Identitas Kultural Dan Stigma Masyarakat Madura
pixabay.com |
Pendahuluan
Madura merupakan entitas budaya yang unik, dapat dibedakan dengan
budaya-budaya lain negeri ini. Batasan mengenai Madura sendiri cukup dilihat
dari parameter bahwa suatu unsur budaya tersebut mencirikan identitas Madura,
maka dapat dikatakan sebagai budaya Madura. Melalui bahasa dan dialek Madura
akan dengan mudah diketahui sebagai budaya atau etnis Madura. Bahasa merupakan
elemen fundamentalis yang menjadi unsur penjelas identitas kultural sesorang.
Saat ini sering kita jumpai budaya Madura tidak mendapat porsi semestinya
bahkan oleh masyarakatnya sendiri. Masyarakat Madura malu mengakui
kemaduraanya, dan lebih bangga dengan identitas lainnya. Sebagai sebuah label
identitas, yang pada gilirannya menunjukkan eksistensi kita di dalam sebuah
komunitas yang lebih besar. Seharusnya Madura menduduki posisi yang lebih
terhormat dan membanggakan si pengguna label tersebut. Nyatanya, identitas kemaduraan,
kini tidak lagi dianggap penting.
Keengganan orang Madura mengakui identitas etnis dan asal mereka
kiranya dapat dimaklumi karena selama ini persepsi orang di luar Madura
cenderung negatif sehingga komunitas mereka cenderung termarginalkan. Hal ini
menimbulkan “image traumatik.” Identitas diri orang Madura semakin tidak dapat
dikenali karena ada kecenderungan bertindak menghindar saat berinteraksi sosial
di perantauan. Dalam kata lain, masyarakat Madura melepaskan identitasnya yang
merupakan ciri khas etnis Madura yang melekat erat pada dirinya. Hal tersebut
nampaknya justru tidak kita temukan pada etnis lain, yang biasanya justru
bengga dengan penggunaan bahasa daerah mereka di perantauan.
Terkikisnya kebanggan identitas kultural Madura tersebut tentu memprihatinkan
karena berkaitan dengan eksistensi budaya Madura dan orang Madura, baik yang di
Madura maupun di perantauan. Dalam konteks relasi pada masyarakat majemuk,
identitas kultural Madura harus tetap dipertahankan. Hal ini tidak didasarkan
pada ikatan emosional semata apalagi etnosentrisme kesukuan, melainkan lebih
pada fakta bahwa dalam realita sehari-hari memang memiliki lebih dari satu
identitas. Disamping identitas kebangsaaan sebagai bangsa Indonesia, Masyarakat
Madura adalah anggota etnis tertentu, penganut agama atau kepercayaan tertentu
dan sebagainya. Tulisan ini mencoba membahas mengenai identitas kultural masyarakat
Madura serta stigma yang melekat terhadap orang Madura.
PEMBAHASAN
Identitas
Kultural
Pembahasan mengenai identitas kultural seringkali dikacaukan dengan
istilah identitas sosial. Identitas sosial terbentuk dari struktur sosial yang
terbentuk dalam sebuah masyarakat. Adapun identitas kultural terbentuk melalui
struktur kebudayaan suatu masyarakat. Struktur budaya adalah pola-pola
persepsi, berpikir dan perasaan, sedangkan struktur sosial adalah pola-pola
perilaku sosial. Dalam kajian antropologi, identitas tidak hanya memberikan makna
tentang pribadi seseorang, melainkan lebih dari itu, menjadi ciri khas sebuah
kebudayaan yang melatarbelakanginya. Saat manusia itu hidup dalam masyarakat
yang multibudaya, maka di sanalah identitas budaya itu diperlukan.
