Sunday, December 30, 2018

Menjual Mahasiswa Aktivis



Pasca 98 bukan suatu yang baik--terutama terhadap mahasiswa. Keberhasilan menumbangkan Orde Baru menjadi euforia sampai saat ini dan terus diagung-agungkan. Para senior selalu menceritakan sejarah 98 pada juniornya bahwa berakhirnya Orde Baru tidak lepas dari peran mahasiswa. Sebagai mahasiswa jangan segan-segan untuk turun ke jalan yang pada dasarnya mahasiswa adalah agent of control social sociaty.

Parahnya, para senior membanggakan dirinya sebagai aktivis 98, selalu mengagungkan keberhasilannya dihadapan juniornya. Namun, masih menjadi tanda tanya besar keaktivisannya dalam sejara 98. Apakah dia ikut andil dalam menggulingkan Orde Baru atau hanya menumpang nama? Hanya mereka yang bisa menjawabnya.

Doktrin dikit-dikit turun ke jalan menjadi sebuah ideologi paling dasar terhadap mahasiswa. Tanpa disadari, Junior ikut arus keinginan senior. Bahkan Junior tidak segan mendewakan para seniornya yang berada di tataran birokrasi maupun yang tidak. Jadi tidak heran mereka kritis dan berkoar-koar di jalan karena ada pesanan untuk menumbangkan rekan kerja karena kalah merebutkan proyek atau seniornya kalah dalam kontestasi Pilkada maupun Caleg. Jalan terbaik untuk membalas kekalahannya adalah memobilisasi juniornya (mahasiswa).

Aksi bukan lagi suara rakyat, melainkan suara senior. Aksi bukan lagi demi kepentingan umum, melainkan karena embel-embel yang akan masuk ke saku. Maka idealisme mahasiswa sekarang dipertanyakan karena sifat kritisnya terjual secara rahasia. Dalam benaknya, mahasiswa tidak lagi memerhatikan idealisme, tapi bagaimana hidup secara realistis dengan mendapatkan banyak uang. Jalan terbaiknya menerima pesanan semacam jual-beli dan siap dipakai apa saja oleh pembelinya.

Sederhananya, saat nelayan Teluk Benoa menolak reklamasi, emak-emak Rembang mengecor kaki di depan Istana bahkan salah satu peserta aksi, Fatmi sampai meninggal dunia akibat serangan jantung. Terus kemana mahasiswa aktivis saat itu? Semunya pura-pura tidak tahu.

Pada 23 November 2014, Mata Najwa mendatangkan Presiden Jokowi dan Tori Andromeda, Mahasiswa Universitas Merdeka. Pada sesi terakhir Toli diberi kesempatang mewawancarai Jokowi terkait kenaikan BBM, dan diakhir acara Najwa Shihab berucap “Hebat ya mahasiswa kita berani bertanya langsung kepada Bapak Jokowi.”

Mbak Najwa, itu dibilang hebat. Baca naskah di depan kamera dibilang hebat. Dulu mahasiswa menculik Presiden Soekarno, rela mati dan ada yang berkorban nyawa dalam peristiwa Trisakti, bahkan mahasiswa tidak takut dipenjara berbulan-bulan dan wajib lapor selama satu tahun demi mempertahankan idealisnya. Apakah itu kurang hebat?

Ucapan Najwa shihab jelas untuk mengelabui mahasiswa. Secara tidak langsung, Najwa Shihab menularkan doktrin terselubung untuk melupakan sejarah mahasiswa sebelum 98. Bahwa mahasiswa dulu tidak ada apa-apanya di banding sekarang yang tampil di depan kamera sambil membaca naskah. Faktanya mahasiswa sebelum 98 siap menerima segala kemungkinan terburuk demi mempertahan sebuah idealis sebagai aktivis yang melekat pada dirinya.

Sekarang mahasiswa aktivis lebih takut akan terik matahari. Ketika mau aksi, maka transaksi di belakang menjadi keharusan sebagai panggilan dan tanggung jawab terhadap perubahan warna kulit, juga menjadi penyemangat dalam menyampaikan aspirasi.

Ketika idealisme dijual maka paling pas saat ini mahasiswa bukan lagi disebut aktivis melainkan tukang jasa yang siap menerima orderan dari siapa pun demi kepentingannya asal ada uang jasa sesuai moment dan manfaatnya.

bm

ridlwan.com adalah personal blog suka-suka. Blog ini disajikan dengan berbagai konten menarik dan terupdate.

avatar
Admin MOH RIDLWAN Online
Welcome to MOH RIDLWAN theme
Chat with WhatsApp