkut tempat dari afiks menurut jenisnya.
e. Struktur
alomorfemis
Contoh yang
segera masuk akal adalah alternan-alternan dari prefiks indonesia meN-,
karenatergantung dari lingkuhan susunan dari kiri ke kanan, dan demikian
menyangkut struktur.
f. Struktur
sintaksis
Contoh yang
jelas adalah susunan beruntun, secara klausal (SVO, VOS, VSO, SOV, OVS, OSV),
dan secara frasal (misalnya atribut mendahului atau mengikuti nomina induk).
4. Beberapa
jenis sistem
a. Sistem
fonetis
Bunyi-bunyi di
dalam bahasa tertentu, lepas dari khazanah fonem-fonemnya, tergantung dari
sistem bunyi yang khas dalam bahasa itu.
b. Sistem
fonologis
Setiap bahasa
memiliki sistem fonem, artinya kemungkinan alternan-alternan bunyi. Dalam
sisitem fonem bahasa ini tidak ada fonem */g/ sebagai alternan bersuara untuk
fonem /k/. Bunyi fonetis [g] hanya sebagai hasil asimilasi /k/ pada /d/ yang
berikut, seperti dalam zakdoek.
c. Sistem
alofonemis
Sistem
alofonemis adalah spesifik untuk setiap bahasa. Meskipun fonem /t/ dalam bahasa
inggris memiliki alofon [t] beraspirasi bila /t/ itu aadalah /t/ anlaut, namun
dalam bahasa Belanda, yang memiliki fonem /t/ juga, tidak ada aspirasi demikian
dalam sistem alofonis fonem tersebut.
d. Sistem
morfemis
Sistem morfemis
asalah sistem paradigmatis, mencakup paradigma verbal, nominal, pronominal,
dll. Mencakup pula sistem derivasional, menurunkan kata dari kata lain dengan
unsur-unsur morfemis.
e. Sistem
alomorfemis
Merupakan
“paradigma” sendiri-sendiri, yaitu bentuk-bentuk alomorfemis dari fonem,
menurut lingkungan.
f. Sistem
sintaksis
Sistem yang
membatasi kemungkinan penggantian konstituen oleh konstituen lain. Dalam sistem
sintaksis ada unsur yang berdistribusi paralel dan ada yang berdistribusi
komplementer.
5. Struktur
endosentris dan struktur eksosentris
Konstruksi
dapat berupa frasa, dapat pula berupa satu kata saja, yaitu kata polimorfemis.
Konstruksi
endosentris adalah konstruksi yang berdistribusi paralel dengan induknya.
Sebaliknya , konstruktur eksosentris adalah konstruksi yang berdistribusi
komplementer dengan induknya (dalam kata polimorfemis, “induk” diartikan bentuk
dasarnya).
Contoh (induk
di cetak tebal) :
· Gedung (yang)
tinggi; pemandangan (yang) indah
· Mengikuti ayah
; mengikuti-nya
· Sangat jauh ; cepat sekali
; agak mahal
6. Analisis
pembagian langsung
Bersifat
struktual, ditemukan oleh ahli linguistik Leonard Bloomfield. Struktur tertentu
dapat dibagi atas konstituen-konstituennya, tetapi pembagian demikian hendaknya
jangan dilakukan hanya menurut susunan dari kiri ke kanan.
Contoh
Pembagian langsung dapat dilakukan dalam bentuk “pohon”, seperti bagan 17
berikut :
Analisis ini
agak mudah, tetapi tidak jelas mengapa setiap langkah harus terdiri atas dua konstituen,
tidak lebih. Periksa bagan 18 :
Dalam bagan ini
segmen lalu saya jelaskan dianalisis sebagai lalu Ø+ saya
jelaskan: konstituen nol adalah Objek yang merujuk kembali pada naskah.
Alhasil : ada tiga konstituen, bukan dua. Demikian pula, dalam bagan 17,
langkah pertama dapat membagi saya mau pergi ke Surabaya besok pagi menjadi
tiga, bukan dua, konstituen , yaitu sayaǁmau pergi ǁ ke Surabaya
besok pagi.