Menurut Lustig & Koester (2003) masyarakat pluralis sudah barang
tentu akan berunsur orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling berbeda identitas
kulturalnya. Identitas kultural di sini merujuk pada perasaan memiliki
seseorang terhadap kebudayaan atau kelompok etnik tertentu. Identitas kultural
dibentuk di dalam proses–proses yang dihasilkan dari keanggotaan seseorang ke dalam
kebudayaan tertentu; dan dalam sebuah identitas kultural tersebut terkandung
proses pembelajaran dan penerimaan berbagai tradisi, warisan, bahasa, agama,
leluhur, seni, pola-pola berpikir, dan struktur sosial sebuah kebudayaan. Di
sinilah, orang lalu menginternalisasikan keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, dan
norma-norma dari kebudayaannya dan mengidentifikasikan diri dengan kebudayaan
sebagai bagian dari konsep diri mereka Identitas budaya merupakan ciri yang
ditunjukkan seseorang karena orang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok
etnik tertentu. Itu meliputi pembelajaran tentang dan penerimaan tradisi,sifat
bawaan, bahasa, agama, keturunan dari suatu kebudayaan (Liliweri, 2004: 87).
Sedangkan menurut Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel,
identitas budaya merupakan karakter khusus dari system komunikasi kelompok yang
muncul dalam situasi tertentu.
Diverse groups can create a kultural system of symbols used,
meanings assigned to the symbols, and ideas of what is considered appropriate and
inappropriate. When the groups also have a history and begin to hand down the
symbols and norms to new members, then the groups take on a kultural identity.
Kultural identity is the particular character of the group communication system
that emerges in the particular situation (Samovar, 2006:56)
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu kelompok
masyarakat yang telah mewariskan simbol-simbol dan norma-norma secara turun
temurun, maka kelompok tersebut adalah memiliki identitas budaya. Identitas
budaya sangat berpengaruh terhadap kemampuan berkomunikasi antarbudaya.
Kemampuan orang berdasarkan kategorisasi, strata sosial, pola kepercayaan, pola
pikir dan pola perasaan berdasarkan kebudayaan tertentu.
Menurut Roger & Steinfatt (1999:97), akan menentukan
individu-individu yang termasuk dalam ingroup dan outgroup secara
kultural, bagaimana mereka berperilaku, sebagian ditentukan oleh apakah mereka
termasuk ke dalam budaya tertentu atau tidak. Menurut Liliweri (2003), identitas
budaya adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang
dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya tatkala dibandingkan
dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain
Menurut Jameson (2007) identitas kultural mengacu pada pengertian
individu yang berasal dari keanggotaan formal atau informal dalam kelompok yang
meneruskan dan menanamkan pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap, tradisi dan
cara hidup. Perhatian identitas kultural adalah mengenai apa yang telah
dipelajari seseorang di masa lalu dan bagaimana mereka menggunakannya untuk mempengaruhi masa depanIdentitas
memiliki sifat yang dinamis, tidak pernah stabil dan prosesnya pun sering
berubah. Setiap orang selalu berubah sepanjang waktu baik secara pasif maupun
aktif. Oleh karena itu, dalam komunikasi antarbudaya ini kita akan selalu
berusaha untuk mendekati, membentuk dan bahkan menerima transformasi perubahan
tersebut (Liliweri, 2003: 81).
Sebagai bagian penting dalam komunikasi antarbudaya, identitas
kultural memiliki ciri-ciri atau atribut tertentu. Dalam Jameson (2007)
disebutkan ada beberapa cirri atau atribut dari identitas kultural ini,
diantaranya:
1.
Identitas kultural dipengaruhi
oleh hubungan dekat. Orang-orang yang memiliki teman dekat berbeda budaya,
secara bertahap akan mengadopsi beberapa kepercayaan, nilai dan sikap dari
rekannya tersebut. Proses ini sering berlangsung secara tidak sengaja, tetapi
dapat menyebabkan qualitative psychic transformation. Oleh karena itu,
penting untuk mempertimbangkan bagaimana sebuah hubungan memodifikasi Identitas
budaya seseorang.
2.
Identitas kultural berubah
sesuai dengan waktu. Dalam perjalanan kehidupan, banyak orang berpindah kelas
ekonomi, sosial, pergaulan, pekerjaan atau yang lain. Beberapa orang mengubah
kebangsaannya bahkan agama. Meskipun barangkali mereka tidak mengubah bahasa
aslinya, tetapi kemudian akan varian bahasa dengan dialek baru dalam kehidupaa
sehari-hari mereka. Semua perubahan tersebut mempengaruhi identitas kultural
masyarakat dan individu di dalamnya. Bahkan apabila terjadi perubahan dalam
kesehariannya, aspek lain dentitas kultural tetap menjadi perhatian penting yang
relevan dengan identitas inti seseorang dalam jangka panjang
3.
