Thursday, February 27, 2020

Identitas Kultural Dan Stigma Masyarakat Madura

pixabay.com

Pendahuluan
Madura merupakan entitas budaya yang unik, dapat dibedakan dengan budaya-budaya lain negeri ini. Batasan mengenai Madura sendiri cukup dilihat dari parameter bahwa suatu unsur budaya tersebut mencirikan identitas Madura, maka dapat dikatakan sebagai budaya Madura. Melalui bahasa dan dialek Madura akan dengan mudah diketahui sebagai budaya atau etnis Madura. Bahasa merupakan elemen fundamentalis yang menjadi unsur penjelas identitas kultural sesorang.
Saat ini sering kita jumpai budaya Madura tidak mendapat porsi semestinya bahkan oleh masyarakatnya sendiri. Masyarakat Madura malu mengakui kemaduraanya, dan lebih bangga dengan identitas lainnya. Sebagai sebuah label identitas, yang pada gilirannya menunjukkan eksistensi kita di dalam sebuah komunitas yang lebih besar. Seharusnya Madura menduduki posisi yang lebih terhormat dan membanggakan si pengguna label tersebut. Nyatanya, identitas kemaduraan, kini tidak lagi dianggap penting.
Keengganan orang Madura mengakui identitas etnis dan asal mereka kiranya dapat dimaklumi karena selama ini persepsi orang di luar Madura cenderung negatif sehingga komunitas mereka cenderung termarginalkan. Hal ini menimbulkan “image traumatik.” Identitas diri orang Madura semakin tidak dapat dikenali karena ada kecenderungan bertindak menghindar saat berinteraksi sosial di perantauan. Dalam kata lain, masyarakat Madura melepaskan identitasnya yang merupakan ciri khas etnis Madura yang melekat erat pada dirinya. Hal tersebut nampaknya justru tidak kita temukan pada etnis lain, yang biasanya justru bengga dengan penggunaan bahasa daerah mereka di perantauan.
Terkikisnya kebanggan identitas kultural Madura tersebut tentu memprihatinkan karena berkaitan dengan eksistensi budaya Madura dan orang Madura, baik yang di Madura maupun di perantauan. Dalam konteks relasi pada masyarakat majemuk, identitas kultural Madura harus tetap dipertahankan. Hal ini tidak didasarkan pada ikatan emosional semata apalagi etnosentrisme kesukuan, melainkan lebih pada fakta bahwa dalam realita sehari-hari memang memiliki lebih dari satu identitas. Disamping identitas kebangsaaan sebagai bangsa Indonesia, Masyarakat Madura adalah anggota etnis tertentu, penganut agama atau kepercayaan tertentu dan sebagainya. Tulisan ini mencoba membahas mengenai identitas kultural masyarakat Madura serta stigma yang melekat terhadap orang Madura.
PEMBAHASAN
Identitas Kultural
Pembahasan mengenai identitas kultural seringkali dikacaukan dengan istilah identitas sosial. Identitas sosial terbentuk dari struktur sosial yang terbentuk dalam sebuah masyarakat. Adapun identitas kultural terbentuk melalui struktur kebudayaan suatu masyarakat. Struktur budaya adalah pola-pola persepsi, berpikir dan perasaan, sedangkan struktur sosial adalah pola-pola perilaku sosial. Dalam kajian antropologi, identitas tidak hanya memberikan makna tentang pribadi seseorang, melainkan lebih dari itu, menjadi ciri khas sebuah kebudayaan yang melatarbelakanginya. Saat manusia itu hidup dalam masyarakat yang multibudaya, maka di sanalah identitas budaya itu diperlukan.
