Budaya Komunikasi Mahasiswa Madura Di Yogyakarta Kajian Etnografi James P. Spradley
pixabay.com |
1.
Pendahuluan
Etnis Madura dalam berkomunikasi sangat dipengaruhi
oleh budaya mereka yang sangat khas, mulai dari logat bahasa, cara bertutur,
menyampaikan pesan yang ada dalam pikiran mereka sampai pada pengungkapan atau
pengekspresian perasaan mereka. Komunitas Madura yang ada di Yogyakarta, mereka
lebih menghormati lawan bicara sehingga mereka berusaha semaksimal mungkin
memperhalus konten pesan agar tidak sampai menyinggung perasaan lawan
bicaranya. Meskipun mereka tidak perlu merangkai kata-kata yang indah, tapi
enak di dengar, mereka lebih memperioritaskan inti pesan, agar pesan tersebut
bisa dengan mudah dipahami oleh lawan bicaranya.
Keunikan bahasa Madura tampak pada variasi dialektik,
variasi tingkat tutur, dan varian-varian alofonnya. Pada variasi tingkat tutur.
Dalam bahasa Madura yang sudah umum terdapat tiga tingkatan, yakni tingkat
tutur Enja’ Iya, tingkat tutur Èngghi Enten, sedangkan yang
terakhir tingkatan Èngghi Bhunten.
Orang-orang Madura yang hidupnya di perantauan, mereka
akan cenderung mencari kelompoknya sendiri, yakni sesama orang Madura. Ketika mereka
bertemu dengan orang yang etnis Madura, mereka merasa memiliki kedekatan
emosional, sekalipun orang itu bukan sanak familinya. Tapi mereka menganggap
orang-orang Madura yang ditemuinya sebagai “tarètan dhibi’” atau saudara
sendiri. Hal itulah yang akan membuat orang Madura bangga dan senang ketika
bertemu sesama etnis Madura, sebab mereka akan menjaga satu sama lain, terlebih
juga saling menjaga harga diri mereka agar tidak terinjak oleh kelompok lain.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikemukakan suatu
perumusan masalah yaitu bagaimana budaya komunikasi mahasiswa Madura dalam
kehidupan sosial di Yogyakarta. Untuk mencapai tujuan tersebut maka penelitian
ini menggunakan teori etnografi James P. Spradley yang mendefinisikan secara
spesifik bahwa etnografi sebagai proses belajar yang digunakan untuk
meginterpretasikan sekeliling dan menyusun strategi perilaku untuk
menghadapinya. Spradley mengungkapkan pentingnya membahas konsep bahasa, baik
dalam melakukan proses penelitian maupun saat menuliskan hasilnya – dalam
bentuk verbal.
Secara lebih
spesifik, Spardley mendefinisikan budaya – sebagai yang diamati dalam etnografi
adalah proses belajar yang mereka gunakan untuk megintepretasikan dunia
sekeliling dan menyusun strategi perilaku untuk menghadapinya. Dalam
pandangannya ini, Spardley tidak lagi menganggap etnografi sebagai metode untuk
meneliti “Other culture”, masyarakat kecil yang terisolasi, namun juga
masyarakat kita sendiri, masyarakat multikultural di seluruh dunia. Namun, inti
dari “Etnografi Baru” Spardley ini adalah upaya memperhatikan makna tindakan
dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami melalui kebudayaan
mereka.
Dalam melakukan penelitian lapangan, etnografer
membuat kesimpulan budaya manusia dari tiga sumber: (1) dari hal yang dikatakan
orang, (2) dari cara orang bertindak, (3) dari berbagai artefak yang digunakan.
Namun, dalam buku ini, Spradley memfokuskan secara khusus serta kesimpulan dari
apa yang dikatakan orang. Wawancara etnografi dianggap lebih mampu menjelajah
susunan pemikiran masyarakat yang sedang diamati. Sebagai metode penelitian
kualitatif, etnografi dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Ada beberapa konsep yang menjadi titik fokus bagi
metode penelitian etnografi. Pertama, Spradley mengungkapkan pentingnya
membahas konsep bahasa, baik dalam melakukan proses penelitian maupun saat
menuliskan hasilnya – dalam bentuk verbal. Sesungguhnya adalah penting bagi
peneliti untuk mempelajari bahasa setempat, namun, Spradley telah menawarkan
sebuah cara, yakni dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan etnografis. Konsep
kedua adalah informan. Etnografer bekerja sama dengan informan untuk
menghasilkan sebuah deskripsi kebudayaan. Informan merupakan sumber informasi;
secara harfiah, mereka menjadi guru bagi etnografer.