Dari penjelasan
tadi sudah jelas bahwa analisis pembagian langsung tidak selalu memadai dan
tidak mampu mendisambigukan.
BAB 23
SEMANTIK
1. Pengantar
Semantik adalah
cabang linguistik yang meneliti arti atau makna. Semantik itu dibagi menjadi
semantik gramatikal dan semantik leksikal.
2. Semantik
gramatikal
Unsur pembawa
makna yang terkecil yang bersifat gramatikal adalah morfem ; maksudnya,
dalam konteks ini, morfem terikat, seperti afiks (tentunya leksem monomorfemis
bermakna juga, tetapi termasuk semantik leksikal).
3. Semantik
leksikal: pengantar
Semantik
leksikal menyangkut makna leksikal. Bidang yang meneliti semantik
leksikal menurut asas-asasnya dinamai “leksikologi”. Tugas yang lebih
praktis, menyusun kamus dikenal sebagai “leksikografi”.
Makna leksikal
dalam deskripsi linguistik lazimnya dimarkahi dengan tanda petik tunggal;
misalnya, kita mengatakan bahwa kata rumah memiliki makna ‘rumah’.
Semantik
leksikal secara leksikollogis mencakup segi-segi yang agak banyak jumlahnya.
Antara lain, ada pokok-pokok berikut:
a. Makna
dan referensi
b. Denotasi
dan konotasi
c. Analisi
ekstensional dan analisis intensional
d. Analisis
komponensial
e. Makna
dan pemakaian
f. Kesinoniman,
keantoniman, kehomoniman, dan kehiponiman.
4. Makna
dan referensi
Makna leksikal
lazim dipandang sebagai sifat “kata” sebagai unsur leksikal. Misalnya,
kata roti memiliki makna tertentu, akan tetapi selain dari makna
tersebut kata roti memiliki juga sifat yang namanya “referensi” yaitu
kemampuan kata roti untuk mengacu pada makanan tertentu. Yang diacu
itu dinamakan “referen”. Sudah jelas bahwa referensi berhubungan erat dengan
makna , jadi referensi merupakan salah satu sifat makna leksikal.
5. Denotasi
dan konotasi
Denotasi adalah
referensi pada sesuatu yang ekstralingual menurut makna kata yang
bersangkutan. Sebaliknya “konotasi” kata adalah “arti” yang dapat muncul pada
penutur akibat penilalian afektif atau emosional.
6. Analisis
ekstensional dan analisis intensional
Menurut makna
ekstesionalnya kata X merujuk pada hal-hal yang ekstralingual, misalnya
kata perabot merujuk pada perabot yang bermacam-macam.
Menurut makna
intensional kata X terdiri atas sifat-sifat semantis tertentu, misalnya makna
‘perabot’, dalam kata perabot, secara intensional mengandung unsur-unsur
semantis ‘perlengkapan’,’rumah tangga’, dll.
7. Analisis
komponensial
Istilah
kekerabatan dalam bahasa indonesia dapat dibayangkan seperti sebuah jaringan ,
dengan simpul-simpul yang memiliki “identitas”-nya hanya secara “relasional”,
yaitu menurut tempatnya terhadap simpul lain-lainnya dalam seluruh jaringan.
Analisis semantik leksikal terhadap unsur-unsur leksikal itu dikenal dalam
linguistik sebagai “analisis komponensial”.
8. Makna
dan pemakaian
Dalam ilmu
linguistik ada manfaatnya untuk membedakan antara makna(leksikal) dan
pemakaiannya. Menurut aliran tertentu dalam filsafat bahasa dapat di katakan
bahwa kita bereferensi pada sebuah mimbar dengan memakai kata mimbar dan
memang melalui ‘mimbar’ sebagai maknanya.