Menurut Lustig & Koester (2003) masyarakat pluralis sudah barang tentu akan berunsur orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling berbeda identitas kulturalnya. Identitas kultural di sini merujuk pada perasaan memiliki seseorang terhadap kebudayaan atau kelompok etnik tertentu. Identitas kultural dibentuk di dalam proses–proses yang dihasilkan dari keanggotaan seseorang ke dalam kebudayaan tertentu; dan dalam sebuah identitas kultural tersebut terkandung proses pembelajaran dan penerimaan berbagai tradisi, warisan, bahasa, agama, leluhur, seni, pola-pola berpikir, dan struktur sosial sebuah kebudayaan. Di sinilah, orang lalu menginternalisasikan keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma dari kebudayaannya dan mengidentifikasikan diri dengan kebudayaan sebagai bagian dari konsep diri mereka Identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang karena orang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu. Itu meliputi pembelajaran tentang dan penerimaan tradisi,sifat bawaan, bahasa, agama, keturunan dari suatu kebudayaan (Liliweri, 2004: 87). Sedangkan menurut Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, identitas budaya merupakan karakter khusus dari system komunikasi kelompok yang muncul dalam situasi tertentu.
Diverse groups can create a kultural system of symbols used, meanings assigned to the symbols, and ideas of what is considered appropriate and inappropriate. When the groups also have a history and begin to hand down the symbols and norms to new members, then the groups take on a kultural identity. Kultural identity is the particular character of the group communication system that emerges in the particular situation (Samovar, 2006:56)
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu kelompok masyarakat yang telah mewariskan simbol-simbol dan norma-norma secara turun temurun, maka kelompok tersebut adalah memiliki identitas budaya. Identitas budaya sangat berpengaruh terhadap kemampuan berkomunikasi antarbudaya. Kemampuan orang berdasarkan kategorisasi, strata sosial, pola kepercayaan, pola pikir dan pola perasaan berdasarkan kebudayaan tertentu.
Menurut Roger & Steinfatt (1999:97), akan menentukan individu-individu yang termasuk dalam ingroup dan outgroup secara kultural, bagaimana mereka berperilaku, sebagian ditentukan oleh apakah mereka termasuk ke dalam budaya tertentu atau tidak. Menurut Liliweri (2003), identitas budaya adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain
Menurut Jameson (2007) identitas kultural mengacu pada pengertian individu yang berasal dari keanggotaan formal atau informal dalam kelompok yang meneruskan dan menanamkan pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap, tradisi dan cara hidup. Perhatian identitas kultural adalah mengenai apa yang telah dipelajari seseorang di masa lalu dan bagaimana mereka menggunakannya  untuk mempengaruhi masa depanIdentitas memiliki sifat yang dinamis, tidak pernah stabil dan prosesnya pun sering berubah. Setiap orang selalu berubah sepanjang waktu baik secara pasif maupun aktif. Oleh karena itu, dalam komunikasi antarbudaya ini kita akan selalu berusaha untuk mendekati, membentuk dan bahkan menerima transformasi perubahan tersebut (Liliweri, 2003: 81).
Sebagai bagian penting dalam komunikasi antarbudaya, identitas kultural memiliki ciri-ciri atau atribut tertentu. Dalam Jameson (2007) disebutkan ada beberapa cirri atau atribut dari identitas kultural ini, diantaranya:
1.      Identitas kultural dipengaruhi oleh hubungan dekat. Orang-orang yang memiliki teman dekat berbeda budaya, secara bertahap akan mengadopsi beberapa kepercayaan, nilai dan sikap dari rekannya tersebut. Proses ini sering berlangsung secara tidak sengaja, tetapi dapat menyebabkan qualitative psychic transformation. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan bagaimana sebuah hubungan memodifikasi Identitas budaya seseorang.
2.      Identitas kultural berubah sesuai dengan waktu. Dalam perjalanan kehidupan, banyak orang berpindah kelas ekonomi, sosial, pergaulan, pekerjaan atau yang lain. Beberapa orang mengubah kebangsaannya bahkan agama. Meskipun barangkali mereka tidak mengubah bahasa aslinya, tetapi kemudian akan varian bahasa dengan dialek baru dalam kehidupaa sehari-hari mereka. Semua perubahan tersebut mempengaruhi identitas kultural masyarakat dan individu di dalamnya. Bahkan apabila terjadi perubahan dalam kesehariannya, aspek lain dentitas kultural tetap menjadi perhatian penting yang relevan dengan identitas inti seseorang dalam jangka panjang
3.      Identitas kultural erat kaitannya dengan kekuasaan dan hak istimewa. Kekuasaan dan previlege ataupun kemampuan untuk mengendalikan persepsi eksternal identitas kultural menjadi terbatas ketika seseorang tidak memiliki lembaga atau kelompok sebagai pendukungnya. Beberapa aspek dari identitas kultural mungkin dapat disembunyikan atau yang dapat disebut sebagai “afiliasi disengaja”. Contoh, cirri fisik menggambarkan latar belakang etnnis untuk beberapa orang, tetapi menjadi ambigu bagi yang lainnya. Orang-orang memiliki pilihan untuk membiarkan orang lain mengetahui atau tidak mengenai latar belakang budayanya. Terkadang factor biologis, sosial, budaya,ras, etnis, jenis kelamin, usia, dapat membuat orang lain merasa terpinggirkan hak-haknya.
