Wednesday, August 15, 2018

Kumpulan Puisi "Di Balik Kaca



  
Di Balik Kaca
Kumpulan Puisi Moh. Ridlwan


KEGELISAHAN
DAN JALAN PULANG
(SEBUAH PENGANTAR)

Muhri
 

Membaca puisi-puisi Ridwan dalam antologi Di Balik Kaca seperti membaca kembali kegelisahan masa muda

yang timbul dalam tidak adanya persesuaian antara realitas dan yang ideal. Sebagian orang memilih turun ke jalan untuk mengungkapkan apa yang diidealkan tersebut. Sebagian lagi melalui media massa seperti sosial media, media penyiaran seperti televisi dan sebagainya. Ridwan salah satu dari orang yang memilih melalui seni sastra. Entah disengaja atau tidak, suara yang muncul kemudian seperti tawar-menawar antara keinginan untuk berekspresi dan di sisi lain keinginan untuk dimengerti. Wujudnya berupa metafora ‘ringan’ – dalam terminologi Umberto Eco – yang mudah dipahami. “Mengigau dalam Mimpi” merupakan salah satu yang mengungkapkan kegelisahan tersebut. Diksi seperti “mengigau”, “tertidur”, “terbuai”, dan “lemari” dalam puisi tersebut memiliki konotasi yang unik. “Mengigau” berkonotasi berbicara tapi tidak sepenuhnya sadar mereka berbicara hanya karena dorongan naluri “Anak-anak tetap mengigau dalam mimpi/Namun perut kerontang dalam mengigau”; “tertidur” berarti pasif, tidak sadar, sebab terlalu lelah, dibuai suara, seuatu yang menyamankan, dsb.;  “yang terbuai” dalam konteks puisi tersebut berarti rakyat yang diam karena berharap pada pemimpin yang mereka pilih dengan janji-janji; “lemari”dalam adalah lemari arsip tempat menyimpan surat penting masa lalu yang hanya dibuka sewaktu-waktu jika perlu.

Kegelisahan semacam itu juga terdapat pada “Catatan 2016”, “Berekspresi pada Hakikatnya”, “Kiai”, “Demi Perut Buncit”, “Di Balik Kopiah Putih”, “Makan Uang Pemerintah” dan “Di Balik Capaian”. Kegeliasahan tersebut berada dalam jarak yang sebenarnya tidak terjangkau oleh si aku yang posisinya hanya seorang diri dan berada dalam posisi terbawah. Jika “Catatan 2016”, “Demi Perut Buncit”, dan “Makan Uang Pemerintah” dalam lingkup politik, “Kiai” dan “Di Balik Kopiah Putih” dalam budaya religius. Si aku tidak berada dalam kedua-duanya.

Kegelisahan tersebut juga muncul dalam kenisbian dan eksistensi diri. Puisi seperti “Bukan Tempat Pendosa” yang berbicara tentang posisi si aku dalam religiusitas seolah menempatkan diri pada posisi bawah tetapi di sisi lain menghujat yang di atas; “Catatan Kelas” berbicara tentang kelas akademik, kesia-siaan, harapan dan ketidakpastian masa depan, dan realitas menyakitkan saat kuliah hanya soal skor dan ujung-ujungnya adalah hedonisme melalui kemewahan, bukan pencarian ilmu yang suci; Ujungnya dengan pahit dan cenderung naturalis, si aku mengungkapkan kekecewaannya dalam “Kelas Sampah”. Bahkan dalam bait terakhir si aku sampai pada sikap apatis dan tidak peduli, “Mari bersampah/Ilmu kita menjadi sampah.”

Kegelisahan tersebut menyebabkan romantisme pada kerinduan akan ketenangan pada ibu yang dalam puisi ini terwakili dengan kata Embok, rumah, kampung halaman. Corak romatis mewarnai puisi puisi bertema di atas, terutama pada “Sebuah Fajar”, “Birunya Kampung”, “Padamu Kasih”, dan “Sungai”.Kerinduan tersebut seperti pelarian dari kejenuhan dan harapan yang jauh yang belum juga sampai pada ujungnya.

