Analisis Intertekstualitas Puisi Kusangka karya Amir Hamzah dan Penerimaan karya Chairil Anwar
PENDAHULUAN
Hakikat Puisi
Puisi adalah karya seni sastra. Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra.
Rene Wellek dan Warren (1968, hlm. 25) mengemukakan bahwa paling baik kita
memandang kesusastraan sebagai karya yang di dalamnya fungsi estetikanya
dominan, yaitu fungsi seninya yang berkuasa. Puisi sebagai karya sastra, maka
fungsi estetiknya dominan dan di dalamnya ada unsur-unsur estetiknya.
Unsur-unsur keindahan ini merupakan unsur-unsur kepuitisannya, misalnya
persajakan, diksi (pilihan kata), irama, dan gaya bahasanya. Gaya bahasanya
meliputi semua penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu,
yaitu efek estetikanya atau aspek kepuitisannya (Pradopo, 1994, hlm. 47).
Jenis-jenis gaya bahasa itu meliputi semua aspek bahasa, yaitu bunyi, kata,
kalimat, dan wacana yang dipergunakan secara khusus untuk mendapatkan efek
tertentu itu.
Hubungan
Intertekstualitas
Prinsip intertekstualitas ini merupakan salah satu sarana pemberian makna
kepada sebuah teks sastra (sajak). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu selalu
menanggapi teks-teks lain yang ditulis sebelumnya. Dalam menanggapi teks itu,
penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri
yang ditentukan oleh horison harapannya, yaitu pikiran-pikiran, konsep estetik,
dan pengetahuan tentang sastra yang dimilikinya.
Prinsip intertekstualitas ini menempatkan para sastrawan (penyair) di
tengah-tengah arus sastranya maupun sastra dunia (universal). Ia selalu
menanggapi, meresapi, menyerap karya sastra lain dan mentransformasikannya ke
dalam karya sastranya. Dengan demikian, ia selalu menciptakan karya sastra asli
sebab dalam mentransformasikan teks lain itu si pengarang mengolah dengan
pandangannya sendiri, dengan horison harapannya sendiri.
Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan intertekstual antara suatu karya sastra
dengan karya lain, baik antara karya sezaman maupun zaman sebelumnya banyak
terjadi. Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada
dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang
satu dengan teks yang lain itu. Unsur-unsur hipogram itu berdasarkan persepsi,
pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya.
Penunjukan terhadap unsur hipogram pada suatu karya dari karya-karya lain, pada
hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.
PEMBAHASAN
Amir Hamzah:
KUSANGKA
Kusangka cempaka kembang setangkai
Rupanya melur telah diseri......
Hatiku remuk mengenangkan ini
Wasangka dan was-was silih berganti.
Kuharap cempaka baharu kembang
Belum tahu sinar matahari.....
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kumbang berpuluh kali.
Kupohonkan cempaka
Harum mula terserak.......
Melati yang ada
Pandai tergelak.....
Mimpiku seroja terapung di paya
Teratai putih awan angkasa.....
Rupanya mawar mengandung lumpur
Kaca piring bunga renungan.....
Igauanku subuh, impianku malam
Kuntum cempaka putih bersih.....
Kulihat kumbang keliling berlagu
Kelopakmu terbuka menerima cembu.
Kusangka hauri bertudung lingkup
Bulumata menyangga panah Asmara
Rupanya merpati jangan dipetik
Kalau dipetik menguku
segera.
(Buah Rindu, 1959:19)
Chairil Anwar:
PENERIMAAN
Kalau
kau mau kuterima kau kembali
Dengan
sepenuh hati
Aku
masih tetap sendiri
Kutahu
kau bukan yang dulu lagi
Bak
kembang sari sudah terbagi
Djangan
tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau
kau mau kuterima kau kembali
Untukku
sendiri tapi
Sedang
dengan cermin aku enggan berbagi
(Deru Campur Debu, 1959: 36)
A. Analisis Isi Sajak
Sajak Penerimaan – Chairil Anwar yang memiliki pandangan realistis sangat
menentang pandangan romantik sajak dari Amir Hamzah – Kusangka. Keenam bait
sajak Amir Hamzah – Kusangka, menunjukkan kesejajaran ide atau gagasan yang
dimiliki. Dalam hal ini, Amir Hamzah membandingkan sosok gadis dengan bunga. Hal
ini terbukti dengan digunakannya nama-nama bunga pada puisi tersebut yaitu
bunga cempaka, melati, mawar dan teratai. Namun pada bait terakhir, sang gadis
dimetaforakan sebagai hauri (bidadari) dan merpati.