Etnografi selalu menggunakan hal yang dikatakan oleh
orang dalam upaya untuk mendeskripsikan kebudayaan orang tersebut. Indikasi
untuk mengetahui dan menerjemahkan pengetahuan tentang kebudayaan adalah dari
bahasa, karena dengan bahasa kita mampu mengetahui apa yang di maksudkan
berdasarkan apa yang kita lihat, dengar dan sebagainya, hal ini juga dilakukan
sebagai sarana penting untuk menyampaikan kepada satu generasi ke generasi
berikutnya. Etnografi adalah suatu kebudayaan yang mempelajari kebudayaan lain.
Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian,
teori etnografis, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Etnotgrafi bermakna
untuk membangun suatu pengertian yang sistemik mengenai sebuah kebudayaan
manusia dari sebuah perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu.
Etnografi diasumsikan bahwa pengetahuan dari semua
kebudayaan sangatlah tinggi nilainya. Dengan demikian, asumsi membutuhkan
pengujian yang cermat untuk mendapakan suatu hasil yang baik. Bahasa juga ikut andil
dalam melakukan penelitian etnografi, sehingga bahasa menjadi penting untuk
diketahui. Mempelajari bahasa adalah dasar dari penelitian lapangan. Sehingga
dengan mempelajari bahasa adalah langkah awal dan paling penting untuk mencapai
tujuan utama etnografi dalam mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan
batasan-batasanya sendiri.
2.
Metode
Penelitian
Subjek
Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif penelitian yang didasarkan pada fakta atau fenomena yang secara
empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga yang dihasilkan atau dicatat
berupa data yang apa adanya. Sementara itu penelitian kualitatif dengan metode
etnografi menurut Spradley adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami
suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Inti dari etnografi adalah
upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang
terekspresikan secara langsung dalam bahasa dan di antara makna yang diterima,
banyak yang disampaikan tidak secara langsung melalui kata-kata, namun juga
perbuatan.
Data dalam penelitian ini berupa kata-kata. Kata-kata
diperoleh dari catatan dokumentasi tentang etnografi yang berhubungan dengan
mahasiswa Madura di Yogyakarta. Setelah data
terkumpul dan dikelompokkan sesuai dengan tujuan penelitian untuk dianalisis
dan diberikan interpretasi dengan cara mengklasifikannya ke dalam krangka teori
kemudian disimpulkan.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan 1) Observasi, yaitu mengadakan observasi
secara langsung mengenai budaya komunikasi mahasiswa Madura dalam kehidupan
sosial di Yogyakarta. 2) Wawancara yaitu perolehan data yang digunakan dalam
penelitian ini dengan menggunakan wawancara dengan informan, yaitu mahasiswa
Madura. 3) Studi Pustaka yaitu, perolehan data yang digunakan melalui
perpustakaan dan literatur yang menyangkut tentang budaya komunikasi mahasiswa
Madura. 4) Dokumentasi, yaitu perolehan data yang digunakan melalui dokumentasi
di lapangan tentang budaya komunikasi masyarakat Madura.
3.
Hasil
Dan Pembahasan
Budaya komunikasi mahasiswa Madura sebagaimana yang
ditemukan dalam penelitian ini adalah budaya komunikasi yang lebih mengarah
yang lebih terbuka, dimana penyampaian pesan dalam komunikasi dilakukan secara
langsung, balak-blakkan. Tapi, dalam berinteraksi mahasiswa Madura lebih banyak
mengunakan bahasa verbal dari pada bahasa non verbal. Ini tegambarkan pengunaan
bahasa-bahasa lisan yang muncul dari pembicaraan lebih dominan. Komunikasi
verbal yang mereka gunakan dalam proses komunikasi di Yogyakarta yakni dialek
Madura yang digunakan sehari-hari dalam berinteraksi dengan sesama mahasiswa
Madura.
Setiap kabupaten di Madura (Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, dan Sumenep) memiliki dialek sendiri tetapi hanya dialek Sumenep
yang memiliki logat khas. Dengan perbedaan bahasa serta dialek itulah mahasiswa
Madura mengenali sesama Madura tersebut berasal dari kabupaten mana. Walaupun
dalam penggunaannya, tidak menutup kemungkinan orang Sumenep juga bisa
menggunakan bahasanya orang Sampang demikian juga sebaliknya dan seterusnya.
Akan tetapi bahasa serta dialek itulah yang menjadi ciri khas suatu daerah di
Madura.
Dari empat ragam dialek Madura adalah dialek
Bangkalan, Sampang dan pamekasan termasuk dalam low context communication.