Identitas kultural erat
kaitannya dengan kekuasaan dan hak istimewa. Kekuasaan dan previlege ataupun
kemampuan untuk mengendalikan persepsi eksternal identitas kultural menjadi
terbatas ketika seseorang tidak memiliki lembaga atau kelompok sebagai
pendukungnya. Beberapa aspek dari identitas kultural mungkin dapat
disembunyikan atau yang dapat disebut sebagai “afiliasi disengaja”. Contoh,
cirri fisik menggambarkan latar belakang etnnis untuk beberapa orang, tetapi
menjadi ambigu bagi yang lainnya. Orang-orang memiliki pilihan untuk membiarkan
orang lain mengetahui atau tidak mengenai latar belakang budayanya. Terkadang
factor biologis, sosial, budaya,ras, etnis, jenis kelamin, usia, dapat membuat
orang lain merasa terpinggirkan hak-haknya.
4.
Identitas kultural dapat
membangkitkan emosi. Orang mungkin memiliki perasaan positif, negatif, netral
atau ambigu terhadap komponen identitas kultural mereka sendiri. Terkadang kita
secara sadar atau tidak memiliki perasaan negatif terhadap komponen identitas
sendiri. Ketika seseorang bersikap negatif terhadap identitas kultural orang
lain, ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Dengan menegaskan identitas
kultural orang lain, salah satu pihak akan memberikan kekuatan motivasi yang
mendasari hubungan antarkelompok di mana hubungan interpersonal dapat
dikembangkan.
5.
Identitas kultural dapat
dinegosiasikan melalui komunikasi. Identitas kultural dapat dinegosiasikan
melalui komunikasi tetapi hanya dalam kondisi tertentu. Orang tersebut harus merasa
sadar dengan komponen identitas kultural mereka dan merasa nyaman untuk
mendiskusikannya dengan orang lain. Bahkan disaat orang-orang mengetahui
identitas budaya mereka, mereka tidak selalu mengkomunikasikan semua tentang
kebudayaannya. Ada beberapa aspek identitas kulturalnya yang secara fisik
tampak pada pertemuan tatapmuka, tetapi masih ada aspek yang tak terlihat
seperti agama, kelas, dan profesi. Bahkan dalam interaksi yang menggunakan media,
seperti email atau telepon, aspek dari identitas budaya menjadi tersembunyi,
kecuali mereka ungkap secara sengaja. Orang dapat menentukan aspek identitas
kultural mana yang akan diekspresikan. Identitas kultural tersebut dapat diakses,
digunakan, ditafsirkan, ditampilkan, dilakukan, dan seterusnya dalam konteks
sosial tertentu.
Lisa Orr (1997) menyatakan bahwa untuk mengetahui identitas orang lain di awal komunikasi merupakan
pertanyaan yang-paling sulit, apalagi bila kita ingin mengetahui kebudayaan
otentik orang tersebut. Hal ini menunjukkan manusia biasanya tidak suka mengenal
identitas seseorang secara sepotong-potong karena identitas kultural adalah “kultural
totalization”. Sedangkan totalitas kebudayaan tidak selalu nampak, karena
selalu bersembunyi di balik konteks multikultural. Sehingga, dengan cara
sederhana orang mereka-reka ciri khas yang terlihat (tubuh, warna rambut,
tampilan wajah, tampilan fisik tubuh, bahasa pakaian, dan makanan), batasbatas,
factor-faktor utama penentu sebuah kebudayaan. Yang menjadi pertanyaan adalah
dimanakah letak batas-batas identitas budaya.
Menurut Liliweri (2002) ada beberapa kharakteristik identitas budaya,
yakni (1) identitas kultural merupakan pusat penampilan kepribadian kita. Kita
akan menjadi lebih sadar tentang identitas kultural sendiri saat kita hidup di
dalam kebudayaan orang lain, berinteraksi dengan beberapa orang dari kebudayaan
yang berbeda; (2) Identitas kultural kita kadang-kadang dapat bertahan dalam konteks
sosial yang selalu berubah; (3) identitas kultural merupakan sesuatu yang
bermuka banyak. Makin banyak perbedaan budaya yang dihadapi maka makin banyak
pula identitas kultural orang lain yang berhadaparn dengan kita, akibatnya,
makin besar pula kita membandingkan identitas kultural kita dengan orang lain.