4.      Identitas kultural dapat membangkitkan emosi. Orang mungkin memiliki perasaan positif, negatif, netral atau ambigu terhadap komponen identitas kultural mereka sendiri. Terkadang kita secara sadar atau tidak memiliki perasaan negatif terhadap komponen identitas sendiri. Ketika seseorang bersikap negatif terhadap identitas kultural orang lain, ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Dengan menegaskan identitas kultural orang lain, salah satu pihak akan memberikan kekuatan motivasi yang mendasari hubungan antarkelompok di mana hubungan interpersonal dapat dikembangkan.
5.      Identitas kultural dapat dinegosiasikan melalui komunikasi. Identitas kultural dapat dinegosiasikan melalui komunikasi tetapi hanya dalam kondisi tertentu. Orang tersebut harus merasa sadar dengan komponen identitas kultural mereka dan merasa nyaman untuk mendiskusikannya dengan orang lain. Bahkan disaat orang-orang mengetahui identitas budaya mereka, mereka tidak selalu mengkomunikasikan semua tentang kebudayaannya. Ada beberapa aspek identitas kulturalnya yang secara fisik tampak pada pertemuan tatapmuka, tetapi masih ada aspek yang tak terlihat seperti agama, kelas, dan profesi. Bahkan dalam interaksi yang menggunakan media, seperti email atau telepon, aspek dari identitas budaya menjadi tersembunyi, kecuali mereka ungkap secara sengaja. Orang dapat menentukan aspek identitas kultural mana yang akan diekspresikan. Identitas kultural tersebut dapat diakses, digunakan, ditafsirkan, ditampilkan, dilakukan, dan seterusnya dalam konteks sosial tertentu.
Lisa Orr (1997) menyatakan bahwa untuk mengetahui identitas  orang lain di awal komunikasi merupakan pertanyaan yang-paling sulit, apalagi bila kita ingin mengetahui kebudayaan otentik orang tersebut. Hal ini menunjukkan manusia biasanya tidak suka mengenal identitas seseorang secara sepotong-potong karena identitas kultural adalah “kultural totalization”. Sedangkan totalitas kebudayaan tidak selalu nampak, karena selalu bersembunyi di balik konteks multikultural. Sehingga, dengan cara sederhana orang mereka-reka ciri khas yang terlihat (tubuh, warna rambut, tampilan wajah, tampilan fisik tubuh, bahasa pakaian, dan makanan), batasbatas, factor-faktor utama penentu sebuah kebudayaan. Yang menjadi pertanyaan adalah dimanakah letak batas-batas identitas budaya.
Menurut Liliweri (2002) ada beberapa kharakteristik identitas budaya, yakni (1) identitas kultural merupakan pusat penampilan kepribadian kita. Kita akan menjadi lebih sadar tentang identitas kultural sendiri saat kita hidup di dalam kebudayaan orang lain, berinteraksi dengan beberapa orang dari kebudayaan yang berbeda; (2) Identitas kultural kita kadang-kadang dapat bertahan dalam konteks sosial yang selalu berubah; (3) identitas kultural merupakan sesuatu yang bermuka banyak. Makin banyak perbedaan budaya yang dihadapi maka makin banyak pula identitas kultural orang lain yang berhadaparn dengan kita, akibatnya, makin besar pula kita membandingkan identitas kultural kita dengan orang lain.