Yaitu, berintonasi cepat dan bernada tinggi. Bahasa yang mereka gunakan adalah terkesan
kasar, sekalipun menurut mereka merupakan bahasa yang maknanya biasa-biasa
saja. Berbeda dengan dialek Sumenep, dialek yang dijadikan acuan standar Bahasa
Madura adalah dialek Sumenep, karena Sumenep pada masa lalu adalah pusat
kerajaan dan kebudayaan Madura. Sedangkan dialek-dialek lainnya merupakan
dialek rural yang lambat laun bercampur seiring dengan mobilisasi yang terjadi
di kalangan masyarakat Madura.
Budaya komunikasi mahasiswa Madura di Yogyakarta mengacu
kepada bagaimana bahasa yang digunakan dalam sehari-hari, Bahasa Madura
sebagaimana bahasa-bahasa lain merupakan identitas yang menunjukan karakter dan
sifat manusianya. Tidak hanya itu, budaya komunikasi mahasiswa Madura di Yogyakarta
mengacu bagaimana perilaku masyarakat Madura di kehidupan sosialnya. Karena
dengan perkataan, manusia dapat di nilai bagaimana sikapnya.
Masyarakat Madura dalam berkomunikasi sangat
dipengaruhi oleh kultural yang sangat khas, mulai dari logat bahasa, cara
bertutur kata, menyampaikan pesan atau pengekspresian perasaan mereka. Sering kali
mahasiswa Madura dalam pengungkapkan perasaan dan pola pikir akan suatu hal
cenderung tidak basa-basi, langsung pada pembicaraan utama, hal ini dikarenakan
kultural Madura lebih menghargai waktu daripada kemasan yang akan disampaikan.
Masyarakat Madura jarang merangkai kata-kata yang indah dan enak didengar tapi
lebih mengutamakan inti pembicaraan agar maksudnya bisa dengan mudah dipahami
oleh lawan bicaranya. Komunikasi mahasiswa madura terlihat sangat emosional
dengan nada yang agak keras, meskipun konten yang disampaikan mempunyai makna
atau arti yang biasa (tidak marah), dan itu merupakan kebiasaan masyarakat
Madura dalam berinteraksi dengan sesama maupun dengan di luar etnis Madura. Itu
sudah menjadi ciri khas orang Madura sehingga orang yang diajak bicara harus
paham makna konten yang disampaikan agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Di kehidupan sosial, perilaku mahasiswa Madura pada
dasarnya jujur dan sederhana. mahasiswa Madura mempunyai hubungan yang sangat
erat, walaupun mereka tidak kenal sebelumnya. Apabila bertemu dimanapun,
asalkan tahu kalau dia berasal dari Madura, maka interaksi antara mereka akan
terjalin dengan baik.
Kebiasaan mahasiswa Madura di Yogyakarta ketika sedang
berjalan di antara orang yang bergerombol mereka menundukan kepala dan
mengcapkan “permisi”, apalagi ketika berhadapan dengan orang tua. Salah satu
karakteristik mahsiswa Madura yang menonjol adalah karakter apa adanya.
Artinya, sifat mahasiswa Madura memang ekspresif, spontan, dan terbuka.
Ekspresivitas, spontanitas, dan keterbukaan orang Madura, senantiasa tergambarkan
ketika harus merespon segala sesuatu yang dihadapi, khususnya terhadap
perlakuan orang lain atas dirinya. Misalnya, jika perlakuan itu membuat hati
senang, maka secara terus terang tanpa basa-basi, mahasiswa Madura akan
mengungkapkan rasa terima kasihnya seketika itu. Tetapi sebaliknya, mereka akan
spontan bereaksi keras bila perlakuan terhadap dirinya dianggap tidak adil dan
menyakitkan hati.
Perbedaan mencolok dengan mahasiswa lain salah satunya
adalah harga diri, sifat ini masyhur juga paling penting dalam kehidupan orang
Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa ango‘an
potè tolang è tèmbêng potè mata. Artinya, lebih baik putih tulang
daripada putih mata. Dalam hal atribut, sarung bukan sekedar pakaian bagi mahasiswa
Madura. Sarung merupakan salah satu pakaian adat yang menjadi kebanggaan
tersendiri bagi pemakainya karena sarung merupakan simbol ideologi tentang
keluhuran budi bagi mahasiswa Madura.
Mahasiswa Madura yang tinggal di Yogyakarta mengenakan
sarung untuk salat, bersantai, tidur, dan pergi ke kafe. Budaya sarungan mereka
lakukan bukan hanya dalam kegiatan keagamaan. Mahasiswa Madura yang masih kental dengan
budaya Madura, dalam kehidupan sehari-hari mereka selalu memakai sarung dalam
segala aktivitas yang dilakukan. Selain digunakan untuk salat, sarungan
merupakan budaya turun temurun yang dikenalkan oleh para orang tua kepada
anaknya mulai dari kecil. Selain itu, mahasiswa Madura juga banyak ditemu
menggunakan kopyah ketika pergi ke kampus atau dalam beraktifitas lain.
