Kumpulan Puisi "Di Balik Kaca
Di Balik Kaca
Kumpulan Puisi Moh. Ridlwan
KEGELISAHAN
DAN JALAN
PULANG
(SEBUAH PENGANTAR)
Muhri
Membaca
puisi-puisi Ridwan dalam antologi Di Balik Kaca seperti membaca kembali kegelisahan masa muda
yang timbul dalam tidak adanya persesuaian antara realitas dan yang
ideal. Sebagian orang memilih turun ke jalan untuk mengungkapkan apa yang
diidealkan tersebut. Sebagian lagi melalui media massa seperti sosial media,
media penyiaran seperti televisi dan sebagainya. Ridwan salah satu dari orang
yang memilih melalui seni sastra. Entah disengaja atau tidak, suara yang muncul
kemudian seperti tawar-menawar antara keinginan untuk berekspresi dan di sisi
lain keinginan untuk dimengerti. Wujudnya berupa metafora ‘ringan’ – dalam
terminologi Umberto Eco – yang mudah dipahami. “Mengigau dalam Mimpi” merupakan
salah satu yang mengungkapkan kegelisahan tersebut. Diksi seperti “mengigau”,
“tertidur”, “terbuai”, dan “lemari” dalam puisi tersebut memiliki konotasi yang
unik. “Mengigau” berkonotasi berbicara tapi tidak sepenuhnya sadar mereka
berbicara hanya karena dorongan naluri “Anak-anak tetap mengigau dalam
mimpi/Namun perut kerontang dalam mengigau”; “tertidur” berarti pasif, tidak
sadar, sebab terlalu lelah, dibuai suara, seuatu yang menyamankan, dsb.; “yang terbuai” dalam konteks puisi tersebut
berarti rakyat yang diam karena berharap pada pemimpin yang mereka pilih dengan
janji-janji; “lemari”dalam adalah lemari arsip tempat menyimpan surat penting
masa lalu yang hanya dibuka sewaktu-waktu jika perlu.
Kegelisahan semacam itu juga terdapat pada “Catatan 2016”,
“Berekspresi pada Hakikatnya”, “Kiai”, “Demi Perut Buncit”, “Di Balik Kopiah
Putih”, “Makan Uang Pemerintah” dan “Di Balik Capaian”. Kegeliasahan tersebut
berada dalam jarak yang sebenarnya tidak terjangkau oleh si aku yang posisinya
hanya seorang diri dan berada dalam posisi terbawah. Jika “Catatan 2016”, “Demi
Perut Buncit”, dan “Makan Uang Pemerintah” dalam lingkup politik, “Kiai” dan
“Di Balik Kopiah Putih” dalam budaya religius. Si aku tidak berada dalam
kedua-duanya.
Kegelisahan tersebut juga muncul dalam kenisbian dan eksistensi
diri. Puisi seperti “Bukan Tempat Pendosa” yang berbicara tentang posisi si aku
dalam religiusitas seolah menempatkan diri pada posisi bawah tetapi di sisi
lain menghujat yang di atas; “Catatan Kelas” berbicara tentang kelas akademik,
kesia-siaan, harapan dan ketidakpastian masa depan, dan realitas menyakitkan
saat kuliah hanya soal skor dan ujung-ujungnya adalah hedonisme melalui
kemewahan, bukan pencarian ilmu yang suci; Ujungnya dengan pahit dan cenderung
naturalis, si aku mengungkapkan kekecewaannya dalam “Kelas Sampah”. Bahkan
dalam bait terakhir si aku sampai pada sikap apatis dan tidak peduli, “Mari
bersampah/Ilmu kita menjadi sampah.”
Kegelisahan tersebut menyebabkan romantisme pada kerinduan akan
ketenangan pada ibu yang dalam puisi ini terwakili dengan kata Embok, rumah,
kampung halaman. Corak romatis mewarnai puisi puisi bertema di atas, terutama
pada “Sebuah Fajar”, “Birunya Kampung”, “Padamu Kasih”, dan “Sungai”.Kerinduan
tersebut seperti pelarian dari kejenuhan dan harapan yang jauh yang belum juga
sampai pada ujungnya.