Namun sebenarnya di sisi yang lain, kemajemukan budaya dengan identitas kultural yang dimiliki masing-masing etnis, merupakan kekayaan bangsa yang sangat bernilai apalagi di tengah desakan budaya global saat ini. Masuknya beragam budaya asing (barat) menuntut adanya benteng budaya yang kuat dari suatu negara. Benteng budaya yang kuat dalam sebuah Negara yang multikultural bukan berarti terwujud dengan penggantian dan peninggalan identitas kultural masing-masing etnisnya, tetapi terbentuk dari suatu kehidupan harmonis (sosial cohession) dari etnis yang tetap memelihara identitas kultural yang dimilikinya.
Meskipun dalam masyarakat yang terbagai ke dalam kelompokkelompokyang berdasarkan identitas kultural akan sulit mencapai keterpaduan sosial namun hal ini bukan suatu keniscayaan. Meski hal ini memerlukan sebuah komunikasi antar budaya yang efektfif. Sebuah benteng budaya yang kuat yang terdiri dari beragamnya identitas kultural masing-masing etnis yang hidup di negara tersebut bisa terwujud menjadi identitas nasional.
Kesatuan dibangun melalalui narasi bangsa di mana cerita, citra, symbol dan ritual mempresentasikan makna “bersama” kebangsaan (Bhabha, 1990). Identitas nasional adalah identifikasi terhadap representasi pengalaman bersama dan sejarah yang dituturkan melalui berbagai kisah, sastra, budaya dan media. Narasi kebangsaan menekankan tradisi dan kontiunitas bangsa sebagai sesuatu yang ada dalam sifat dasar berbagai hal bersamaan dengan mitos dasar asal usul kolektif. Pada gilirannya narasi kebangsaan mengasumsikan dan memproduksi keterkaitan antara identitas nasional dengan identitas kultural (dalam hal ini tradisi budaya rakyat). Dari sini dapat dikatakan keterpaduan sosial (sosial cohesion) yang membentuk identitas nasional dari tetap hidupnya identitas kultural masing-masing etnisnya sangat penting sebagai filter dalam menghadang dampak globalisasi dengan terpaan budaya globalnya (Barker, 2005:203)
Identitas nasional adalah cara untuk menyatukan keberagaman budaya, seperti yang dikatakan Hall (1992: 297) “Alih-alih memikirkan budaya nasional sebagai satu kesatuan, kita cenderung memikirkannya sebagai perangkat diskursif yang menampilkan perbedaan sebagai kesatuan atau sebagai identitas. Budaya nasiobal bersinggunan dengan pembagian dan perbedaan internal dan hanya disatukan melalui penggunaan bentuk kekuasan budaya yang berbeda-beda”
Stigma Budaya Madura
Ketika kita mendengar kata Madura, yang terbayang di benak khalayak adalah bayangan tentang karakter unik, carok, sikap yang keras keras,logat yang khas, usaha besi tua, potong rambut, dan semacamnya. Kesan tentang Madura yang keras dan kasar ini sulit dihilangkan bila orang melihat orang Madura di perantauan. Anggapan tersebut tidak selamanya benar. Istilah unik menurut Awi (2001) menunjuk pada pengertian leksikal bahwa entitas etnik Madura merupakan “komunitas tersendiri” yang mempunyai karakteristik berbeda dengan etnik lain dalam bentuk maupun jenis etnografinya. Keunikan budaya Madura itu tampak tidak sejalan dengan kuatitas komunalnya yang menyebar ke berbagai daerah di Nusantara, yakni 9,7 Juta Jiwa (7,5%), menempati peringkat kuantitas etnik terbesar setelah Jawa (45%) dan Sunda (14%) (Kompas,24 Sept. 2005). Walaupun kedua konsepsi itu tampak tidak sejalan tetapi realitasnya mencerminkan kondisi itu.
