Saturday, February 1, 2020

Feminisme Dalam Pengarang Perempuan

crafters.getcraft.com (Ayu Utami)

Karya sastra di samping merupakan salah satu jenis karya seni yang diciptakan sastrawan, memiliki nilai estetis (keindahan) untuk memberikan hiburan, juga mengandung nilai yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Berkaitan dengan fungsi sastra bagi kehidupan manusia secara nyata, bahkan dapat dikatakan bahwa semua karya seni (sastra) lahir dari konsepsi ideologis tentang dunia (Eagleton, 2002:20).

Dalam konteks kesusastraan Indonesia terutama oleh pengarang perempuan mutakhir dipahami sebagai gerakan feminisme. Feminisme merupakan sebuah ideologi yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan terhadap perempuan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam masyarakat, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut (Gnevey, via Dzuhayatin, 1998:16).

Beberapa pengarang perempuang mengenai ideologi fenimisme antara lain: Ayu Utami (2001, 2003) (Saman dan Larung), Dee (Dewi Lestari) (2001) (Supernova I, II), Nova Riyanti Yusuf (2003) (Maha Dewa Maha Dewi), Djenar Maesa Ayu (2002, 2004) (Mereka Bilang Saya Monyet dan Jangan Main-main dengan Kelaminmu), Eliza V. Handayani (2000) (Area X: Himne Angkasa Raya), Helinatiens (2003) (Garis Tepi Seorang Lesbian).

Munculnya sastrawan perempuan tersebut bukan suatu kebetulan, tetapi memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan transformasi sosio kultural Indonesia, antara lain merupakan hasil perjuangan para feminis dan emansipatoris wanita. Para feminis dan pejuang emansipasi wanita ingin mendudukan eksistensi perempuan dalam kesetaraan gender. Di samping itu, ada fenomena menarik pada beberapa karya para pengarang perempuan tersebut, antara lain dalam hal mengangkat dan menggambarkan yang berhubungan dengan seks dan cinta. Dalam karya-karya sastra sebelumnya, baik yang ditulis oleh pengarang pria maupun perempuan, ketika menggambarkan konten seks cenderung metaforis dan tersamar, seperti tampak pada karya-karya Ahmad Tohari (1982) (Ronggeng Dukuh), Pramoedya Ananta Toer (2000) (Gadis Pantai, Bumi Manusia).

Beberapa pengarang perempuan generasi Ayu Utami, ternyata lebih bebas dan berani dalam mengungkapkan pengalaman seks. Seperti disampaikan oleh R. Sugiarti (seorang relawan pada UNICEF Indonesia dan pengamat perempuan) di Sinar Harapan, 2002, munculnya karya-karya Ayu Utami dkk, tersebut dapat dikatakan bahwa mereka benar-benar berani melawan tabu yang selama ini menjadi magma terpendam pada masyarakat dengan konvensi-konvensi budaya.

Karya-karya mereka yang berwarna seks tersebut menarik justru karena melanggar norma masyarakat tradisional, sehingga melalui perlawanan terhadap tabu tersebut, mereka meretas fenomena yang tersamar terhadap perempuan, terutama dalam hal seks. Kehadiran karya-karya mereka, bahkan dapat dianggap sebagai oase bagi masyarakat yang “kepanasan” oleh etika timur tetapi tak berani melawannya secara frontal. Karya sastra yang ditulis oleh Ayu Utami dkk, mengenai perempuan bukan hanya sebatas karya sastra, tetapi adalah gerakan ideologi tentang kesamaan gender


Daftar Pustaka
Eagleton, Terry. 2002. Marxisme dan Kritik Sastra. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Roza Muliati dkk. Yogyakarta: Sumbu.
Dzuhayatin, Siti Nuraini. 1998. "Ideologi Pembebasan Perempuan: Perspektif Feminisme dan Islam", dalam Bainar, Ed. Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan. Jakarta: Pustaka Cidesindo bekerja sama dengan Universitas Islam Indonesia dan Yayasan IPPSDM.
Sugiarto, R. 2002. “Tren Perjuangan Perempuan dalam Sastra: Merangkul Tabu, Meretas Kekerasan tersaamar,” dalam Sinar Harapan.


bm

ridlwan.com adalah personal blog suka-suka. Blog ini disajikan dengan berbagai konten menarik dan terupdate.

avatar
Admin MOH RIDLWAN Online
Welcome to MOH RIDLWAN theme
Chat with WhatsApp