Akhirnya, pembacalah yang akan menilai dengan sebenarnya. Pengantar
singkat ini pun hanyalah bacaan dan tafsiran yang berusaha mengungkap yang
terdapat “di balik kaca” yang merupakan ruang kosong di belakang cermin atau
sebuah dinding tempat cemin melekat.
Muhri
(Pembaca dan pemerhati sastra,
dosen STKIP PGRI Bangkalan)
Proses
Proses
Dari
kecil sudah berproses
Dewasa
bagian dari proses
Yang
tua pun juga berproses
Sekolah
hanya proses
Kuliah
bagian dari proses
Yang
bekerja pun juga berproses
Semua
hanya proses
Aku
pun bingung
Kenapa
hidup hanya berproses
Tanpa
harus menikmati
Mungkin
hidup hanyalah sebuah proses
Proses
untuk mati, dinikmati.
Hukum bagi Pendosa
Tak perlu takut!
Yang berdosa hanya ditulis dalam kertas
Dibiarkan dengan kertas dosa yang lain
Yang berdosa hanya menebarkan senyum
Tak perlu takut!
Hukum hanya kertas yang ditulis
Dan dibiarkan dengan tumpukan kertas
Kalau sudah tua kertas pun rusak
Hukum juga ikut rusak
Mari berdosa!
Karena hukum sudah mati.
Mengigau dalam Mimpi
Sudah
waktu berontak
Anak-anak
yang tertidur
Mengigau
dalam mimpi
Dan
tak sadar telah terbuai
Ketika
menjadi sama
Janji,
sumpah terjual bebas
Agar
anak-anak terbuai
Lalu
mengigau dalam mimpi
Ketika
sudah di atas
Janji,
sumpah tertinggal di lemari
Saluran
tersimpan dalam lemari
Lalu
dimakan untuk sendiri
Yang
harusnya milik para terbuai
Anak-anak
tetap mengigau dalam mimpi
Namun
perut kerontang dalam mengigau
Dan
tak tahu pada siapa harus mengigau
Jika
untuknya telah lenyap
Mengigau
sudah berakhir sekarang
untuk
Berontak karena
zaman sudah dimulai.
Bukan Tempat Pendosa
Tuhan
Maha Pengasih
Yang
kutahu dari ustad
Dan
teks-teks tertulis dalam buku
Para
Kiai sering menyebut “Astagfirullah!”
Juga
orang-orang yang kukenal
Diri
ini
Sorga
bukanlah tempat berdiam
Dosa
melekat
Dosa
terlaknat
Seperti
iblis terlaknat
Aku
sampah yang terbuang
Diri
ini
Neraka
bukanlah tempat berdiam
Nanah
bagi pendiam
Rumah
api bagi pendiam
Panas
logam bagi pendiam
Aku
bukan besi logam yang bebas
Aku
pendosa
Menyebut
nama Tuhan
Juga
seperti mereka.
Ibu yang Lupa
(Untuk kampung)
Lupa!
Itu
kata yang pas di kampung
Perawan
bertutup hijab
Menyembunyikan
bangkai
Kulit
tak boleh terlihat
Dalam
aturannya
Tapi
bangkai terlihat
Orang
yang singgah di depannya
BH
tanpa pelindung
Ikut
terlihat bagi yang singgah
Namun
sang ibu tidak sadar
Ketika
ceramah datang
“Aku
sudah berbiak”
35
tahun sudah lupa
Lelaki
tidak pernah bosan melihat.
Catatan Kelas
Hidup
menjadi apa?
Terlukis
dalam kepala
Tidak
mau berbuat
Pena
dalam genggaman
Mahasiswa
berangkat
Berdiam
Pulang
Catatan
seorang pengkhayal
Kertas
kosong yang tidak pernah terisi
Androrid
putar-balik
Bibir
anjing tampak bergaya
Berpuluh
kawan ikut bermain
Kertas
tak punya
Kuda
besi diperhalus
Cewek
pun mendekap
Aku
hanya menghayal
IPK
selalu dinanti
Namun
tak mau berbuat
Hidup
menjadi apa?
Titah Pemuda
Tak
mungkin hidup dengan tanda titik (.)
Hidup
panjang
Butuh
perjuangan
Dengan
tanda koma (,) yang berlangsung
Tak
pantas dipuji dengan berseru (!)