Akhirnya, pembacalah yang akan menilai dengan sebenarnya. Pengantar singkat ini pun hanyalah bacaan dan tafsiran yang berusaha mengungkap yang terdapat “di balik kaca” yang merupakan ruang kosong di belakang cermin atau sebuah dinding tempat cemin melekat.



Muhri
(Pembaca dan pemerhati sastra,
dosen STKIP PGRI Bangkalan)


Proses


Proses
Dari kecil sudah berproses
Dewasa bagian dari proses
Yang tua pun juga berproses

Sekolah hanya proses
Kuliah bagian dari proses
Yang bekerja pun juga berproses
Semua hanya proses

Aku pun bingung
Kenapa hidup hanya berproses
Tanpa harus menikmati
Mungkin hidup hanyalah sebuah proses
Proses untuk mati, dinikmati.



Hukum bagi Pendosa


Tak perlu takut!
Yang berdosa hanya ditulis dalam kertas
Dibiarkan dengan kertas dosa yang lain
Yang berdosa hanya menebarkan senyum

Tak perlu takut!
Hukum hanya kertas yang ditulis
Dan dibiarkan dengan tumpukan kertas
Kalau sudah tua kertas pun rusak
Hukum juga ikut rusak

Mari berdosa!
Karena hukum sudah mati.


Mengigau dalam Mimpi


Sudah waktu berontak
Anak-anak yang tertidur
Mengigau dalam  mimpi
Dan tak sadar telah terbuai

Ketika menjadi sama
Janji, sumpah terjual bebas
Agar anak-anak terbuai
Lalu mengigau dalam mimpi

Ketika sudah di atas
Janji, sumpah tertinggal di lemari
Saluran tersimpan dalam lemari
Lalu dimakan untuk sendiri
Yang harusnya milik para terbuai

Anak-anak tetap mengigau dalam mimpi
Namun perut  kerontang dalam mengigau
Dan tak tahu pada siapa harus mengigau
Jika untuknya telah lenyap

Mengigau sudah berakhir sekarang untuk
Berontak karena zaman sudah dimulai.
Bukan Tempat Pendosa


Tuhan Maha Pengasih
Yang kutahu dari ustad
Dan teks-teks tertulis dalam buku
Para Kiai sering menyebut “Astagfirullah!”
Juga orang-orang yang kukenal

Diri ini
Sorga bukanlah tempat berdiam
Dosa melekat
Dosa terlaknat
Seperti iblis terlaknat
Aku sampah yang terbuang

Diri ini
Neraka bukanlah tempat berdiam
Nanah bagi pendiam
Rumah api bagi pendiam
Panas logam bagi pendiam
Aku bukan besi logam yang bebas

Aku pendosa
Menyebut nama Tuhan
Juga seperti mereka.
Ibu yang Lupa
(Untuk kampung)

Lupa!
Itu kata yang pas di kampung
Perawan bertutup hijab
Menyembunyikan bangkai
Kulit tak boleh terlihat
Dalam aturannya

Tapi bangkai terlihat
Orang yang singgah di depannya
BH tanpa pelindung
Ikut terlihat bagi yang singgah
Namun sang ibu tidak sadar

Ketika ceramah datang
“Aku sudah berbiak”
35 tahun sudah lupa
Lelaki tidak pernah bosan melihat.




Catatan Kelas


Hidup menjadi apa?
Terlukis dalam kepala
Tidak mau berbuat
Pena dalam genggaman

Mahasiswa berangkat
Berdiam
Pulang
Catatan seorang pengkhayal
Kertas kosong yang tidak pernah terisi

Androrid putar-balik
Bibir anjing tampak bergaya
Berpuluh kawan ikut bermain

Kertas tak punya
Kuda besi diperhalus
Cewek pun mendekap

Aku hanya menghayal
IPK selalu dinanti
Namun tak mau berbuat
Hidup menjadi apa?

Titah Pemuda


Tak mungkin hidup dengan tanda titik (.)
Hidup panjang
Butuh perjuangan
Dengan tanda koma (,) yang berlangsung
Tak pantas dipuji dengan berseru (!)
Mematahkan semangat
Menghancurkan hidup
Pemuda tak kenal lelah
Tanda tanya (?) simbol keberanian
Untuk melangkah
Ini peninggalan pejuang
Yang harus diperjuangkan
Agar tak terulang
Mari dilanjutkan!
Siapa yang Salah?