Sedangkan Chairil, membandingkan si wanita dengan bunga (kembang). Wanita yang
sudah tidak suci lagi itu diumpamakan sebagai bunga yang sarinya sudah terbagi
(‘bak kembang sari sudah terbagi’). Jadi, ini dekat dengan perumpamaan yang
dibuat oleh Amir Hamzah: ‘Rupanya teratai patah kelopak / Dihinggapi kumbang
berpuluh kali’ dan ‘Kulihat kumbang keliling berlagu / Kelopakmu terbuka
menerima cembu’.
Dari keenam bait sajak Kusangka, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa si
aku mencintai gadis yang disangkanya masih suci, namun kenyataannya telah
pernah dijamah atau direnggut kesuciannya oleh beberapa pria. Kemudian si aku,
hatinya remuk dan kecewa ketika mengingat semua itu dan rasa wasangka serta
was-was pun datang silih berganti. Dengan demikian, si aku tidak berkeinginan
lagi untuk mengambil sang gadis yang sudah tidak suci lagi itu untuk menjadi
kekasihnya, sebab ia akan kena kuku ‘merpati’ itu.
Kesimpulan isi sajak tersebut sangat berlawanan dengan kesimpulan isi sajak
dari Chairil Anwar yang berjudul Penerimaan, yaitu dalam hal menanggapi gadis
(wanita) yang sudah tidak suci lagi. Dalam sajak Penerimaan, dapat kita ambil
kesimpulan bahwa si aku mau menerima si wanita kembali dengan sepenuh hati,
sebab si aku masih sendiri dan juga masih mencintai si gadis yang tlah
meninggalkan si aku tersebut. Meskipun si aku tahu bahwa si wanita sudah tidak
seperti yang dulu lagi, yakni sudah dijamah oleh laki-laki lain selain si aku.
Hal tersebut tidak menjadikan si aku merasa keberatan, bahkan si wanita tidak
perlu merasa malu ataupun takut menghadapi si aku. Akan tetapi si aku kembali
menegaskan bahwa ia mau menerima si wanita kembali. Tapi mutlak hanya untuk si
aku saja si wanita tersebut, sebab ia tak ingin berbagi lagi dengan laki-laki
lain maupun dengan cermin.
B. Hubungan Intertekstualitas
Maksud dari hubungan intertekstualitas itu sendiri yaitu
sudah mencakup apa yang telah dipaparkan pada poin A yaitu analisis isi. Dalam
poin tersebut menyatakan bahwa sajak Chairil Anwar – Penerimaan merupakan
tentangan terhadap sajak Amir Hamzah – Kusangka. Kedua penyair itu memiliki
pandangan yang berbeda. Bisa dilihat dari sajaknya yaitu Amir Hamzah dalam
sajak Kusangka, sudah tidak memiliki keinginan lagi untuk mengambil si gadis
(untuk dijadikan kekasih atau istri), sebab si gadis sudah tidak suci lagi.
Sedangkan Chairil, dengan sikapnya yang realistis, mau menerima si gadis
(wanita) kembali, meskipun telah pernah dijamah oleh laki-laki lain selain aku,
namun si wanita mesti mutlak menjadi miliknya, tanpa harus berbagi dengan
cermin sekalipun.