Mematahkan
semangat
Menghancurkan
hidup
Pemuda
tak kenal lelah
Tanda
tanya (?) simbol keberanian
Untuk
melangkah
Ini
peninggalan pejuang
Yang
harus diperjuangkan
Agar
tak terulang
Mari
dilanjutkan!
Siapa yang Salah?
Katanya ingin hidup sehat
Kubawa air putih
Kau tetap saja minum comberan
Katanya ingin pintar
Kubawa beberapa buku
Hanya dibuat petasan
Katanya ingin suci
Kubawakan pakaian
Tetap saja tidak berpakaian
Katanya ingin dicintai
Kubawa seikat bunga
Namun dibuat mainan
Katanya ingin kaya
Kubawa sebungkus nasi
Kau buat taruhan
Siapa salah?
Seventeen
English Learning
Tempatku
Tempat
bermimpi
Aku
merindu
Jika
di seberang
Tempatku
Rumah
kita
Keluarga
kita
English
kita
Di
kejauhan
Aku
akan menyebutmu
Seperti
menyebut nama Tuhan
Dalam
aku berdoa.
Pare,
14 Agustus
2016
Kelas Sampah
Ini
kelas?
Besi
berserakahan
Tubuh
pun berserakahan
Bising
besi, binatang kelaparan
Bak
pasar tradisional
Untuk
ilmu yang damai
Ilmu
damai
Jiwa
yang damai
Pada
tempat yang damai
Ruangan
sampah
Untuk
tubuh yang bersampah
Ilmu
menjadi sampah
Mari
bersampah!
Ilmu
kita menjadi sampah.
Nyanyian Burung
Pohon-pohon
ditebang
Kami
terusir
Tinggal
di hutan
Dibakar
Diburu
Menanam
pohon
Dicabut
Dibuang
Kami
burung butuh tempat
Butuh
damai
Untuk
istri anak-anak
Ayo
bersama!
Tidur
di istana
Biar
jadi mimpi buruk penguasa.
Separuh Harimau
Bukan
lagi kucing yang harus penurut
Mengemis
untuk keluarga masa depan
Seisi
perut
Rela
diinjak
Sekarang
penguasa
Rimba
ganti tangan
Awalnya
digertak,
menggertak
dijarah,
menjarah
ditendang,
menendang
Ini
harimau
Perlu
menindas.
Suara Rokok
Sudah
diingatkan
Tetap saja
tidak mau
Tak acuh
Sakit
dirindukan
Didambakan
Mau mati
Membutuhkan
Ayo gabung
bersama kami!
Bersenang-senang
Dan mati
bersama.
Pejuang
Ingat dan perlu
kau ceritakan!
Ketika penguasa diam
Wabah-mewabah
tak terbendung
Sudah saatnya
rakyat berkumpul untuk bersuara
Ini jihad perlu
dilantangkan
Jihad tak harus
dengan sajam
Tak perlu angin
mesin
Suara lantang
juga bikin takut
Bikin penguasa
kalang-kabut
Ini jihad perlu dilantangkan
Diperhatikan
Dicatat
Agar anakmu mengingat.
Rumah
Kecoklatan
Rumah yang kau tinggal
Sudah diambang ketiadaan
Anakmu tak lagi di rumah
Ia akan mati di seberang
Rumah itu sudah hijau
Bersama alang-alang memanjang
Rumput liar di dinding-dinding
Juga atap rumah
Andai engkau masih bersama
Menangis tersedu-sedu
Mengingat kau banting tulang
Di rumah yang dulu
kecoklatan.
Sapi
Di sebelah banyak rumput
Ambillah sebilah arit!
Sapi embok pasti suka
Embok sudah tak
kuat
Membawa arit ke ladang
Membantu bapak mengarit
Di bawah matahari terik
Bantal gulingmu cukup di malam
Tak perlu kau bawa ke siang
Embok sudah tak kuat.
Jalan
Belakang
Tertutup sudah terhapus
hasrat rasa
Ia menangis
Dalam sunyi masih menyebut nama kau
Pada suatu hari ia berdayung ke pulau
Dengan selembar tulisan atas kau
Di mantra Bapak
pulau
Ia tak lagi menangis.
