Ideologi Dan Kelas Sosial Pengarang Dalam Naskah Drama Ayahku Pulang Karya Umar Ismail
pixabay.com |
Pendahuluan
Paper
ini
membahas naskah drama Ayahku Pulang karya Umar Ismail. Naskah ini
ditulis pada tahun 1950. Naskah ini mengangkat masalah yang terjadi dalam
keluarga, naskah penceraian antara Raden Saleh dan Tina. Naskah ini
menceritakan seorang ayah yang pergi meninggalkan isterinya dengan dua anak, anak
pertama bernama Gunarto berumur delapan tahun dan anak kedua masih bayi bernama Maimun, serta Mintarsih
yang sedang masih dalam kandungan. Kehidupan keluarga yang ditinggal sangat
menderita apalagi si istri karena tidak adanya biaya walapun pada akhirnya
keluarga tersebut mampu mengatasinya. Namun berbeda dengan si ayah yang menetap
Singapore dan hidup mewah di sana dengan seorang istri baru.
Suatu
ketika usaha si ayah hangus terbakar dan hidup terlunta-lunta. Dua puluh tahun
kemudian si ayah pulang ke rumah yang pernah ditinggalkan, dan keadaan si ayah sangat
memperihatinkan. Namu oleh anak pertama, Gunarto menolak kehadiran si ayah
kembali. Ia merasa telah disia-siakan dan harus ikhlas bekerja keras untuk
menyekolahkan kedua adiknya. Bahkahn adik pertama mampu menamatkan pedidikan sarjana.
Gunarto tidak terima ayahnya kembali karena pada saat ia sukses lupa pada
keluarganya.
Tujuan
karya ini adalah untuk mengetahui makna ideologi dan pertentangan kelas yang
terdapat dalam naskah drama Ayahku Pulang. Yaitu perjuangan si ayah
untuk mendapatkan pengakuan sebagai ayah yang sebenarnya adalah pertentangan
kelas yang ingin ditampilkan oleh Umar Ismail.
Naskah drama tersebut menarik diteliti karena belum diteliti mengenai ideologi
dan pertentangan kelas dengan pendekatan Marxisme. Selain perjuangan keluarga
Tinah, ialah perjuangan si ayah untuk mendapatkan pengakuan dari anaknya
sebagai anggota di keluarganya. Naskah drama ini terdapat aspek-aspek sosial
yang menggambarkan permasalahan status sosial; mengapa si anak, Gunarto
memiliki kendali dalam menolak keluarganya. Gambaran realitas tersebut tentang
ideologi dan petertentangan kelas adalah masuk di ranah sastra Marsisme. Oleh
karenanya, paper ini akan mengulas pertentangan saat perjuangan si ayah
ketika kembali ke rumah yang telah lama ditinggal seperti judul naskah drama
yaitu Ayhku Pulang.
Untuk
mencapai tujuan ini, maka masalah yang didiskusikan adalah 1) struktur kelas
sosial dalam naskah drama Ayahku Pulang, 2) relasi dengan realitas sosial
yang dibangun dalam naskah drama Ayahku Pulang, 3) Posisi kelas sosial
penulis dalam naskah drama Ayahku Pulang. Untuk menjawab dua rumusan
masalah tersebut dengan menggunakan pendekatan Marxisme. Marxisme pertama kali
dikenalkan oleh Karl Max. Konsep dasar teori sosial Marx untuk menelaah karya
sastra secara singkat adalah pengarang merupakan bagian sistem masyarakat,
pikiran dan kesadarannya (dideterminasi) mencerminkan kehidupan masyarakat. pengarang
dalam konteks ini kedudukan kelas sosial ekonominya adalah faktor utama yang
menentukan produksi pikiran pengarang. Produksi pikiran inilah yang kemudian
diindikasikan menggambarkan kedudukan kelas sosial atau ideologi pengarang.
Ideologi dalam karya sastra menurut Marx merupakan kesadaran, keyakinan, ide,
dan gagasan yang dipercaya masyarakat yang berkaitan. Oleh sebab itu, memahami
(ideologi) kelas sosial dalam naskah drama seperti adalah mengkaji kelas sosial
pengarang.
Ideologi
dalam karya sastra menurut Marx adalah kesadaran, keyakinan, ide, dan gagasan
yang dipercaya masyarakat yang berkaitan bentuk aktivitas material masyarakat.
Di sinilah karya sastra kemudian ditempatkan sebagai sistem produksi ideologi
suatu kelas tertentu. Namun dengan melihat sastra sebagai artefak yang
dideterminasi oleh aktivitas material, maka sebelum sastra sebagai produksi
ideologi, sastra sebenarnya adalah representasi ideologi kelas sosial pengarang
sebagai anggota masyarakat (Lihat, Kurniawan, 2011:44-46). Ideologi merupakan
akumulasi gagasan yang dipaksakan oleh kelompok dominan kepada kelompok
terkuasa atau subordinat. Untuk itu, ideologi terus-menerus dikontruksi dan
diproduksi dalam cara individu berpikir, bertindak, memahami diri, dan memahami
hubungannya dengan masyarakat; terutama melalui cara-cara ideologis. Oleh
karena itu, dari segi kebudayaan, individu tidak dipandang sebagai individu
dalam arti natural, tetapi subjek hasil kontruksi sosial (Althusser melalui
Fiske, 1996:117-118). Dengan demikian, maka persoalan utama dalam naskah drama Ayahku
Pulang, yaitu ideologi pengarang beserta aspek-aspek sosial seputar
kehidupan masyarakat akan terungkap berdasarkan perspektif sastra Marxis.
