Wednesday, September 11, 2019

Sastra Populer Sebagus Sastra Serius



Foto diambil dari Beritagar
Sastra populer merupakan sastra yang populer dan banyak pembacanya pada masanya, khusunya pembaca di kalangan pelajar. Sastra populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara intens. Sebab jika demikian, sastra populer akan menjadi berat dan berubah menjadi sastra serius (Nurgiantoro, 1998:18). Menurut Jafar Lantoya dalam blognya bahwa Sebutan sastra populer mulai merebak setelah tahun 70-an. Sering pula sastra yang terbit setelah itu dan mempunyai fungsi hiburan belaka, walaupun bermutu kurang baik, tetap dinamakan sebagai sastra populer atau sastra pop (Kayam, 1981: 82). 

Sastra populer sering dikategorikan sebagai sastra hiburan dan lebih memerhatikan selera komersial. Sehingga, sastra populer hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan jaman, atau enggan untuk dibaca kedua kalinya. Kategori sastra populer tidak bersifat serius tapi bersifat menghibur. Sehingga sastra populer lebih mudah dipahami dan lebih mudah mendapatkan tempat di hati pembaca.

Jika dilihat dari sejarhanya, sastra pupuler mulai dikenal sejak abad ke 19 atau pada masa kolonial Hindia Belanda. Pada saat itu sastra papuler lebih bertemakan hal-hal gaib, priai, nyai dan kisah-kisa percintaan. Namun, ada juga yang menulis bertemakan ideologi seperti yang ditulis oleh R. M. Tirto Adi Surdjo dengan kandungan komunis di tahun 1930-an. Gejala sastra semakin meluas setelah terbitan Roman Medan. Di masa pendudukan Jepang, sastra populer mulai surut kembali karena pergolakan sosial.

Pada tahun 1970-an sastra populer mulai eksis kembali di Indonesia. Banyak bermunculan baca-bacaan yang dianggap sastra populer, seperti yang ditulis Eddy D. Iskandar dengan judul Cowok Komersil, Gita Cinta dari SMA, Sok Nyentrik, Cewek Komersil, Abdullah Harahap yang berjudul Yang Terkenal, Misalnya Musim Cinta Telah Berlalu, Yudhistira yang berjudul Arjuna Mencari Cinta, dan lain sebagainya. Kemudian di tahun 1980-an terbitlah karya yang sangat populer di masayarakat adalah berjudul Lupus karya Hilman.

Pada tahun 2000-an, sastra populer berkembang sangat pesat dan menduduki penjualan cukup baik. Hal tersebut karena banyaknya penerbit yang mewadahi sastra populer sesuai sekmen masyarakat, seperti karyanya Habiburrahman dengan judul Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan sebagainya. Kemudian karyanya Andrea Hirata dengan tetraloginya Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensol, dan Maryamah Karpov menjadi penjualan terlaris. Dan terakhir penulis Tere Liye yang karya-karyanya adalah salah satu terlaris di Indonesia.

Dari perkembangan sejarah sastra, sastra populer lebih mengedepankan hiburan komersial. Sehingga sastra populer jarang dianalitik karena dianggap tidak memenuhi standart analitik. Terbukti sastra populer minim berada dalam kajian-kajian ilmiah dan jarang diapresiasi, dikritik atau dianalitik. Alasan mendasar bahwa satra populer kurang diperhatikan  karena menyangkut kualitas, baik estetika maupun bobot keilmiahan. Sebenarnya, persoalan karya sastra tidak hanya sebatas estetik dan analitik. Tapi, bagaimana karya sastra tersebut memberikan manfaat terhadap pembaca.

Jika karya sastra pupuler mampu memberikan manfaat terhadap pembaca, maka seharusnya tidak ada perbedaan antara sastra populer dan sastra serius. Karena, antara sastra populer dan sastra serius sama-sama memberikan manfaat juga layak dianalisis maupun diapresiasi. Dasarnya adalah sastra papuler maupun sastra serius sama-sama mengandung manfaat. Mengacu pendapat Sapardi (2010:14) mengenai sastra populer bahwa, formulasi ciri-ciri sastra populer sangat baku sehingga sastra yang tidak memenuhi formulasi itu tidak dapat disebut sastra populer. Dengan demikian, dari segi struktur dan nilai estetiknya tidak ada yang perlu dipersoalkan dalam sastra popular.

Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa antara sastra populer dengan satra serius tidak ada perbedaan dalam estetika, juga sama-sama memberikan manfaat terhadapa pembaca. Namun dari keduanya hanyalah persoalan rasa pembaca dan tidak menyangkut terhadap kualitas. Perlu dilakukan saat ini adalah mempelajari sastra populer secara intensif lalu mengapresiakannya. Karena mempelajari dengan sungguh-sunguh akan membentuk kedewasaan serta merubah paradigma mengenai sastra populer.

Sebagaimana dikemukakan oleh Kaplan (melalui Damono, 2010:15) bahwa persoalan selera dan cita rasa sastra bukan persoalan pembelajaran teknis tentang sastra, melainkan proses pendewasaan wawasan, pengetahuan, dan pengalaman dalam intensitas pergulatan dengan sebanyak-banyaknya karya sastra. Jadi, belajar sastra populer harus memberi kemungkinan-kemungkina secara luas. Seperti cara memformulasikan masalah-masalah dalam sastra populer terlebih dahulu lalu bagaimana mengapresiasikannya.

Anggapan umum yang mengatakan bahwa sastra papuler tidak perlu dipelajari harus ditinjau ulang. Sebab, estetika antara sastra populer dan sastra serius tidak ada perbedaan, juga sama-sama memberikan dampak manfaat terhadap pembaca. Maka dari itu, tidak boleh memberikan ruang terbatas terhadap pembaca. Tetapi, memberikan kebesan sehingga sastra populer juga layak dikaji  dalam kajian-kajian ilmiah akademik. Oleh karenanya, dengan seiring berjalannya waktu sastra populer telah mendapatkan tempat di hati pembaca.

Referensi:
Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
https://www.pertanyaan.com/threads/1512/Sejarah-sastra-populer
http://jafarsastra.blogspot.com/2011/11/analisisformula-dalam-novel-cinta-suci.html

bm

ridlwan.com adalah personal blog suka-suka. Blog ini disajikan dengan berbagai konten menarik dan terupdate.

avatar
Admin MOH RIDLWAN Online
Welcome to MOH RIDLWAN theme
Chat with WhatsApp