Namun sebenarnya di sisi yang lain, kemajemukan budaya dengan
identitas kultural yang dimiliki masing-masing etnis, merupakan kekayaan bangsa
yang sangat bernilai apalagi di tengah desakan budaya global saat ini. Masuknya
beragam budaya asing (barat) menuntut adanya benteng budaya yang kuat dari
suatu negara. Benteng budaya yang kuat dalam sebuah Negara yang multikultural bukan
berarti terwujud dengan penggantian dan peninggalan identitas kultural
masing-masing etnisnya, tetapi terbentuk dari suatu kehidupan harmonis (sosial
cohession) dari etnis yang tetap memelihara identitas kultural yang
dimilikinya.
Meskipun dalam masyarakat yang terbagai ke dalam
kelompokkelompokyang berdasarkan identitas kultural akan sulit mencapai keterpaduan
sosial namun hal ini bukan suatu keniscayaan. Meski hal ini memerlukan sebuah
komunikasi antar budaya yang efektfif. Sebuah benteng budaya yang kuat yang
terdiri dari beragamnya identitas kultural masing-masing etnis yang hidup di
negara tersebut bisa terwujud menjadi identitas nasional.
Kesatuan dibangun melalalui narasi bangsa di mana cerita, citra,
symbol dan ritual mempresentasikan makna “bersama” kebangsaan (Bhabha, 1990).
Identitas nasional adalah identifikasi terhadap representasi pengalaman bersama
dan sejarah yang dituturkan melalui berbagai kisah, sastra, budaya dan media.
Narasi kebangsaan menekankan tradisi dan kontiunitas bangsa sebagai sesuatu
yang ada dalam sifat dasar berbagai hal bersamaan dengan mitos dasar asal usul
kolektif. Pada gilirannya narasi kebangsaan mengasumsikan dan memproduksi
keterkaitan antara identitas nasional dengan identitas kultural (dalam hal ini
tradisi budaya rakyat). Dari sini dapat dikatakan keterpaduan sosial (sosial
cohesion) yang membentuk identitas nasional dari tetap hidupnya identitas kultural
masing-masing etnisnya sangat penting sebagai filter dalam menghadang dampak globalisasi
dengan terpaan budaya globalnya (Barker, 2005:203)
Identitas nasional adalah cara untuk menyatukan keberagaman budaya,
seperti yang dikatakan Hall (1992: 297) “Alih-alih memikirkan budaya nasional
sebagai satu kesatuan, kita cenderung memikirkannya sebagai perangkat diskursif
yang menampilkan perbedaan sebagai kesatuan atau sebagai identitas. Budaya
nasiobal bersinggunan dengan pembagian dan perbedaan internal dan hanya
disatukan melalui penggunaan bentuk kekuasan budaya yang berbeda-beda”
Stigma Budaya
Madura
Ketika kita mendengar kata Madura, yang terbayang di benak khalayak
adalah bayangan tentang karakter unik, carok, sikap yang keras keras,logat yang
khas, usaha besi tua, potong rambut, dan semacamnya. Kesan tentang Madura yang
keras dan kasar ini sulit dihilangkan bila orang melihat orang Madura di
perantauan. Anggapan tersebut tidak selamanya benar. Istilah unik menurut Awi
(2001) menunjuk pada pengertian leksikal bahwa entitas etnik Madura merupakan
“komunitas tersendiri” yang mempunyai karakteristik berbeda dengan etnik lain
dalam bentuk maupun jenis etnografinya. Keunikan budaya Madura itu tampak tidak
sejalan dengan kuatitas komunalnya yang menyebar ke berbagai daerah di
Nusantara, yakni 9,7 Juta Jiwa (7,5%), menempati peringkat kuantitas etnik
terbesar setelah Jawa (45%) dan Sunda (14%) (Kompas,24 Sept. 2005). Walaupun
kedua konsepsi itu tampak tidak sejalan tetapi realitasnya mencerminkan kondisi
itu.