Katanya ingin hidup sehat
Kubawa air putih
Kau tetap saja minum comberan

Katanya ingin pintar
Kubawa beberapa buku
Hanya dibuat petasan

Katanya ingin suci
Kubawakan pakaian
Tetap saja tidak berpakaian

Katanya ingin dicintai
Kubawa seikat bunga
Namun dibuat mainan

Katanya ingin kaya
Kubawa sebungkus nasi
Kau buat taruhan
Siapa salah?


Seventeen
English Learning

Tempatku
Tempat bermimpi
Aku merindu
Jika di seberang

Tempatku
Rumah kita
Keluarga kita
English kita

Di kejauhan
Aku akan menyebutmu
Seperti menyebut nama Tuhan
Dalam aku berdoa.


Pare, 14 Agustus 2016



Kelas Sampah


Ini kelas?
Besi berserakahan
Tubuh pun berserakahan

Bising besi, binatang kelaparan
Bak pasar tradisional
Untuk ilmu yang damai

Ilmu damai
Jiwa yang damai
Pada tempat yang damai

Ruangan sampah
Untuk tubuh yang bersampah
Ilmu menjadi sampah

Mari bersampah!
Ilmu kita menjadi sampah.


Nyanyian Burung


Pohon-pohon ditebang
Kami terusir

Tinggal di hutan
Dibakar
Diburu

Menanam pohon
Dicabut
Dibuang

Kami burung butuh tempat
Butuh damai
Untuk istri anak-anak

Ayo bersama!
Tidur di istana
Biar jadi mimpi buruk penguasa.


Separuh Harimau


Bukan lagi kucing yang harus penurut
Mengemis untuk keluarga masa depan
Seisi perut
Rela diinjak

Sekarang penguasa
Rimba ganti tangan
Awalnya
digertak, menggertak
dijarah, menjarah
ditendang, menendang

Ini harimau
Perlu menindas.



Suara Rokok


Sudah diingatkan
Tetap saja tidak mau
Tak acuh

Sakit dirindukan
Didambakan
Mau mati
Membutuhkan

Ayo gabung bersama kami!
Bersenang-senang
Dan mati bersama.


Pejuang


Ingat dan perlu kau ceritakan!
Ketika penguasa diam
Wabah-mewabah tak terbendung
Sudah saatnya rakyat berkumpul untuk bersuara
Ini jihad perlu dilantangkan

Jihad tak harus dengan sajam
Tak perlu angin mesin
Suara lantang juga bikin takut
Bikin penguasa kalang-kabut

Ini jihad perlu dilantangkan
Diperhatikan
Dicatat
Agar anakmu mengingat.


Rumah Kecoklatan


Rumah yang kau tinggal
Sudah diambang ketiadaan
Anakmu tak lagi di rumah
Ia akan mati di seberang

Rumah itu sudah hijau
Bersama alang-alang memanjang
Rumput liar di dinding-dinding
Juga atap rumah

Andai engkau masih bersama
Menangis tersedu-sedu
Mengingat kau banting tulang
Di rumah yang dulu kecoklatan.


Sapi


Di sebelah banyak rumput
Ambillah sebilah arit!
Sapi embok pasti suka

Embok sudah tak kuat
Membawa arit ke ladang
Membantu bapak mengarit
Di bawah matahari terik

Bantal gulingmu cukup di malam
Tak perlu kau bawa ke siang
Embok sudah tak kuat.



Jalan Belakang


Tertutup sudah terhapus hasrat rasa
Ia menangis
Dalam sunyi masih menyebut nama kau

Pada suatu hari ia berdayung ke pulau
Dengan selembar tulisan atas kau
Di mantra Bapak pulau
Ia tak lagi menangis.

Jalan ke Depan


Pagi itu ia melukis-lukis
Jalan ke tepi surga
Kata embok “Engkau akan ke sana
Belajar menanam rasa
Demi Embok-Bapak ini
Kau tak perlu khawatir
Langit masih di atas
Ia mau diajak bicara.






