Friday, February 26, 2021

Teriak-Teriak Kembali ke Al-Qur'an, Eh tidak Bisa Ngaji


IG: mohridlwann

Belakangan ini banyak orang ingin menjadi dai tapi sadar dirinya gak pernah belajar agama. Sukur masih bisa baca fatihah, ditambah bisa baca doa berbahasa Arab setelah makan.

Umur sudah tua, mau mondok gengsi, tapi ingin jadi dai secara instan seperti indomie yang praktis kapan pun dibutuhkan. Sadar tidak bisa apa-apa, ia mencoba mencari peruntungan dengan  memborong buku-buku Islam berbahasa Indonesia. Ia tidak puas, kemudian berselancar di google. Tiba-tiba merasa jadi alim. 

Beberapa bulan setelah merasa alim, ia menjadi penceramah, ngisi di masjid-masjid, kadang ngisi khutbah jumat. Ia mulai merasa  tahu segalanya. 

Di Indonesia, pencaramah ada yang disebut kiaiulama, dan ustaz. Setelah menimbang, dalam hatinya tidak ingin dipanggil kiai. Sebab, di Arab Saudi tidak ada namanya kiai, adanya ustaz. Mau dipanggil ulama pun masih bingung. Akhirnya, ia memilih panggilan ustaz agar lebih dikenal masyarakat. 

Saya perhatikan penceramah tersebut semakin berani, beraninya tidak tanggung-tanggung dan sampai-sampai penceramah yang terkenal keilmuannya dianggap salah, dianggap bertentangan dengan Islam.

Karena kebodohannya, ia lupa bahwa dirinya baru belajar Islam, baru mengenal Islam. Belajarnya dari buku yang salah. Lebih salah lagi hanya dari youtube dan rekan-rekannya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. 

Kesalahan tersebut dengan mudahnya menyalahkan orang yang dari lahir sudah menekuni Islam. Bahkan mereka pernah belajar di pesantren belasan atau puluhan tahun.

Biasanya, setiap berceramah selalu mengutip hadis meskipun tidak tahu sumbernya dari mana. Jangan-jangan hadis yang diucapkan bukan hadis tapi biar dianggap keren saja dan kadang juga pake ayat Al-Qur'an. Biar tidak diketahui dirinya tidak bisa ngaji, ia menggunakan terjamahan ayat tersebut. 

Merasa benar sendiri, ia mengajak khalayak untuk kembali ke Al-Qur'an, mengabil sumber ajaran langsung dari hadis dan Al-Quran. Ia mencontohkan dirinya selalu mengutif dari Al-Quran meskipun dengan terjemahan. Ia menyalahkan orang lain yang ceramahnya tidak ada embel-embel ayatnya.

Merujuk ke Al-Qur'an sangat bagus. Permasalahnnya, bisakah kita memaknai / menafsir sebuah ayat Al-Qur'an? 

Ini pertanyaan sedarhana tapi sulit untuk dijawab. Untuk kembali ke Al-Qur'an dan Hadis, ada beberapa hal yang perlu diketahui, 

Pertama, harus bisa membaca Al-Qur'an dengan baik. Bagaimana mungkim seseorang akan mengetahui jika tidak bisa membaca. 

Saya ilustrasikan memaknai kata manusia. Untuk menafsirkan kata manusia, saya harus bisa membaca segala bentuk dan simbol tentang manusia. Setelah mengetahui tersebut, maka saya akan dapat menyimpulkan bahwa manusia adalah bla bla bla .... 

Jika saya tidak bisa membacanya, apa mungkin saya memahaminya? Tentu saja tidak bisa kecuali sudah mendengar penjelasan orang lain. Jika tahu dari orang lain, tentu bukan langsung mengambil dari sumber aslinya tapi mengambil dari pendapat orang lain yang mungkin saja tidak sesuai dengan aslinya. Jika demikian, untuk apa berkoar-koar kembali ke Al-Qur'an kalau dirinya pun juga mengikuti orang lain? 

Kedua, harus bisa membaca kitab kuning. Apa buhungannya kitab kuning dengan Al-Qur'an yang sudah ada harakatnya serta mudah dibaca.

Bisa membaca kita kuning akan menunjukkan kualitas kita pada bacaan literasi berbahasa Arab. Kita akan dihadapkan segala macam kaidah tentang ilmu tafsir, balaghah, sejarah asbabul nuzul yang akan ditafsir. Karena tafsir Al-Qur'an tidak berdiri sendiri namun berkaitan dari berbagai keilmuan.

Lain halnya ketika menafsirkan hadis. Kita akan ditambah dengan kitab mustalahal hadis atau asbabul wurud. Jadi, menafsirkan ayat atau hadis tidak cukup dengan nalar kosong yang hanya modal baca dari terjemahan, tapi harus dilandasi dengan berbagai disiplin keilmuan.

Sedangkan kitab yang berhubungan di atas menggunakan literasi Arab yang tidak ada tanda bacanya, seperti harakah dan titik, komanya. Dengan demikian, membaca kitab kelasik (kuning) bagi penafsir merupakan syarat dasar yang harus dikuasai. Sebab, ayat-ayat Al-Qur'an masih bersifat universal dan perlu ditafsir.

Bagaimana memahami Al-Qur'an melalui terjemahan?

Memahami Al-Qur'an tidak bisa melalui terjemahan. Sebab, Al-Qur'an masih bersifat universal. karena bersifat universal, sering kali terjemahan yang ada di pasaran banyak yang keliru karena sangat tekstual. Banyak sekali ayat yang maknanya tidak pas dengan lafaz. Misal salah satu lafaz الفتنة tidak bermakna fitnah melainkan bermakna syirik, seperti ayat Al-Baqarah Ayat 191


Syirik lebih besar dosanya dibandingkan pembunuhan. Nah, sekarang jangan lagi memaknai ayat tersebut dengan "fitnah lebih kejam dari pembunuhan."

Memahami Al-Qur'an yang ribetnya masyallah. Lalu ada orang ngajak kita untuk langsung mengambil dari sumber aslinya (Al-Qur'an dan Hadis) serta melarang mengikuti pendapat ulama yang disepakati kebenarannya, perlu dipertanyakan. Apa lagi yang ngakunya langsung belajar agama dari Rasulullah

Saya sih orangnya yang gak mau ribet, ikut ulama yang keilmuannya tidak diragukan lagi--dan baca-baca kitab tafsir untuk memperdalam pemahaman tehadap Al-Qur'an.

bm

ridlwan.com adalah personal blog suka-suka. Blog ini disajikan dengan berbagai konten menarik dan terupdate.

avatar
Admin MOH RIDLWAN Online
Welcome to MOH RIDLWAN theme
Chat with WhatsApp