Pemakaian ini
berdasarkan asosiasi tertentu antara mimbar sebagai sebuah perabot yang dipakai
untuk berpidato dan kebebasan untuk mengutarakan pendapat. Pemakaian kata
berdasarkan asosiasi tersebut dikenal sebagai “metonim”, atau pemakaian
“metonimis”. Pemakaian nonkanonik seperti ini menjadi alasan mengapa kita
membedakan makna dan pemakaiannya.
9. Sinonim,
antonim, homonim, hiponim
Unsur-unsur
leksikal dalam bahasa dapat dibandingkan menurut hubungan semantis di
antaranya. Kata X dan Y dapat berubah
· “sinonim”(artinya
X dan Y bermakna hampir sama)
· “antonim”(dengan
X yang bermakna kebalikan dari Y)
· “homonim”
(X dan Y bermakna lain tetapi berbentuk sama)
· “hiponim”
(arti ekstensional dari X merupakan sebagaian dari arti ekstensional dari Y)
10. Kesinomiman
Dalam hubungan
antar-sinonim ialah bahwa ada perbedaan nuansa, dan maknanya bole disebut
“kurang lebih sama”.
Hubungan
kesinoniman berlaku timbal-balik : kita dapat mengatakan bahwa nasib adalah
sinonim dengan takdir, ataupun sebaliknya: takdir adalah
sinonim dengan nasib.
11. Keantoniman
Hubungan
keantoniman berlaku timbal-balik: kita dapat mengatakan bahwa mudah adalah
antonim dari sukar, ataupun sebaliknya: sukar adalah antonim
dari mudah.
Bila pasangan
antonim bermakna kuantitas tertentu(khususnya ukuran), biasaanya ada kutub yang
“positif” (tinggi, lebar, besar) dan kutub yang “negatif”(rendah,sempit,
kecil), dan bila hubungan antonim di tiadakan demi suatu pengungkapan yang
lebih umum(misalnya, kuantitas saja, khususnya ukuran saja) maka hubungan
keantoniman di “netralisasi”-kan.
12. Kehomoniman
Kehomoniman
adalah hubungan di antara kedua kata(atau lebih), sedemikian rupa sehingga
bentuknya sama dan maknanya berbeda. Misalnya, bisa ‘mampu’ dan bisa ’racun’
adalah homonim.
Hubungan
homonim berlaku timbal-balik: kita dapat mengatakan bahwa bisa ’mampu’
adalah homonim dengan bisa ‘racun’ , ataupun sebaliknya: bisa ‘racun’
adalah homonim dengan bisa ‘mampu’.
13. Kehiponiman
Hubungan
kehiponiman dalam pasangan kata adalah hubungan antara yang lebih kecil (secara
ekstensioal) dan yang lebih besar (secara ekstensional pula). Misalnya, kursi adalah
hiponim terhadap perabot, dan merah merupakan hiponim
terhadap berwarna.
Hubungan
kehiponiman tidak berlaku timbal-balik, hubungan perabot terhadap kursi; perabot kiranya
dapat dinamai “hiperonim” .
.
BAB 23
SEMANTIK
1. Pengantar
Semantik adalah
cabang linguistik yang meneliti arti atau makna. Semantik itu dibagi menjadi
semantik gramatikal dan semantik leksikal.
2. Semantik
gramatikal
Unsur pembawa
makna yang terkecil yang bersifat gramatikal adalah morfem ; maksudnya,
dalam konteks ini, morfem terikat, seperti afiks (tentunya leksem monomorfemis
bermakna juga, tetapi termasuk semantik leksikal).
3. Semantik
leksikal: pengantar
Semantik
leksikal menyangkut makna leksikal. Bidang yang meneliti semantik
leksikal menurut asas-asasnya dinamai “leksikologi”. Tugas yang lebih
praktis, menyusun kamus dikenal sebagai “leksikografi”.
Makna leksikal
dalam deskripsi linguistik lazimnya dimarkahi dengan tanda petik tunggal;
misalnya, kita mengatakan bahwa kata rumah memiliki makna ‘rumah’.