Jalan Pulang


Kau sudah cukup di negeri rantau
Dengan emas dan rumah
Kau tak pulang-pulang
Embok mau sekarat

Berpuluh tahun di rantau
Adikmu mau nikah
Tak ada lagi yang dipikirkan
Dia bisa makan

Cepatlah kau pulang!
Embok mau sekarat
Kau tak perlu menunggu embok tiada.


Jalan Sesungguhnya


Kau sudah berusaha
Tak perlu berkecil hati
Tanyakan ke embokmu!
Ia akan memberi petunjuk.


Jalan Kampung


Penguasa sudah lupa
Jalan ke kampung sulit ditempuh
Buta!




















Adat Kampung


Kau harus meniru!
Menghargai dan membantu
Tanpa ada laba

Tetanggamu juga diingat!
Ia saudaramu
Dari kakek-kakekmu terdahulu
Biar kau tak sendiri.


Kota


Banyak yang menyadari
Setiap melangkah
Hanya bikin gelisah
Pada embok yang mulai menua

Di kota banyak sekolah
Juga banyak ladang wabah
Bila tak siap
Yang singgah mengkhawatirkan.


Selamat


Nak, kalau ingin bepergian
Ingatlah!
Sebut nama Tuhanmu!
Kau selamat.



Catatan 2016


“Bebek nungging”
Di puji, dihormati kalangan atas
Duta pancasila, duta kehormatan
Ideologi diinjak-injak

Menjelaskan pancasila dihukum
Penghina dijamu, dilindungi
Pembela disebut radikal
Pemberontak dipuji

Melaporkan
Dilaporkan
Melaporkan kembali
Dilaporkan kembali

Mengkritisi makar”
Makar dibela
Ramai “hoax”
Diam semakin ditindas

Ini negara kita
Wajah Indonesia.


Kampung Tak Maju-Maju


Menunggu hari tiada tahu
Semoga hari diberi waktu
Membawa tas, tas digendong
Berjalan ketawa-ketiwi
Seperti film tv-tv

Kampungku tak ada sekolah
Bermain ke ladang ikut embok
Menangkap belalang untuk burung
Itu aku tahun dahulu

Kini sekolah berjejeran
Anak-anak kampung tak ada yang mau
Lari ke pulau untuk rantau
Melihat tetangga hanya motor

Tak ada yang disalahkan
Embok tak ngerti ilmu
Anak tak mau tahu
Kampung tak maju-maju.


Pekerjaan Kampung


Bajunya terik matahari
Ladang dan sawah adalah rumahnya
Alasnya lumpur dan juga duri rumput

Bajunya terik matahari
Mengayun becak mondar-mandir
Untuk di rumah yang menunggu

Itu orang tua kau
Jangan kau lupakan karena status kau!



Sebuah Fajar


Dengan apakah aku mencarimu
Dengan rasa kantuk, jatuh-bangun membasuh muka
Saat di jalan samar pandangan dan samar rupa
Angin sepoi menusuk kulit
Menerjang lawan tak ada henti
Demi sebuah fajar di pagi hari
Saat fajar digenggam
Ingin kubawa ke ujung senja.



Kampung Kemarau


Angin malam menerjang kampung
Bunyi layangan bunyi sekampung
Untuk embok-embok di pinggir sumur

Duduk santai sekampung-kampung
Bicara Z akhirnya X
Hanya cangkruk melawan kantuk

Embok-embok tak tidur-tidur
Menunggu air untuk diminum
Dua bak hanya semalam

Penguasa tuli tak mau tahu
Kampung sengsara tak diurus-urus
Mandi jauh, rakyat haus.

Bersandiwara


Kembali lagi pada sebenarnya
Jilat ludah meludah kembali
Dalam hatinya ia mengerti
Namun tak mau mengerti
Tanda!
Status bahaya.


Rumah Kita Kecoklatan


Ibu, rumah kita masih bagus
Tak perlu khawatir
Badai saja takkan mampu menerjangnya

Rumah kita masih nyaman
Rasa segar selalu menusuk dari celah dinding
Bikin rasa seakan tak ada hari

Rumah kita nyamannya minta ampun
Yang berlantai-lantai belum tentu sama
Rasa dan kesegaran yang telah dirasakan

Rumah ini kecoklatan
Jaga dan rawat!
Besok cucumu akan mengingat
Dari rumah kecoklatan yang kita singgahi.