Menurut Wiyata (2010) citra masyarakat Madura yang negatif tidak dapat dilepaskan dari peranan kelas menengah Madura yang kadang malu mengakui identitas etnisnya. Dalam pandangan Wiyata, warga kelas bawah yang menekuni pekerjaan kasar dan keras di luar Madura tidak bisa disalahkan dengan stigma tersebut. Mereka memang masyarakat yang kurang pendidikan. Dalam setiap masyarakat yang kurang pendidikan, pergaulan mereka sehari-hari sering memakai bahasa mapas (bahasa yang kasar pula). Ironisnya, kata-kata kasar itu terimplementasikan dalam tindakan nyata. Semua itu sudah menjadi budaya mereka, sehingga terlalu sulit untuk mengubah dalam waktu dekat.
Salah satu stigma tentang orang Madura adalah mengenai Madura cepat tersinggung, pemarah, suka berkelahi, dan beringas. Stigma dan stereotipe tentang suatu hal muncul dan bertahan terutama karena miskinnya informasi dan klarifikasi. Menurut Rifai (2007) citra negatif orang Madura ini malah sering diperburuk sendiri oleh sejumlah orang Madura yang kurang berpendidikan dengan cara lebih menonjolkan kenegatifannya secara sengaja dengan maksud menakut-nakuti orang lain demi tujuan yang tak terpuji.
Mengutip pendapat Zubairi (2013) stigma negatif tentang Madura disebabkan karena dua factor. Pertama, orang Madura sendiri memang terperangkap dalam cara pandang untuk bersikap keras dan berani, seperti yang dicitrakan. Citra keras dan berani segera  meledak ketika menghadapi masalah. Dengan demikian seorang Madura yang yang low profile dan lembut, terkadang dipertanyakan ke-Madura-annya. Faktor kedua, orang luar menyandera orang Madura untuk tetap terpenjara dalam citra keras yang sudah terbentuk. Orang Madura yang sudah telanjur dicap keras, nama etnisnya dicatut oleh orang dari suku lain, misalnya Jawa, untuk menakut-nakuti atau bahkan untuk berbuat kejahatan.
Padahal menurut Wiyata (2010) kekuatan dari kelas menengah Madura di perantauan inilah yang sebenarnya dapat merubah stigma negatif Madura. Akan tetapi hal ini menjadi sulit tercapai bila mereka sendiri selaku orang Madura tidak mau mengakui etnisnya yang andap asor tersebut. Berkaitan dengan stereotype etnis Madura, perlu upaya sebagai klarifikasi atau penjernihan tentang beragam stereotype negatif tersebut. Stigma negatif mengenai orang Madura ini mau tidak mau mempengaruhi persepsi orang luar Madura terhadap masyarakat Madura.
Kearifan Lokal Madura
Menurut Rifai (2007), tidak berbeda dengan suku bangsa Indonesai lainya, dalam menghadapi tantangan masa depannya masyarakat Madura juga tengah mengalami perubahan besar yang pesat jika dibandingkan dengan sebelumnya. Membaiknya sarana  komunikasi dan transportasi khususnya dengan beropersinya jembatan Suramadu, telah meningkatkan frekuensi terjadinya hubungan, persinggungan, dan interaksi masyarakat Madura dengan masyarakat luar. Oleh karena itu batas-batas kebudayaan Madura dengan segala kekhasan sistem tata nilainya telah mulai mengabur apabila dipertentangkan dengan kebudayaan dan peradaban suku-suku bangsa lainnya.
Adanya jembatan Suramadu menjadikan semakin mudahnya akses bagi orang luar untuk memasuki Madura dengan segala konsekuensi logisnya. Industrialisasi Madura menjadikan identitas kultural Madura berada di kancah global. Kondisi ini diharapkan menjadikan identitas kultural Madura semakin menguat, dan bukannya terisolasi dalam relasi multi etnis yang kompleks. Ditengah pesatnya kemajuan teknologi informasi, masyrakat Madura masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional maupun kearifan lokal yang telah lama berakar kuat. Dalam masyarakat Madura banyak dikenal pepatah adat yang dijadikan sebagai falsafah hidup dan menjadi identitas kultural tersendiri tersendiri bagi masyarakat madura. Bila dipelajari dengan seksama pepatahpepatah adat Madura, serta fakta-fakta dalam masyarakat seperti masalah perkawinan, sistem kekerabatan, kedudukan dan peran, orang tua, guru dan pemimpin. Melalui falsafah tersebut kita dapat membaca konsep-konsep hidup dan kehidupan yang ada dalam pikiran orang Madura.