Semantik
leksikal secara leksikollogis mencakup segi-segi yang agak banyak jumlahnya.
Antara lain, ada pokok-pokok berikut:
a. Makna
dan referensi
b. Denotasi
dan konotasi
c. Analisi
ekstensional dan analisis intensional
d. Analisis
komponensial
e. Makna
dan pemakaian
f. Kesinoniman,
keantoniman, kehomoniman, dan kehiponiman.
4. Makna
dan referensi
Makna leksikal
lazim dipandang sebagai sifat “kata” sebagai unsur leksikal. Misalnya,
kata roti memiliki makna tertentu, akan tetapi selain dari makna
tersebut kata roti memiliki juga sifat yang namanya “referensi” yaitu
kemampuan kata roti untuk mengacu pada makanan tertentu. Yang diacu
itu dinamakan “referen”. Sudah jelas bahwa referensi berhubungan erat dengan
makna , jadi referensi merupakan salah satu sifat makna leksikal.
5. Denotasi
dan konotasi
Denotasi adalah
referensi pada sesuatu yang ekstralingual menurut makna kata yang
bersangkutan. Sebaliknya “konotasi” kata adalah “arti” yang dapat muncul pada
penutur akibat penilalian afektif atau emosional.
6. Analisis
ekstensional dan analisis intensional
Menurut makna
ekstesionalnya kata X merujuk pada hal-hal yang ekstralingual, misalnya
kata perabot merujuk pada perabot yang bermacam-macam.
Menurut makna
intensional kata X terdiri atas sifat-sifat semantis tertentu, misalnya makna
‘perabot’, dalam kata perabot, secara intensional mengandung unsur-unsur
semantis ‘perlengkapan’,’rumah tangga’, dll.
7. Analisis
komponensial
Istilah
kekerabatan dalam bahasa indonesia dapat dibayangkan seperti sebuah jaringan ,
dengan simpul-simpul yang memiliki “identitas”-nya hanya secara “relasional”,
yaitu menurut tempatnya terhadap simpul lain-lainnya dalam seluruh jaringan.
Analisis semantik leksikal terhadap unsur-unsur leksikal itu dikenal dalam
linguistik sebagai “analisis komponensial”.
8. Makna
dan pemakaian
Dalam ilmu
linguistik ada manfaatnya untuk membedakan antara makna(leksikal) dan
pemakaiannya. Menurut aliran tertentu dalam filsafat bahasa dapat di katakan
bahwa kita bereferensi pada sebuah mimbar dengan memakai kata mimbar dan
memang melalui ‘mimbar’ sebagai maknanya.
Pemakaian ini
berdasarkan asosiasi tertentu antara mimbar sebagai sebuah perabot yang dipakai
untuk berpidato dan kebebasan untuk mengutarakan pendapat. Pemakaian kata
berdasarkan asosiasi tersebut dikenal sebagai “metonim”, atau pemakaian
“metonimis”. Pemakaian nonkanonik seperti ini menjadi alasan mengapa kita
membedakan makna dan pemakaiannya.
9. Sinonim,
antonim, homonim, hiponim
Unsur-unsur
leksikal dalam bahasa dapat dibandingkan menurut hubungan semantis di
antaranya. Kata X dan Y dapat berubah
· “sinonim”(artinya
X dan Y bermakna hampir sama)
· “antonim”(dengan
X yang bermakna kebalikan dari Y)
· “homonim”
(X dan Y bermakna lain tetapi berbentuk sama)
· “hiponim”
(arti ekstensional dari X merupakan sebagaian dari arti ekstensional dari Y)
10. Kesinomiman
Dalam hubungan
antar-sinonim ialah bahwa ada perbedaan nuansa, dan maknanya bole disebut
“kurang lebih sama”.
Hubungan
kesinoniman berlaku timbal-balik : kita dapat mengatakan bahwa nasib adalah
sinonim dengan takdir, ataupun sebaliknya: takdir adalah
sinonim dengan nasib.