Hal ini dapat disimpulakn bahwa budaya komunikasi
masyarakat Madura lebih menonjolkan bahasa, yakni bahasa verbal yang digunakan
dalam berinteraksi antar sesamanya. Pernyataan-pernyataan verbal bisa berbeda
di setiap daerah di Madura. Walaupun perbedaan tersebut tidak terlalu jauh.
Tapi, mahasiswa Madura dapat menyimpulkan bahwa orang tersebut dari daerah
Bangkalan, Sampang, atau Pamekasan hanya dengan mendengarkan logat dan bahasa
yang dipakai.
Berikut beberapa contoh perbedaan bahasa Madura sesuai
dengan daerah masing-masing, yaitu seperti : Kata Be’na, untuk daerah
Sumenep, Be’en daerah pamekasan, Kake untuk daerah Sampang dan Hèdhâ
untuk daerah Bangakalan, kata-kata tersebut mempunyai arti yang sama yaitu ‘Kamu’.
Atau kata Lo’ untuk daerah Bangkalan dan kata Ta’ untuk daerah
Sampang, Pamekasan, dan Sumenep yang bermakna ‘tidak’. Kata Katondu untuk
daerah Sumenep dan Pamekasan Ngantok untuk daerah Bangkalan dan Sampang
yang mempunyai arti ’Ngantuk’.
4.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis
mengenai Komunikasi Mahasiswa Madura Dalam Kehidupan Sosial di Yogyakarta, maka
penulis menarik kesimpulan bahwa budaya komunikasi mahasiswa Madura adalah
budaya komunikasi yang lebih mengarah pada yang lebih terbuka, di mana
penyampaian konten dalam komunikasi dilakukan secara langsung dan blak-blakkan.
Dalam pengungkapan perasaan dan pola pikir mereka akan suatu hal dan cenderung tanpa
basa-basi, langsung pada pokok pembicaraan, hal ini dikarenakan kultural Madura
lebih menghargai waktu daripada kemasan konten yang akan disampaikan. Dalam
berinteraksi mereka lebih banyak mengunaakan bahasa verbal. Ini terlihat lebih
dominanya pengunaan bahasa-bahasa lisan yang muncul dari pembicaraan yang dilakukan.
Adanya perbedaan logat atau dialek antara masyarakat
Madura tidak menjadikan proses komunikasi pasif. karena meskipun demikian mereka
bisa memahami dan mengerti dialek-dialek maupun logat-logat Madura dan itu
sudah menjadi suatu ciri khas bahasa dan dialek masyarakat Madura.
DAFTAR
PUSTAKA
Cangara, Hafied. 1998. Pengantar
Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Damarastuti, Rini. 2013. Mindfulness
dalam komunikasi antar budaya: mindfulness dalam komunikasi antarbudaya pada
kehidupan masyarakat Samin dan masyarakat Rote Ndao, NTT”. Sukolilo:
Litera.
Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar
Komunikasi Antar budaya. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Littlejohn, Stephen W dan Foss,
Karen A. 2009. Teori Komunikasi Edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika.
Lull, James. 1998. Media,
Komunikasi dan Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mulyana, Deddy., dan Rakhmat,
Jalaludin. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda
karya
Pelly, Usman. 1998. Urbanisasi
dan Adaptasi. Jakarta: LP3ES
Sihabudin, Ahmad. 2011. Komunikasi
Antarbudaya. Jakarta: Bumi Aksara.
Uchjana, Onong. 1993. Dinamika Komunikasi.
Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
http://www.distrodoc.com/378042-budaya-komunikasi-masyarakat-madura,
di akses pada tanggal 1 Desember 2015, 21:49
https://zenapinkers08.wordpress.com/proposal-penelitian-kualitatif/,
di akses pada tanggal 5 Desember 2015, 2:04 15
https://madurajatim.wordpress.com/category/semua-tentang-madura/,
di akses pada tanggal 5 Desember 2015, 1:58
http://www.kompasiana.com/sakiena/budaya-madura-beda-denganjawa_
5500de72a33311ef6f512683, di akses pada tanggal 5 Desember 2015, 2:16
http://blog.unnes.ac.id/warungilmu/2015/12/18/metode-etnografi-dan-manfaatnya-dalammencari-
solusi-berbagai-permasalahan-sosial-budaya-antropologi-sma-kelas-xi/, di akses
pada tanggal 7 April 2016, 22:14 http://wajahilmu.blogspot.com/2014/05/high-and-low-context-dalam-komunikasi.html
di akses pada tanggal 22 Juni 2016, 3.02