Salah satu tujuan adat pada umumnya termasuk Madura adalah membentuk individu yang berbudi luhur, manusia yang berbudaya, dan beradab. Adat ini jugalah yang telah diteruskan secara turun temurun dari generasi ke generasi oleh masyarakat Madura sehingga menjadi ciri budaya dari orang madura. Ciri budaya ini jugalah yang kemudian memiliki peran tertentu dalam interaksi orang Madura dengan orang lain yang berbeda latar belakang budaya.
Ada ungkapan-ungkapan yang merupakan cerminan dari pandangan atau falsafah hidup orang Madura yang mengandung kedalaman makna baik dalam relasi dengan penciptanya, sesamanya, maupun lingkungannya. Diantara beberapa uangkapan tersebut antara lain:
1.      Abantal syahadat asapo’ iman (berbantal syahadat, berselimut iman). Suatu ungkapan yang menyiratkan pentingnya menjadikan agama sebagai sandaran hidup. Ungkapan ini menunjukkan sifat religiusitas orang Madura terhadap agamanya.  Hal ini salah satunya tercermin pada model bangunan rumah di Madura yang selalu menempatkan bangunan langgar di sisi barat halaman rumahnya. Langgar ini menjadi tempat shalat, mengaji dan belajar agama. Sejak kecil anak-anak di Madura sudah dibiasakan untuk belajar mengaji dan ilmu agama. Tidak mengherankan bahwa dalam struktur masyrakat Madura, kiai memiliki posisi penting dengan beragam hak istimewa/ privilege. Di Madura kiai dan pesantren menjadi sentral hampir sebagian besar kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan Madura. Hal ini menunjukkan kuatnya ikatan antara orang Madura dengan agamanya. Agama diterima bukan semata sebagai tradisi warisan leluhur, tapi juga menempati bagian tertinggi dalam kehidupan masyarakat Madura.
2.      Bhuppha’, bhabhu’, ghuru, ratoh tidak sekedar menggambarkan struktur penghormatan orang Madura, melainkan juga menggambarkan proses relasi sosial orang Madura. Ketaatan pada orang tua (bapak dan ibu) (buppa’ ban Babbu’) sebagai  orangtua kandung sudah jelas, tegas, dan diakui keniscayaannya. Secara kultural ketaatan dan ketundukan seseorang kepada kedua orangtuanya. .Bhuppha’-bhabhu’ adalah orang pertama bagi anak untuk belajar dan menerima pendidikan. Di lingkungan inilah proses sosial dalam lingkup kecil mereka kenal. Ghuru (ustz, guru, dan kiai) merupakan sosok sentral dalam masyarakat Madura. Sementara Ratoh termasuk orang yang harus dihormati karena ia pemimpin formal dalam masyarakat. Bagi masyarakat Madura kepatuhan pada ratoh sudah tertanam kuat, sehingga sikap tunduk dan menghormati terhadap segala peraturan yang berkaitan dengan posisidirinya sebagai warga negara adalah sebuah keniscayaan.
3.      “Manossa coma dharma“, yang menunjukkan keyakinan akan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa. Dalam ungkapan ini tercermin kepatuhan akan kuasa dan kebesaran Tuhan dalam menentukan takdir manusia.
4.      Ango‘an potè tolang è tèmbêng potè mata : (lebih baik mati dari pada malu). Makna ungkapan ini sebenarnya sangat mulia, dan mampu memberi inspirasi bagi orang untuk berbuat kebaikan dan membela kebanaran.Apabila memahami makna “pote mata pote tolang, ango’ poteya tolang”, seseorang akan malu untuk berbuat buruk atau melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Karena dengan melakukan tindakan buruk hal itu diumpamakan mencoreng hitam di wajah sendiri.
5.      Lakona lakoné, kènnèngnga kènnèngngé. Makna dari ungkapan ini adalah bahwa orang Madura memiliki pedoman atau tuntunan agar dapat membawa diri dimanapun dia berada dalam kondisi apapun. Hal ini menunjukkan bahwa orang Madura ulet professional dalam bekerja, karena itu para perantau Madura jarang mengalami kegagalan.