11. Keantoniman
Hubungan
keantoniman berlaku timbal-balik: kita dapat mengatakan bahwa mudah adalah
antonim dari sukar, ataupun sebaliknya: sukar adalah antonim
dari mudah.
Bila pasangan
antonim bermakna kuantitas tertentu(khususnya ukuran), biasaanya ada kutub yang
“positif” (tinggi, lebar, besar) dan kutub yang “negatif”(rendah,sempit,
kecil), dan bila hubungan antonim di tiadakan demi suatu pengungkapan yang
lebih umum(misalnya, kuantitas saja, khususnya ukuran saja) maka hubungan
keantoniman di “netralisasi”-kan.
12. Kehomoniman
Kehomoniman
adalah hubungan di antara kedua kata(atau lebih), sedemikian rupa sehingga
bentuknya sama dan maknanya berbeda. Misalnya, bisa ‘mampu’ dan bisa ’racun’
adalah homonim.
Hubungan
homonim berlaku timbal-balik: kita dapat mengatakan bahwa bisa ’mampu’
adalah homonim dengan bisa ‘racun’ , ataupun sebaliknya: bisa ‘racun’
adalah homonim dengan bisa ‘mampu’.
13. Kehiponiman
Hubungan
kehiponiman dalam pasangan kata adalah hubungan antara yang lebih kecil (secara
ekstensioal) dan yang lebih besar (secara ekstensional pula). Misalnya, kursi adalah
hiponim terhadap perabot, dan merah merupakan hiponim
terhadap berwarna.
Hubungan
kehiponiman tidak berlaku timbal-balik, hubungan perabot terhadap kursi; perabot kiranya
dapat dinamai “hiperonim” .
.
BAB 24
DEIKSIS
1. Pengantar
Deiksis adalah
semantik yang berpakar pada identitas penutur. Semantik itu dapat bersifat
gramatikal, dapat bersifaat leksikal pula; bila leksikal, dapat menyangkut
semantik semata-mata, dapat menyangkut juga ferensi.
2. Deiksis
leksikal pronominal : pengantar
Sistem
pronominal dalam semua bahasa terdiri atas sistem-sistem yang lebih terbatas.
Selain dari pronomina personal ada pronomina demonstratif dan pronomina
indefinit ; banyak bahasa juga memiliki sistem pronomina posesif dan pronomina
relatif.
3. Deiksis
dalam sistem pronomina personal
Pronomina
personal dapat di bedakan menurut persona (pertama, kedua, ketiga), jenis
(maskulin, feminin, dan dalam banyak bahasa, menurut jenis yang lain yang
berdasarkan sistem penggolong nominal), dan jumlah (tunggal,jamak, dan dalam
bahasa tertentu dual dan trial pula, dan/atau paukal).
4. Pengacuan
nondeiktis untuk penutur dan si tersapa
Dalam banyak
bahasa ada kendala-kendala sosial yang “melarang” pemakaian pronomina personal
untuk penutur dan si tersapa secara langsung. Misalnya, penutur dapat menyebut
diri adik, atau abdi, atau hamba, atau penulis; bahkan
pronomina saya berasal dari sahaya ‘pengabdi’ : semuanya
ini dalam hubungan sosial dari bawah ke atas. Sebaliknya, orang tua pun bila
berbicara dengan anaknya, tidak jarang mempertahankan pengacuan pada dirinya
dan anaknya dengan penyebutan nominal , misal dengan memakai nomina ibu dan bapa,
atau Sri.
Contoh :
· Bapak sudah
punya
[Bapak dapat
berarti ‘dia’atau ‘anda’]
5. Deiksis
dalam sistem pronomina posesif
Sistem posesif
pronominal agak berbeda-beda dalam bahasa yang berbeda. Banyak bahasa barat
memilliki sistem pronomina posesif, seperti dalam bahasa inggris (my, your,
his, her, our, dan seterusnya) atau bahasa jerman (mein, dein, sein, ihr,
unser, dan seterusnya)
Dalam bentuk
posesif pun, persona ketiga sering berperanan sebagai bentuk halus , dalam
komunikasi dari bawah ke atas.