Jalan
ke Depan
Pagi itu ia melukis-lukis
Jalan ke tepi surga
Kata embok “Engkau akan ke sana
Belajar menanam rasa
Demi Embok-Bapak
ini
Kau tak perlu khawatir
Langit masih di atas
Ia mau diajak bicara.”
Jalan
Pulang
Kau sudah cukup di negeri rantau
Dengan emas dan rumah
Kau tak pulang-pulang
Embok mau sekarat
Berpuluh tahun di rantau
Adikmu mau nikah
Tak ada lagi yang dipikirkan
Dia bisa makan
Cepatlah kau pulang!
Embok mau sekarat
Kau tak perlu menunggu embok tiada.
Jalan
Sesungguhnya
Kau sudah berusaha
Tak perlu berkecil hati
Tanyakan ke embokmu!
Ia akan memberi petunjuk.
Jalan
Kampung
Penguasa sudah lupa
Jalan ke kampung sulit ditempuh
Buta!
Adat
Kampung
Kau harus meniru!
Menghargai dan membantu
Tanpa ada laba
Tetanggamu juga diingat!
Ia saudaramu
Dari kakek-kakekmu terdahulu
Biar kau tak sendiri.
Kota
Banyak yang menyadari
Setiap melangkah
Hanya bikin gelisah
Pada embok yang mulai menua
Di kota banyak sekolah
Juga banyak ladang wabah
Bila tak siap
Yang singgah mengkhawatirkan.
Selamat
Nak, kalau ingin bepergian
Ingatlah!
Sebut nama Tuhanmu!
Kau selamat.
Catatan
2016
“Bebek nungging”
Di puji, dihormati kalangan atas
Duta pancasila, duta kehormatan
Ideologi diinjak-injak
Menjelaskan pancasila dihukum
Penghina dijamu, dilindungi
Pembela disebut radikal
Pemberontak dipuji
Melaporkan
Dilaporkan
Melaporkan kembali
Dilaporkan kembali
Mengkritisi “makar”
Makar dibela
Ramai “hoax”
Diam semakin ditindas
Ini negara
kita
Wajah Indonesia.
Kampung
Tak Maju-Maju
Menunggu hari tiada tahu
Semoga hari diberi waktu
Membawa tas, tas digendong
Berjalan ketawa-ketiwi
Seperti film tv-tv
Kampungku tak ada sekolah
Bermain ke ladang ikut embok
Menangkap belalang untuk burung
Itu aku tahun dahulu
Kini sekolah berjejeran
Anak-anak kampung tak ada yang mau
Lari ke pulau untuk rantau
Melihat tetangga hanya motor
Tak ada yang disalahkan
Embok tak ngerti ilmu
Anak tak mau tahu
Kampung tak maju-maju.
Pekerjaan
Kampung
Bajunya terik matahari
Ladang dan sawah adalah rumahnya
Alasnya lumpur dan juga duri rumput
Bajunya terik matahari
Mengayun becak mondar-mandir
Untuk di rumah yang menunggu
Itu orang tua kau
Jangan kau lupakan karena status kau!
Sebuah
Fajar
Dengan apakah aku mencarimu
Dengan rasa kantuk, jatuh-bangun membasuh muka
Saat di jalan samar pandangan dan samar rupa
Angin sepoi menusuk kulit
Menerjang lawan tak ada henti
Demi sebuah fajar di pagi hari
Saat fajar digenggam
Ingin kubawa ke ujung senja.
Kampung
Kemarau
Angin malam menerjang kampung
Bunyi layangan bunyi sekampung
Untuk embok-embok di pinggir
sumur
Duduk santai sekampung-kampung
Bicara Z akhirnya X
Hanya cangkruk melawan kantuk
Embok-embok tak tidur-tidur
Menunggu air untuk diminum
Dua bak hanya semalam
Penguasa tuli tak mau tahu
Kampung sengsara tak diurus-urus
Mandi jauh, rakyat haus.
Bersandiwara
Kembali lagi pada sebenarnya
Jilat ludah meludah kembali
Dalam hatinya ia mengerti
Namun tak mau mengerti
Tanda!
Status bahaya.