Menurut Wiyata (2010) citra masyarakat Madura yang negatif tidak
dapat dilepaskan dari peranan kelas menengah Madura yang kadang malu mengakui
identitas etnisnya. Dalam pandangan Wiyata, warga kelas bawah yang menekuni
pekerjaan kasar dan keras di luar Madura tidak bisa disalahkan dengan stigma
tersebut. Mereka memang masyarakat yang kurang pendidikan. Dalam setiap
masyarakat yang kurang pendidikan, pergaulan mereka sehari-hari sering memakai
bahasa mapas (bahasa yang kasar pula). Ironisnya, kata-kata kasar itu
terimplementasikan dalam tindakan nyata. Semua itu sudah menjadi budaya mereka,
sehingga terlalu sulit untuk mengubah dalam waktu dekat.
Salah satu stigma tentang orang Madura adalah mengenai Madura
cepat tersinggung, pemarah, suka berkelahi, dan beringas. Stigma dan stereotipe
tentang suatu hal muncul dan bertahan terutama karena miskinnya informasi dan
klarifikasi. Menurut Rifai (2007) citra negatif orang Madura ini malah sering
diperburuk sendiri oleh sejumlah orang Madura yang kurang berpendidikan dengan
cara lebih menonjolkan kenegatifannya secara sengaja dengan maksud
menakut-nakuti orang lain demi tujuan yang tak terpuji.
Mengutip pendapat Zubairi (2013) stigma negatif tentang Madura
disebabkan karena dua factor. Pertama, orang Madura sendiri memang
terperangkap dalam cara pandang untuk bersikap keras dan berani, seperti yang
dicitrakan. Citra keras dan berani segera
meledak ketika menghadapi masalah. Dengan demikian seorang Madura yang
yang low profile dan lembut, terkadang dipertanyakan ke-Madura-annya. Faktor
kedua, orang luar menyandera orang Madura untuk tetap terpenjara dalam
citra keras yang sudah terbentuk. Orang Madura yang sudah telanjur dicap keras,
nama etnisnya dicatut oleh orang dari suku lain, misalnya Jawa, untuk menakut-nakuti
atau bahkan untuk berbuat kejahatan.
Padahal menurut Wiyata (2010) kekuatan dari kelas menengah Madura
di perantauan inilah yang sebenarnya dapat merubah stigma negatif Madura. Akan
tetapi hal ini menjadi sulit tercapai bila mereka sendiri selaku orang Madura
tidak mau mengakui etnisnya yang andap asor tersebut. Berkaitan dengan
stereotype etnis Madura, perlu upaya sebagai klarifikasi atau penjernihan
tentang beragam stereotype negatif tersebut. Stigma negatif mengenai orang
Madura ini mau tidak mau mempengaruhi persepsi orang luar Madura terhadap
masyarakat Madura.
Kearifan
Lokal Madura
Menurut Rifai (2007), tidak berbeda dengan suku bangsa Indonesai
lainya, dalam menghadapi tantangan masa depannya masyarakat Madura juga tengah
mengalami perubahan besar yang pesat jika dibandingkan dengan sebelumnya.
Membaiknya sarana komunikasi dan
transportasi khususnya dengan beropersinya jembatan Suramadu, telah
meningkatkan frekuensi terjadinya hubungan, persinggungan, dan interaksi
masyarakat Madura dengan masyarakat luar. Oleh karena itu batas-batas
kebudayaan Madura dengan segala kekhasan sistem tata nilainya telah mulai mengabur
apabila dipertentangkan dengan kebudayaan dan peradaban suku-suku bangsa
lainnya.
Adanya jembatan Suramadu menjadikan semakin mudahnya akses bagi
orang luar untuk memasuki Madura dengan segala konsekuensi logisnya.
Industrialisasi Madura menjadikan identitas kultural Madura berada di kancah
global. Kondisi ini diharapkan menjadikan identitas kultural Madura semakin
menguat, dan bukannya terisolasi dalam relasi multi etnis yang kompleks. Ditengah
pesatnya kemajuan teknologi informasi, masyrakat Madura masih menjunjung tinggi
nilai-nilai tradisional maupun kearifan lokal yang telah lama berakar kuat.