Contoh :
· Bapak,
bagaimana {pengalaman-nya / pengalaman Bapak } ?
6. Pronomina
dalam bentuk klitika
Pronomina dapat
diafikskan pada nomina untuk makna posesif. Pada verba dapat diafikskan sebagai
pelaku atau pasien, dalam bahasa pemarkah induk, seperti bahasa indonesia:
sebagai pelaku ku- dan kau- (ku-beli, kau-beli), atau sebagai
Pasien –ku dan –mu (mengundan-ku, mengundang-mu).
7. Deiksis
dalam sisitem pronomina demonstratif
Pronomina
persona ketiga tidak bersifat deiktis, kecuali bila bersifat demonstratif.
Pronomina demonstratif adalah pronomina seperti ini dan itu dalam
bahasa indonesia, dapat dibedakan juga menurut “persona”-nya. Pronomina ini mengacu
pada sesuatu yang di tempat penutur, jadi dapat disebut pronomina “persona
pertama”. Seballiknya , itu mengacu pada sesuatu tempat penutur, jadi
dapat disebut pronomina “persona ketiga”.
Contoh:
· Meja
(*yang) itu
[artinya,meja
yang dimaksud secara anafosis, jadi endofosis]
· Meja
(yang) itu/ini
[artinya, meja yang dimaksud secara ektoforis]
Dalam banyak
bahasa pronomina demonstratif bertumpang-tindih dengan pronomina personal
persona ketiga dan dengan artikel atau penentu.
8. Deiksis
leksikal adverbial
Yang disebut
“adverbial” disini tidak hanya mencakup adverbia ( seperti here ‘di
sini’ atau there ‘di sana’ dalam bahasa inggris) tetapi juga frasa
(khususnya adposisional) yang menurut struktur ekstrafrasalnya berperan secara
adverbial.
Contohnya di
sana dan di sini dalam bahasa indonesia. Dalam pasal ini,istilah
“adverbia” di anggap merujuk baik pada adverbia maupun pada frasa adposisional
dengan peranan adverbial.
Deiksis
leksikal adverbial mencakup adverbia yang mengacu pada ruang (adverbia lokatif)
dan pada waktu (adverbia temporal).
9. Deiksis
leksikal verbal
Menurut makna
leksikalnya, ada verba yang deiktis dalam semua bahasa. Misalnya , dalam
bahasa indonesia datang berarti ‘bergerak menuju penutur’ dan pergi berarti
‘bergerak menjauhkan diri dari penutur’.
10. Deiksis
gramatikal
Bentuk
gramatikal deiksis nampak dalam bentuk verbal dengan persesuaian dengan Argumen
(subjek atau Objek) pronominal, seperti di uraikan di atas; dan juga dalam
bentuk morfologis.
Bentuk verbal
gramatikal yang jelas deiktis adalah imperatif. Imperatif sebagai penyapaan,
karena yang disapa adalah persona kedua. Tetapi imperatif dalam bentuk lain
mengungkapkan kehendak penutur, misal dalam imperatif Buatlah hal itu
segera! Persona kedua disapa. Tetapi optatif seperti Hendaknya dibuat
segera!, meskpun dalam bentuk sapaan, mengungkapkan kehendak penutur.
11. Pembalikan
deiksis
Pembalikan
deiksis adalah penciptaan dasar deiktis bukan dalam persona penutur, tepat
penutur atau saat penutur melainkan dalam persona lain penutur beridentifikasi
dengannya.
Contoh untuk
deiksis tempat :
· Apa
sumarwan ada di sini ?
Sebagai sesuatu
yang dikatakan orang kepada anda melalui telpon. Ada verbia di sini tidak
menyangkut tempat penutur melainkakn tempat anda: sekali lagi, si tersapa
diberi status persona pertama.