Rumah
Kita Kecoklatan
Ibu, rumah kita masih bagus
Tak perlu khawatir
Badai saja takkan mampu menerjangnya
Rumah kita masih nyaman
Rasa segar selalu menusuk dari celah dinding
Bikin rasa seakan tak ada hari
Rumah kita nyamannya minta ampun
Yang berlantai-lantai belum tentu sama
Rasa dan kesegaran yang telah dirasakan
Rumah ini kecoklatan
Jaga dan rawat!
Besok cucumu akan mengingat
Dari rumah kecoklatan yang kita singgahi.
Berekspresi
pada Hakikatnya
Ada kalanya dengan megaphone
Tirani yang menjamur perlu dihempaskan
Dengan suara lantang dan gerakan
Ada kalanya dengan menulis
Penguasa yang terlanjur tuli
Perlu diingat dan diajarkan
Biar masyarakat tak lagi cemas
Tujuannya sama dan tak perlu maki-memaki
Dukung tak ada henti!
Semuanya untuk Indonesia
Melawan tirani yang tak kunjung padam.
Birunya
Kampung
Birunya kampung sehijau tumbuhannya
Sesegar buahnya
Seindah bunganya
Seharum bunganya
Anginnya membawa kesyahduan
Pikirannya terbawa syahdu
Seperti birunya kampung
Indah, harum semerbak bunganya.
Kiai
Saat ia berdiam
Hatinya berzikir
Pikirannya mengilhami
Tingkahnya adalah panutan
Perbuatannya adalah contoh
Sabdanya adalah titah
Kiai sebagian
Bagian mafia terselubung.
Sebuah
Celurit
Kalau boleh jujur aku tidak tahu
Celurit yang digantung itu
Malam jumat kemenyan dituangkan
Baunya terdengar oleh tetangga
Celurit itu dibasuh dengan bebunga
Melati dan mawar
Ia menjadi suci
Yang aku tahu
Celurit itu untuk seseorang
Bila istri disinggahi.
Engkau
Sendiri
Engkau ibarat singa di hutan rimba
Yang lain diusir
Dimakan
Engkau bebas
Engkau inginnya hidup sendiri
Aturan sendiri
Tanpa ada satu pun di sampingnya
Hidup seperti raja tanpa rakyat
Engkau sendiri
Siapa bahagia?
Pura-Pura
Lupa
Engkau sendiri yang berteriak
Mengusulkan dengan segala macam
Tak kenal kawan, jalan diperbaiki
“Kau idealis”
Engkau duduk di kursi
Lupa dengan teriakan dahulu
Perut sudah buncit
Tetap saja kau menikmati
Bukan idealis
“Keras kepala.”
Pura-Pura
Aktivis
Semestinya ia tak lupa
Pada kisah perjuangan
Melawan tirani kemunduran
Dengan darah bercucuran
Semestinya ia tak lupa
Pada rakyat jelata
Menangis tersedan-sedan
Hilang rumah, hilang kasab
Ia maju, dipilih
Dengan harapan mengadu nasib
Ia bikin lebih menangis.
Demi
Perut Buncit
Seharusnya yang dilakukan
Kritis mengawal kebatilan
Menyuarakan rakyat jelata
Dengan lantang, penguasa ketakutan
Namun yang dilakukan
Membuat rumah nama paling bagus
Dibuat lobi dan jual-beli
Asal diam perut akan buncit
Sanggarnya sangat bagus
Namanya lebih bagus
Hanya mempermudah transaksi
Untuk perut semakin buncit.
Di
Balik Kopiah Putih
Kopiah
kau terlalu bagus
Menutupi kepala botak kau
Agar terhindar dari matahari
Lembaga kau juga bagus
Tak ada yang minat
Pengawas datang, kelas-kelas menjadi ramai
Anak sekampung kau jual
Pada penguasa yang tertipu
Beli mobil, bangun rumah
Kopiah
kau terlalu bagus
Akan lebih bagus berada di pasaran.
Ibu
Aku tak mampu mengumpamakanmu
Kasihmu tiada batas membuat aku ada
Jasamu tak terhingga, aku tak mampu menilaimu
Air matamu adalah doa dan doamu jalan kehidupan
Senyummu adalah keberkahan dan tangismu adalah perisai
Ketika malam tiba kau mengadu pada malam
Dengan menyebut namaku paling dahulu
Ketika siang tiba kau mengadu pada matahari
Dengan harapan aku dilindungi
Aku tak mampu
mengumpamakanmu
Karena kau terlalu indah.