Dalam masyarakat Madura banyak dikenal pepatah adat yang dijadikan sebagai falsafah
hidup dan menjadi identitas kultural tersendiri tersendiri bagi masyarakat
madura. Bila dipelajari dengan seksama pepatahpepatah adat Madura, serta
fakta-fakta dalam masyarakat seperti masalah perkawinan, sistem kekerabatan,
kedudukan dan peran, orang tua, guru dan pemimpin. Melalui falsafah tersebut
kita dapat membaca konsep-konsep hidup dan kehidupan yang ada dalam pikiran
orang Madura.
Salah satu tujuan adat pada umumnya termasuk Madura adalah
membentuk individu yang berbudi luhur, manusia yang berbudaya, dan beradab.
Adat ini jugalah yang telah diteruskan secara turun temurun dari generasi ke
generasi oleh masyarakat Madura sehingga menjadi ciri budaya dari orang madura.
Ciri budaya ini jugalah yang kemudian memiliki peran tertentu dalam interaksi
orang Madura dengan orang lain yang berbeda latar belakang budaya.
Ada ungkapan-ungkapan yang merupakan cerminan dari pandangan atau
falsafah hidup orang Madura yang mengandung kedalaman makna baik dalam relasi
dengan penciptanya, sesamanya, maupun lingkungannya. Diantara beberapa
uangkapan tersebut antara lain:
1.
Abantal syahadat asapo’
iman (berbantal syahadat, berselimut iman).
Suatu ungkapan yang menyiratkan pentingnya menjadikan agama sebagai sandaran
hidup. Ungkapan ini menunjukkan sifat religiusitas orang Madura terhadap
agamanya. Hal ini salah satunya
tercermin pada model bangunan rumah di Madura yang selalu menempatkan bangunan langgar
di sisi barat halaman rumahnya. Langgar ini menjadi tempat shalat, mengaji
dan belajar agama. Sejak kecil anak-anak di Madura sudah dibiasakan untuk
belajar mengaji dan ilmu agama. Tidak mengherankan bahwa dalam struktur
masyrakat Madura, kiai memiliki posisi penting dengan beragam hak istimewa/
privilege. Di Madura kiai dan pesantren menjadi sentral hampir sebagian
besar kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan Madura. Hal ini menunjukkan kuatnya
ikatan antara orang Madura dengan agamanya. Agama diterima bukan semata sebagai
tradisi warisan leluhur, tapi juga menempati bagian tertinggi dalam kehidupan
masyarakat Madura.
2.
Bhuppha’, bhabhu’, ghuru,
ratoh tidak sekedar menggambarkan struktur
penghormatan orang Madura, melainkan juga menggambarkan proses relasi sosial
orang Madura. Ketaatan pada orang tua (bapak dan ibu) (buppa’ ban Babbu’)
sebagai orangtua kandung sudah jelas,
tegas, dan diakui keniscayaannya. Secara kultural ketaatan dan ketundukan
seseorang kepada kedua orangtuanya. .Bhuppha’-bhabhu’ adalah orang pertama
bagi anak untuk belajar dan menerima pendidikan. Di lingkungan inilah proses
sosial dalam lingkup kecil mereka kenal. Ghuru (ustz, guru, dan kiai)
merupakan sosok sentral dalam masyarakat Madura. Sementara Ratoh termasuk
orang yang harus dihormati karena ia pemimpin formal dalam masyarakat. Bagi
masyarakat Madura kepatuhan pada ratoh sudah tertanam kuat, sehingga
sikap tunduk dan menghormati terhadap segala peraturan yang berkaitan dengan
posisidirinya sebagai warga negara adalah sebuah keniscayaan.
3.
“Manossa coma dharma“, yang menunjukkan keyakinan akan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa.
Dalam ungkapan ini tercermin kepatuhan akan kuasa dan kebesaran Tuhan dalam menentukan
takdir manusia.
4.
Ango‘an potè tolang è tèmbêng
potè mata : (lebih baik mati dari pada
malu). Makna ungkapan ini sebenarnya sangat mulia, dan mampu memberi inspirasi
bagi orang untuk berbuat kebaikan dan membela kebanaran.Apabila memahami makna “pote
mata pote tolang, ango’ poteya tolang”, seseorang akan malu untuk berbuat
buruk atau melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Karena dengan
melakukan tindakan buruk hal itu diumpamakan mencoreng hitam di wajah sendiri.