Berekspresi pada Hakikatnya


Ada kalanya dengan megaphone
Tirani yang menjamur perlu dihempaskan
Dengan suara lantang dan gerakan

Ada kalanya dengan menulis
Penguasa yang terlanjur tuli
Perlu diingat dan diajarkan
Biar masyarakat tak lagi cemas

Tujuannya sama dan tak perlu maki-memaki
Dukung tak ada henti!
Semuanya untuk Indonesia
Melawan tirani yang tak kunjung padam.


Birunya Kampung


Birunya kampung sehijau tumbuhannya
Sesegar buahnya
Seindah bunganya
Seharum bunganya

Anginnya membawa kesyahduan
Pikirannya terbawa syahdu
Seperti birunya kampung
Indah, harum semerbak bunganya.



Kiai


Saat ia berdiam
Hatinya berzikir
Pikirannya mengilhami

Tingkahnya adalah panutan
Perbuatannya adalah contoh
Sabdanya adalah titah

Kiai sebagian
Bagian mafia terselubung.


Sebuah Celurit


Kalau boleh jujur aku tidak tahu
Celurit yang digantung itu
Malam jumat kemenyan dituangkan
Baunya terdengar oleh tetangga

Celurit itu dibasuh dengan bebunga
Melati dan mawar 
Ia menjadi suci

Yang aku tahu
Celurit itu untuk seseorang
Bila istri disinggahi.

Engkau Sendiri


Engkau ibarat singa di hutan rimba
Yang lain diusir
Dimakan
Engkau bebas

Engkau inginnya hidup sendiri
Aturan sendiri
Tanpa ada satu pun di sampingnya
Hidup seperti raja tanpa rakyat

Engkau sendiri
Siapa bahagia?


Pura-Pura Lupa


Engkau sendiri yang berteriak
Mengusulkan dengan segala macam
Tak kenal kawan, jalan diperbaiki
“Kau idealis”

Engkau duduk di kursi
Lupa dengan teriakan dahulu
Perut sudah buncit
Tetap saja kau menikmati

Bukan idealis
“Keras kepala.


Pura-Pura Aktivis


Semestinya ia tak lupa
Pada kisah perjuangan
Melawan tirani kemunduran
Dengan darah bercucuran

Semestinya ia tak lupa
Pada rakyat jelata
Menangis tersedan-sedan
Hilang rumah, hilang kasab

Ia maju, dipilih
Dengan harapan mengadu nasib
Ia bikin lebih menangis.


Demi Perut Buncit


Seharusnya yang dilakukan
Kritis mengawal kebatilan
Menyuarakan rakyat jelata
Dengan lantang, penguasa ketakutan

Namun yang dilakukan
Membuat rumah nama paling bagus
Dibuat lobi dan jual-beli
Asal diam perut akan buncit

Sanggarnya sangat bagus
Namanya lebih bagus
Hanya mempermudah transaksi
Untuk perut semakin buncit.


Di Balik Kopiah Putih


Kopiah kau terlalu bagus
Menutupi kepala botak kau
Agar terhindar dari matahari

Lembaga kau juga bagus
Tak ada yang minat
Pengawas datang, kelas-kelas menjadi ramai

Anak sekampung kau jual
Pada penguasa yang tertipu
Beli mobil, bangun rumah

Kopiah kau terlalu bagus
Akan lebih bagus berada di pasaran.

Ibu


Aku tak mampu mengumpamakanmu
Kasihmu tiada batas membuat aku ada
Jasamu tak terhingga, aku tak mampu menilaimu
Air matamu adalah doa dan doamu jalan kehidupan
Senyummu adalah keberkahan dan tangismu adalah perisai

Ketika malam tiba kau mengadu pada malam
Dengan menyebut namaku paling dahulu
Ketika siang tiba kau mengadu pada matahari
Dengan harapan aku dilindungi
Aku tak mampu mengumpamakanmu
Karena kau terlalu indah.