Nasihat
Sesepuh
Andai aku pergi
Kau tak perlu memikirkan
Meratapi kepergian
Meratapi kemunduran
Andai aku tak lagi bersama
Kau tak perlu bercemas
Menunggu aku kembali
Sudah tak mungkin lagi
Kau sudah besar
Lakukan!
Tak perlu kau menunggu
Hanya menunda waktu.
Makan
Uang Pemerintah
Katanya aktivis
Demi rakyat
jelata
Sebenarnya hanya kelaparan
Pada jatah tak turun-turun
Aktivis seharusnya kritis
Bukan mencari perut buncit
Bila gersang jadi kritis
Bila subur jadi kering.
Ia ingin
Aktivis banci.
Padamu
Kasih
Bintang yang bergantungan di langit
Menulis kisah tentang dirimu
Dengan memberi salam kerinduan
Pada aku yang merindu
Aku merindunya
Pada orang yang tak merindu
Namun harapan takkan hilang
Walau langit tak lagi menulis
Kisah ini akan selalu ditulis
Di setiap lembaran
Tentang kisah kerinduan
Pada sajak asmara
Dengan hati membara
Jika ada yang bertanya
Tentang kisah
Dia takkan mampu menderngarnya
Dengan air mata
Mengalir bak lautan.
Kau
Aku menyambut di gerbang sajadah
Dengan doa-doa tak ada yang tahu
Bahkan kau sendiri takkan tahu
Sampai kau menyadari
Di balik doa ada kau
Dalam jiwa tak ada dusta
Dalam sukma yang sedang
menunggu
Dada khayalan yang tak tahu.
Kekasih
yang Hilang
Kaulah pelita hati
Yang tertanam sejak dini
Terus terjaga bertahun-tahun
Satu kasihku
Satu dalam jiwa
Satu yang kurindu
Cinta di belah lautan
Angin silih bergantian
Tetap tak tergoyahkan
Saat pada waktu
Dua harus mengeluh
Jika Bapak tidak memersatu.
Kekasih Seberang
Jika angin bertiup kencang
Cintaku akan sampai ke negerimu
Membawa kau pulang
Dengan baju pengantinmu
Bila hujan tak lagi curah
Gelombang laut tak bikin takut
Perahu pun mendayung-dayung
Cintaku akan ke tepi.
Di
Balik Capaian
Ia
boleh tertawa ria
Dengan
capain memukau
Lalu
berjanji kembali
Agar
lebih dicintai
Ia
boleh tertawa ria
Tertawa
dengan anjing-anjingnya
Menyusun
kembali
Track record semakin
cemerlang
Ia
boleh tertawa ria
Dengan
capaian memukau
Tetapi
kami
Dibikin
makin mengeluh-keluh.
Trip
Terasa
aneh dan aneh
Dia
pergi kemana-mana
Penjuru
dunia dilaui
Hanya
untuk bersantai
Terasa
aneh dan aneh
Dia
terlalu bangga
Warna-warni
cuaca telah menghampirinya
Padahal
tetangga tak ada yang kenal
Kelak
matinya juga tak dikenal.
Sungai
Kami dahulu mencintai engkau
Air yang tenang tidak beriak
Diteduhi bambu, pepohonan
Bunyi bambu bunyi burung
Bergantian saling bernyanyian
Ketika ombak datang
Terjang saling menerjang
Anak-anak ke sungai-sungai
Bawa kedebong terampung
Anak-anak terampung dengan kedebong
Ikut ombak ke ujung-ujung
Anak-anak ketawa-ketiwi
Menunggu hujan datang kembali.
Di
Balik Kaca
Akulah
pemiliknya
Mengatur
daerah ini
Didesain
arsitek Cina
Biar
tempat-tempat tak lagi kumuh
Dia
harus lupa
Pada
tempat kumuh ini
Agar
rumah kita dicintai
Oleh
tetangga yang ingin singgah
Biarkan
mereka kelaparan
Asal
tetap bayar.