Wednesday, September 8, 2021

Agama Kebudayaan

Orang yang beragama menganggap agamanya sebagai jalan hidup. Agama adalah suatu hal yang bersifat normatif dan keberadaannya merupakan kolega terstruktur dan telah membentuk sebuah keyakinan di masyarakat.

Agama, religio dari Sanksakerta bermaknakan sesuatu yang mengikat. Artinya, agama merupakan keyakinan dari turun-temurun, generasi ke generasi yang mengikat sehingga dianggap suatu paling fundamental dalam kehidupan sehari-hari.

Karena agama turun temurun, maka agama sama halnya dengan budaya. Budaya adalah suatu kebiasaan yang diyakini oleh masyarakat secara turun-temurun. Kebiasaan ini sama pentingnya dengan agama walaupun dalam dogma tidak ada atau bahkan bertentangan dengan dogma tersebut.

Sering kita jumpai dalam masyarakat primitif, ketika ada hajat, sebagian masyarakat pedesaan menaruh makanan di pertigaan jalan. Tujuannya adalah agar dijauhkan dari mala bahaya.

Keyakinan terhadap keharusan menaruh makanan dan akan terhindar dari mala bahaya adalah sama seperti meyakini agama. Di sisi lain, agama bersifat suprantural atau kekuatan yang luar biasa. Dengan beragama, misal, hidup menjadi tenang atau setelah kematian ada kehidupan baru.

Supranatural juga terjadi dalam tradisi masyarakat. Masyarakat memercayai bahwa tradisi tertentu juga mempunyai kekuatan yang dapat meringankan beban hidupnya, misal, menaruh makanan di suatu tempat akan mendapatkan keselamatan atau hajatnya akan terkabulkan. Keyakinan ini adalah bagian supranatural dan dipercayai oleh sebagian masyarakat. Oleh karenanya, agama dan tradisi adalah sama-sama bagian dari supranatural.

Lantas, apakah model tradisi seperti ini dianggap keluar dari nilai-nilai agama?

Saya bukan kapasitasnya menjawab di atas, tapi sebagai penulis akan lebih menekankan pada aspek tradisi.

Tradisi menaruh makanan di pertigaan jalan, oleh intelektual Islam, jelas akan dianggap keluar dari nilai-nilai agama karena menyia-nyiakan rejeki Tuhan. Akan tetapi, jika dilihat dari aspek bahasa, maka hal tersebut dapat dibenarkan.

Menaruh makanan di perempatan jalan bukan lantas menduakan keesaan Tuhan tapi sebagai perantara doa agar dirinya mendapatkan keselamatan.

Kita hidup tidak akan lepas dari media bahasa. Bahasa ada bahasa verbal dan nonverbal. Bahasa nonverbal seperti isyarat atau melalui gerakan dan tindakan. Menaruh makanan di suatu tempat adalah bentuk bahasa nonverbal. Karena ini bentuk bahasa nonverbal, maka doa yang dilakukan tidak menggunakan bahasa verbal tapi dengan bahasa nonverbal.

Bahasa adalah media komunikasi agar mudah memahami dan menyampaikan keinginannya. Berdoa dengan kalimat tertentu adalah media untuk berkomunikasi dengan Tuhan agar tujuannya tercapai, misal, berdoa agar masuk surga atau menjadi orang sukses.

Hal ini sama seperti menaruh makanan di jalan. Menaruh makanan adalah media bahasa yang mempunyai tujuan tertentu seperti, keselamatan. Sedangkan keselamatan milik Tuhan. Jadi, menaruh makanan adalah sama-sama berdoa tapi hanya medianya yang berbeda.

Bahasa sifatnya penanda agar sesuatu mudah dipahami. Tanpa adanya tanda, seseorang akan sulit memahami. Kita memahami maksud orang lain karena ada tanda bahasa seperti bunyi suara atau gestur tubuh. Tanpa adanya tanda, bagaimana kita akan memahaminya?

Kita memahami adanya angin, karena melihat pohon bergerak. Gerakan pohon tersebut adalah tanda adanya angin. Selain itu, orang pergi ke makam karena percaya ada tanda ada kehidupan atau mempunyai sisi kekeramatan di tempat tersebut.

Karena makam ada tanda kehidupan atau sisi mistis, orang-orang mengunjungi untuk mendoakan kehidupan yang ada di makam tersebut atau minta didoakan agar hajat dirinya terkabul dengan perantara makam yang dianggapnya mempunyai kekeramatan.

Fakta ini juga dibenarkan dalam agama bahwa semua di dunia ini berzikir dan berdoa kepada Tuhan, termasuk pepohonan, bebatuan, dan lain sebagainya.

Dengan alasan di atas, menaruh makanan di jalan adalah sebagai doa agar yang makan makanan tersebut mendoakan kepada Tuhan. Entah ini yang makan adalah binatang seperti semut dan jenis binatang lainnya, atau dimakan oleh seseorang. Niatnya agar Tuhan menyelamatkan dari mala bahaya.

Bagaimana dengan menabur bunga ke laut (sedekah laut)? Jawabannya, bukan untuk menduakan keesaan Tuhan tapi sebagai doa dengan media sedekah laut.

Sekarang, masihkah kita bertentangan dengan tradisi yang ada? Jawabannya ada di kamu.

bm

ridlwan.com adalah personal blog suka-suka. Blog ini disajikan dengan berbagai konten menarik dan terupdate.

avatar
Admin MOH RIDLWAN Online
Welcome to MOH RIDLWAN theme
Chat with WhatsApp