C. Analisis Gaya dan
Gaya Bahasa
Sajak yang dihasilkan oleh Amir Hamzah dan Chairil Anwar merupakan sajak
dengan kualitas gaya tinggi. Namun untuk gaya bahasa yang digunakan, kedua
penyair memiliki gaya tersendiri dalam membahasakan kata hatinya melalui
baris-baris sajak. Dalam hal ini, Amir Hamzah menggunakan gaya bahasa yang
romantis sehingga menjadi tidak padat, yakni mengurai panjang ide atau gagasan
yang sebenarnya sudah ada dalam bait pertama dan keenam. Selain itu, ada
beberapa majas yang digunakan dalam sajak tersebut yaitu majas asonansi,
terletak pada bait ketiga ‘Kupohonkan cempaka, harum mula terserak / Melati
yang ada, pandai tergelak’. Kedua, majas metafora terletak pada bait pertama
‘Kusangka cempaka kembang setangkai’. Cempaka di sini maksudnya ialah si gadis.
Kemudian Chairil Anwar, dalam penggunaan bahasa sebenarnya juga masih
menggunakan bahasa yang agak sedikit romantis. Meskipun demikian, dapat dilihat
secara menyeluruh Chairil mempergunakan bahasa sehari-hari dengan gaya ekspresi
yang padat. Tidak perlu mengurai panjang gagasan yang dimiliki, sebab pada bait
pertama diulang dengan bait kelima. Tentang penegasan bahwa si aku mau menerima
kembali si gadis (untuk menjadi kekasih atau istrinya). Hanya saja letak
perbedaan bait kelima tersebut, yaitu menyatakan kemutlakan tentang keinginan
si aku dalam menerima si gadis. Dan untuk majas yang digunakan ialah majas
simile, yaitu membandingkan si wanita yang sudah tidak suci lagi dengan
kata-kata pada baris kelima ‘bak kembang sari sudah terbagi’.
C. Aliran yang Digunakan
Kemudian mengenai aliran yang digunakan oleh kedua penyair tersebut. Amir
Hamzah menggunakan aliran romantisisme, sedangkan Chairil Anwar menggunakan
aliran realisme. Dikatakan demikian, sebab seperti yang telah dipaparkan di
atas bahwa sajak Amir – Kusangka, menggunakan sikap romantik dalam puisi
tersebut. Sikap romantik itu pun digambarkan melalui bahasa yang romantik pula,
yakni bahasa yang sangat indah. Sedangkan Chairil dikatakan menganut aliran
realisme, sebab dalam sajaknya tersebut, nampak jelas sikap realistis yang
ditunjukkan oleh Chairil, yakni mau, kuterima, kembali, tetap sendiri, jangan
tunduk, untukku sendiri, tapi, dengan cermin, aku, kau, enggan berbagi.
D. Perbandingan Dari
Aspek Stilistika
Stilistika adalah emosi itu sendiri. Tanpa emosi seorang pengarang tidak
bisa menciptakan persamaan bunyi ‘putih bersih, ‘kau mau’. Kemudian pada bait
keenam puisi Kusangka ‘ Bulumata menyangga panah Asmara’, aspek stilistika
sastranya ditunjukkan melalui persamaan bunyi ‘a’ sehingga menimbulkan kualitas
estetis. Sedangkan untuk puisi Penerimaan, aspek stilistika sastranya
ditunjukkan melalui persamaan bunyi ‘u’ pada bait pertama ‘Kalau kau mau
kuterima kau kembali’.
E. Prinsip yang
Digunakan
Prinsip yang dimaksud ialah prinsip ekuivalensi. Hal ini terlihat pada baris
pertama sajak Penerimaan ‘Kalau kau mau kuterima kau kembali’. Ekuivalensi yang
sangat menonjol adalah persamaan bunyi ‘u’ sebanyak lima kali, bunyi ‘k’ juga
sebanyak lima kali. Sedangkan sajak Kusangka pada bait pertama //Kusangka
cempaka kembang setangkai//. Ekuivalensi yang sangat menonjol adalah persamaan
bunyi ‘k’ sebanyak lima kali.
Daftar Pustaka
Djoko Pradopo, Rahmat. Pengkajian
Puisi. 2007. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kutha Ratna, Nyoman. Stilistika (Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan
Budaya). 2008. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.