Sunday, April 11, 2021

Menggugat Stereotip Perempuan Dalam Ruang Publik



Twitter dan Instagram - @mohridlwann

Najwa Shihab, sudah barang tentu rakyat Inodonesia mengenalnya. Hal ini bukan tanpa sebab, tetapi karena kecerdasa dan kehebatan sosok Najwa Shihab. Hal demikian membuat Najwa Shihab menjadi primadona bagi kaum millenial dan sering kali kita menjumpai beberapa quote beliau bertebaran di berbagai media sosial.

Konteks perempuan selalu dihubungkan dengan laki-laki. Barangkali ada yang lebih beruntung hidup dalam institusi keluarga dengan segala kebebasan. Tapi, masih banyak yang kurang beruntung dengan serba keterbatasan yang didapatkan, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, politik, terutama dalam hak karier. Bahkan yang tragis, perempuan dianggap tidak ada harganya dalam tatanan sosial.

Sejarah Polis Yunani Kuno menempatkan perempuan sebagai terbelakang atau setelah laki-laki. Perempuan tidak memiliki hak atau melakukan apa pun, termasuk belajar. Pendidikan hanya diperuntukkan untuk laki-laki. Tugas perempuan memproduksi anak sebanyak mungkin dan sebaik mungkin serta penjaga rumah.

Anggapan-anggapan tersebut membuat ruang perempuan menjadi terbatas dan seolah-seolah hidup perempuan hanya sebatas pemuas seksualitas sekaligus melayani kebutuhan sehari-hari untuk laki-laki. Anggapan ini cenderung tendensius dan kecerdasan perempuan seakan-akan tidak berarti.

Perempuan selalu ditempatkan dalam rumah telah menjadi budaya patriarkis. Banyak masyarakat mengamini hal ini dan hanya sebagian kecil yang berani melawannya. Perempuan tersebut mencoba melawan budaya yang begitu mengakar dan berusaha menunjukkan dirinya jauh lebih layak dari laki-laki di hadapan dunia.

Perempuan selalu di rumah seolah-olah bagian properti yang menjadi hiasan dalam etalase. Ia dibutuhkan hanya sebagai pelengkap rumah tangga yang secara bebas laki-laki boleh memperlakukan seperti benda mati. Maka tidak mengherankan jika suatu saat laki-laki merasa bosan dan kemudian menggantinya dengan benda lain atau menambah perempuan dalam etalase tersebut.

Pradigma terhadap perempuan di dapur telah menjadi konstruksi sosial yang tidak seimbang. Perempuan adalah alat untuk dipekerjakan dan laki-laki adalah tuannya. Jika demikian terus terjadi, kaum laki-laki akan terus memperlancar penindasan, kalkulasi, dan eksploitasi terhadap perempuan untuk menjaga superioritas kaumnya. Akibatnya, Perempuan akan mengalami kekurangan respek terhadap diri sendiri, mati rasa dan merasa tidak berguna dalam masyarakat.

Kita sering temui persoalan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini karena laki-laki melihat perempuan sebagai sumber masalah dan memarahi merupakan jalan terbaik yang seakan-akan rumah adalah arena ring tinju. Akibatnya, perempuan sering dijadikan sasaran empuk untuk meredam kemarahan laki-laki dengan cara, misalnya, kekerasan fisik dan/atau lebih buruk berakhir di KUA.

Kekerasan sejatinya faktor ketidakmampuan laki-laki. Laki-laki tidak mampu menahan amarah dan memilih meluapkan terhadap perempuan. Cara meluapkan ini sering salah tempat hingga menimbulkan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini, karena perempuan dianggap sebatas properti atau rumah dianggap arena ring tinju. Namun di balik itu, laki-laki merasa paling superior dan memandangnya sebagai sentral utama dalam segalanya, termasuk urusan nasib perempuan pun.

Sebeneranya dalam ruang publik, perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, baik dalam sosial-budaya maupun dalam karier. Ruang perempuan tidak terbatas ‘di rumah saja’, tapi semua tempat yang dapat dipijak. Laki-laki dan perempuan hanya berbeda dalam peran (kodrat manusia) tapi tidak dalam konstruksi sosial.

Perbedaan peran antara laki-laki dengan perempuan adalah untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Perbedaan peran ini tidak seharusnya membuat laki-laki merasa superior dan jemawa, karena banyak peran yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki.
Selain itu, laki-laki jangan melihat perempuan sebagai stereotipikasi. Jika ini terjadi dalam proses kehidupan, laki-laki akan selalu memandang perempuan sebagai manusia lain. Oleh karena itu, laki-laki harus memahami perempuan atas kesamaan dalam konstruksi sosial. Sehingga perempuan berkembang tanpa ada rasa yang mengkhawatirkan.

Andaikan laki-laki memahami perbedaan peran ini, maka perempuan bisa sejajar atau lebih baik dari laki-laki. Hal ini bisa kita saksikan banyaknya perempuan duduk di parlemen, menjadi kepala daerah, dan menjadi kepala negara semakin bertambah di setiap Pemilu. Hal ini membuktikan bahwa perempuan juga bisa melakukan seperti apa yang dilakukan oleh laki-laki.

Mengutip dari The Conversation yang dikeluarkan pada 21 Oktober 2019 menunjukkan keterwakilan perempuan di DPR mengalami kenaikan persentase dari 17,3% ke 20,52% dari total keseluruhan kursi. Hebatnya, pucuk pimpinan DPR saat ini diwakili seorang perempuan bernama Puan Maharani. Selain di DPR, ada Khofifah Indar Parawansah menjadi Gubernur Jawa Timur, Tri Rismaharini menduduki orang nomor satu di Surabaya, dan masih banyak lagi.

Capaian-capaian perempuan ke pucuk karier tidak terlepas dari kesadaran laki-laki dan perempuan atas peran yang dimiliki sebagai manusia, juga keterpahaman atas ruang publik yang tidak hanya diperuntukkan untuk laki-laki—bahwa ruang publik adalah milik bersama.

Oleh karena itu, aktifitas sadar perempuan harus dipungsingkan—bahwa perempuan adalah penguasa/ tuan terhadap dirinya sendiri. Sebab perempuan tidak dipaksakan untuk hidup dalam konstruksi sosial di bawah superioritas laki-laki, tapi hidup atas kebebasan dan keterpahaman dalam hidupnya, agar seluruh cita-cita dan pengharapan akan hidup untuk lebih baik dan jelas.

bm

ridlwan.com adalah personal blog suka-suka. Blog ini disajikan dengan berbagai konten menarik dan terupdate.

avatar
Admin MOH RIDLWAN Online
Welcome to MOH RIDLWAN theme
Chat with WhatsApp