Nasihat Sesepuh


Andai aku pergi
Kau tak perlu memikirkan
Meratapi kepergian
Meratapi kemunduran

Andai aku tak lagi bersama
Kau tak perlu bercemas
Menunggu aku kembali
Sudah tak mungkin lagi

Kau sudah besar
Lakukan!
Tak perlu kau menunggu
Hanya menunda waktu.


Makan Uang Pemerintah


Katanya aktivis
Demi rakyat jelata
Sebenarnya hanya kelaparan
Pada jatah tak turun-turun

Aktivis seharusnya kritis
Bukan mencari perut buncit
Bila gersang jadi kritis
Bila subur jadi kering.

Ia ingin
Aktivis banci.
Padamu Kasih


Bintang yang bergantungan di langit
Menulis kisah tentang dirimu
Dengan memberi salam kerinduan
Pada aku yang merindu

Aku merindunya
Pada orang yang tak merindu
Namun harapan takkan hilang
Walau langit tak lagi menulis

Kisah ini akan selalu ditulis
Di setiap lembaran
Tentang kisah kerinduan
Pada sajak asmara
Dengan hati membara

Jika ada yang bertanya
Tentang kisah
Dia takkan mampu menderngarnya
Dengan air mata
Mengalir bak lautan.



Kau


Aku menyambut di gerbang sajadah
Dengan doa-doa tak ada yang tahu
Bahkan kau sendiri takkan tahu
Sampai kau menyadari
Di balik doa ada kau
Dalam jiwa tak ada dusta
Dalam sukma yang sedang menunggu
Dada khayalan yang tak tahu.


Kekasih yang Hilang


Kaulah pelita hati
Yang tertanam sejak dini
Terus terjaga bertahun-tahun

Satu kasihku                  
Satu dalam jiwa
Satu yang kurindu

Cinta di belah lautan
Angin silih bergantian
Tetap tak tergoyahkan

Saat pada waktu
Dua harus mengeluh
Jika Bapak tidak memersatu.


Kekasih Seberang


Jika angin bertiup kencang
Cintaku akan sampai ke negerimu
Membawa kau pulang
Dengan baju pengantinmu

Bila hujan tak lagi curah
Gelombang laut tak bikin takut
Perahu pun mendayung-dayung
Cintaku akan ke tepi.















Di Balik Capaian


Ia boleh tertawa ria
Dengan capain memukau
Lalu berjanji kembali
Agar lebih dicintai

Ia boleh tertawa ria
Tertawa dengan anjing-anjingnya
Menyusun kembali
Track record semakin cemerlang

Ia boleh tertawa ria
Dengan capaian memukau
Tetapi kami
Dibikin makin mengeluh-keluh.





Trip


Terasa aneh dan aneh
Dia pergi kemana-mana
Penjuru dunia dilaui
Hanya untuk bersantai

Terasa aneh dan aneh
Dia terlalu bangga
Warna-warni cuaca telah menghampirinya
Padahal tetangga tak ada yang kenal
Kelak matinya juga tak dikenal.
Sungai


Kami dahulu mencintai engkau
Air yang tenang tidak beriak
Diteduhi bambu, pepohonan
Bunyi bambu bunyi burung
Bergantian saling bernyanyian

Ketika ombak datang
Terjang saling menerjang
Anak-anak ke sungai-sungai
Bawa kedebong terampung

Anak-anak terampung dengan kedebong
Ikut ombak ke ujung-ujung
Anak-anak ketawa-ketiwi
Menunggu hujan datang kembali.



Di Balik Kaca


Akulah pemiliknya
Mengatur daerah ini
Didesain arsitek Cina
Biar tempat-tempat tak lagi kumuh

Dia harus lupa
Pada tempat kumuh ini
Agar rumah kita dicintai
Oleh tetangga yang ingin singgah

Biarkan mereka kelaparan
Asal tetap bayar.























bm

ridlwan.com adalah personal blog suka-suka. Blog ini disajikan dengan berbagai konten menarik dan terupdate.

avatar
Admin MOH RIDLWAN Online
Welcome to MOH RIDLWAN theme
Chat with WhatsApp