6.      Kar-karkar colpè’. Ungkapan ini menunjukkan keuletan dan kegigihan orang Madura dalam bekerja. Bekerja diibaratkan seperti seekor ayam yang selalu mencakar-cakar tanah untuk mendapat makanan, meskipun hasilnya sedikit. Ungkapan  kar-karkar colpè’ juga menggambarkan sifat orang Madura yang rajin bekerja, tekun, mengumpulkan penghasilan sedikit demi sedikit. Sifat ini juga menunjukkan bahwa orang Madura pantang menyerah dan berputus asa, sampai dia mencapai keinginannya.
7.      Ungkapan lain yang berkaitan dengan etos kerja orang Madura diungkapkan oleh Rifai (2007) yang menjelaskan bahwa orang Madura tidak akan menyia-yiakan atau membuang waktu dalam hidupnya yang pendek, sehingga tidak akan mèndu ghabay atau menduakalikan pekerjaan. Berdasarkan ungkapan ini, orang Madura bersikap sangat efisien terhadap waktu dalam bekerja, yang tergambar dalam ung kapan atau pepatah atolo ngèras mandi (berkeramas sambil mandi).
Dalam mengerjakan suatu pekerjaan, orang Madura bersikap du’-nondu’ mèntè tampar (duduk menunduk memintal tali). Ungkapan ini berarti bahwa meskipun terlihat duduk menunduk, sebenarnya orang Madura tetap ulet dan rajin melakukan kegiatan yang bermanfaat. Orang Madura juga  meyakini bahwa tiap orang mendapat hasil sesuai dengan yang diupayakannyamon atanè atana’, mon adhagang adhaging (siapa yang bertani bertanak nasi, siapa yang mau berdagang atau bekerja, maka dia akan memperoleh hasilnya).
DAFTAR PUSTAKA
Bhabha, H. 1990. Nation and Narration. London and New York: Routledge. Barker,Chris. 2005. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Daphne A. Jameson “Reconceptualizing Kultural Identity and Its Role in Interkultural Business Communication (2007:281-285). Diakses 2 Mei 2013. Giring.2004.Madura dimata Dayak dari Konflik ke Rekonsiliasi. Yogyakarta: Galang Press.
Gudykunst. William B. 2003. Cross-Cultural and Intercultural Communication, California: Sage publications Hall,S. 1992. Modernity and Its Futures. Cambridge: Polity Press.
Hall, Edward T, 1990. The Silent Language, New York: Doubleday Liliweri, Alo. 2004. Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta .Pustaka Pelajar.
Liliweri, Alo. 2001. Gatra – Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lustig, Myron W. Koester ,Jolene, 2003 .Intercultural Competence: Interpersonal Communication Across Cultures, Allyn and Bacon, Orr, Lisa. 1997. Media and Identities Series. California : SAGE Rahardjo, Turnomo, 2005. Menghargai Perbedaan Kultural, Pustaka Pelajar. Yogyakarta,
Rifai, Mien A, 2007. Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya, Pilar Media, Yogyakarta
Rifai,Mien A. 2007.Manusia Madura Melihat Masa Depan. (Sumenep: Makalah Kongkres Kebudayaan Madura, Samovar, Larry A., Porter, Richard E., McDaniel, Edwin R. 2006. Communication Between Cultures.
Samovar, Larry A., E. Porter .Richard, Edwin R. McDaniel . 2009. Interkultural Communication: A Reader .Boston: Wadsworth Cengage Learning.
Suwarsih Warnaen, 2002 Stereotip Etnis Dalam Masyarakat Multietnis. Matabangsa, Taufiqurrahman, 2007. Identitas Budaya Madura. Jurnal Karsa Vol XI No1 tahun 2007

bm

ridlwan.com adalah personal blog suka-suka. Blog ini disajikan dengan berbagai konten menarik dan terupdate.

avatar
Admin MOH RIDLWAN Online
Welcome to MOH RIDLWAN theme
Chat with WhatsApp