5.
Lakona lakoné, kènnèngnga
kènnèngngé. Makna dari ungkapan ini adalah bahwa
orang Madura memiliki pedoman atau tuntunan agar dapat membawa diri dimanapun
dia berada dalam kondisi apapun. Hal ini menunjukkan bahwa orang Madura ulet
professional dalam bekerja, karena itu para perantau Madura jarang mengalami
kegagalan.
6.
Kar-karkar colpè’. Ungkapan ini menunjukkan keuletan dan kegigihan orang Madura
dalam bekerja. Bekerja diibaratkan seperti seekor ayam yang selalu
mencakar-cakar tanah untuk mendapat makanan, meskipun hasilnya sedikit.
Ungkapan kar-karkar colpè’ juga
menggambarkan sifat orang Madura yang rajin bekerja, tekun, mengumpulkan
penghasilan sedikit demi sedikit. Sifat ini juga menunjukkan bahwa orang Madura
pantang menyerah dan berputus asa, sampai dia mencapai keinginannya.
7.
Ungkapan lain yang berkaitan
dengan etos kerja orang Madura diungkapkan oleh Rifai (2007) yang menjelaskan
bahwa orang Madura tidak akan menyia-yiakan atau membuang waktu dalam hidupnya
yang pendek, sehingga tidak akan mèndu ghabay atau menduakalikan
pekerjaan. Berdasarkan ungkapan ini, orang Madura bersikap sangat efisien
terhadap waktu dalam bekerja, yang tergambar dalam ung kapan atau pepatah atolo
ngèras mandi (berkeramas sambil mandi).
Dalam mengerjakan suatu pekerjaan, orang Madura bersikap du’-nondu’
mèntè tampar (duduk menunduk memintal tali). Ungkapan ini berarti bahwa
meskipun terlihat duduk menunduk, sebenarnya orang Madura tetap ulet dan rajin melakukan
kegiatan yang bermanfaat. Orang Madura juga
meyakini bahwa tiap orang mendapat hasil sesuai dengan yang
diupayakannyamon atanè atana’, mon adhagang adhaging (siapa yang bertani
bertanak nasi, siapa yang mau berdagang atau bekerja, maka dia akan memperoleh
hasilnya).
DAFTAR PUSTAKA
Bhabha, H. 1990. Nation and Narration. London and New
York: Routledge. Barker,Chris. 2005. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi
Wacana
Daphne A. Jameson “Reconceptualizing Kultural Identity and
Its Role in Interkultural Business Communication (2007:281-285). Diakses 2
Mei 2013. Giring.2004.Madura dimata Dayak dari Konflik ke Rekonsiliasi.
Yogyakarta: Galang Press.
Gudykunst. William B. 2003. Cross-Cultural and Intercultural
Communication, California: Sage publications Hall,S. 1992. Modernity and
Its Futures. Cambridge: Polity Press.
Hall, Edward T, 1990. The Silent Language, New York: Doubleday
Liliweri, Alo. 2004. Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta .Pustaka
Pelajar.
Liliweri, Alo. 2001. Gatra – Gatra Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lustig, Myron W. Koester ,Jolene, 2003 .Intercultural
Competence: Interpersonal Communication Across Cultures, Allyn and Bacon, Orr,
Lisa. 1997. Media and Identities Series. California : SAGE Rahardjo,
Turnomo, 2005. Menghargai Perbedaan Kultural, Pustaka Pelajar.
Yogyakarta,
Rifai, Mien A, 2007. Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku,
Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya,
Pilar Media, Yogyakarta
Rifai,Mien A. 2007.Manusia Madura Melihat Masa Depan.
(Sumenep: Makalah Kongkres Kebudayaan Madura, Samovar, Larry A., Porter,
Richard E., McDaniel, Edwin R. 2006. Communication Between Cultures.
Samovar, Larry A., E. Porter .Richard, Edwin R. McDaniel . 2009.
Interkultural Communication: A Reader .Boston: Wadsworth Cengage
Learning.
Suwarsih Warnaen, 2002 Stereotip Etnis Dalam Masyarakat
Multietnis. Matabangsa, Taufiqurrahman, 2007. Identitas Budaya Madura. Jurnal
Karsa Vol XI No1 tahun 2007