Metode Penelitian
Penelitian
ini adalah deskriptif kualitatif selalu dianggap hadir ketika terlihat jelas
terhadap kasus. Kasus ini dapat dilihat dari sudut-sudut yang berbeda. Dapat
dikatakan tidak mudah dilihat secara kasatmata. Bogdan dan Taylor mengemukakan
bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati (Moleong, 2007:4).
Objek
penelitian ini adalah naskah drama Ayaku Pulang karya Umar Ismail.
Adapun fokus penelitian ini adalah ideologi pengarang yang terdapat dalam naskah
drama tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Langkah kerja
dalam penelitian ini adalah pengumpulan data, analisis data, dan penyajian
hasil analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca naskah drama
(objek material). Dari naskah drama tersebut data dipilih kemudian dipilah
berdasarkan tujuan yang telah ditentukan, yaitu ideologi dan kelas sosial pengarang
yang terdapat dalam naskah drama dengan kajian sastra Marxis, khususnya terkait
kelas sosial tokoh dalam naskah drama dan pengarang. Hasil pemilahan data
penelitian dianalisis. Analisis dengan cara menginterpretasikan teks atau data
penelitian secara kritis. Penyajian hasil analisis dijelaskan secara
deskriptif-kualitatif.
Pembahasan
Struktur Kelas Sosial
Fokus pada analisis ini adalah tentang
struktur kelas sosial pada naskah drama Ayahku Pulang. Kelas sosial
diuraikan untuk mengungkap ideologi-ideologi yang muncul dalam naskah drama Ayahku
Pulang. Untuk mengungkap ideologi, struktur kelas sosial dan hubungan
antartokoh tersebut, maka analisis dimulai dengan mengidentifikasi latar sosial
naskah drama Ayahku Pulang.
Dalam naskah drama Ayahku Pulang dari
keseluruhan cerita menunjukan adanya dua latar sosial kontras sebagai konteks
sosial yang mengklasifikasi struktur sosial tokoh-tokohnya. Ada dua berbeda
yaitu tentang sosial si ayah dan sosial anaknya. Indikasi latar sosial tertera
dalam naskah drama Ayahku Pulang melalui peristiwa antartokoh yaitu Raden
Saleh dan Gunarto dalam keluarga tersebut. Persoalan kemiskinan dalam keluarga
tersebut nampak sekali. Raden Saleh dalam naskah drama Ayahku Pulang digambarkan
dengan kehidupan terlunta-lunta sebagai gelandangan. Hidup Raden Saleh menjadi
tidak menentu, bahkan untuk makan pun menunggu belas kasih orang lain. Raden
dalam naskah drama Ayahku Pulang ini sudah hidup dalam keterbatasan,
baik secara ekonomi maupun sosiologis.
Di sisi yang lain, dalam naskah drama Ayahku
Pulang adalah kehidupan yang kontras terjadi pada Gunarto. Nampak realitas
yang muncul adalah orang yang mampu bahkan mampu menyekolah adiknya yang
bernama Maimun sampai sarjana. Kehidupan keluarga yang ditinggal lebih makmur
daripada Raden Saleh Dalam drama Ayahku Pulang kelas sosial yang muncul
adalah kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas direpresentasikan oleh Gunarto,
sedangkan kelas bawah adalah Raden Saleh sebagai ayah yang berjuang untuk
mendaptkan halnya dalam biologis keluarga tersebut. Penentuan kelas ini
didasarkan pada sosila dan ekonomi. Sebagai kelas atas, Gunarto tidak
mengingkan Raden Saleh kembali ke dalam keluarganya. Sebagai Raden Saleh, ia berusaha
mendapatkan haknya sebagai ayah dari Gunarto.
Gunarto mempunyai
kendali penuh dalam keluarga, sehingga segala perintah penguasa harus dipatuhi
rakyat. Di sinilah lalu muncul potret kekuasaan yang otoriter. Oleh karena
kekuasaan penuh tersebut, dalam drama Ayahku
Pulang hubungan relasi antarkelas dalam konteks sosial
masyarakat menjadi persoalan. Meskipun ideologi yang mengikat adalah kelas
sosial, namun Raden Saleh justru dibantu oleh adik-adiknya Gunarto. Pada
konteks inilah kemudian muncul kesenjangan sosial yang menjadi konflik sosial
antara kelas bawah dengan kelas atas sebagaimana kutipan berikut ini.
GUNARTO: Maimun,
sering benar kau ucapkan kalimat “Ayah” kepada orang yang tidak berarti ini?
Cuma karena ada seorang tua yang masuk kerumah ini dan ia mengatakan kalau ia
Ayah kita, lalu kau sebut pula ia Ayah kita? Padahal dia tidak kita kenal. Sama
sekali tidak Maimun. Coba kau perhatikan apakah kau benar-benar bisa merasakan
kalau kau sedang berhadapan dengan Ayah mu?
MAIMUN: Bang Narto,
kita adalah darah dagingnya. Bagaimanapun buruknya kelakuan dia kita tetap
anaknya yang harus merawatnya.
GUNARTO: Jadi maksudmu ini adalah kewajiban
kita? Sesudah ia melepaskan hawa nafsunya dimana-mana, lalu sekarang ia kembali
lagi kesini karena sudah tua dan kita harus memeliharanya? Huh, enak betul!
Pada kutipan di
atas, ada ketimpangan sosial yang nampak antara Gunarto sebagai representasi
kelas atas dengan Raden Saleh sebagai representasi kelas bawah (subordinat).
Dengan kekuasaan yang dimiliki, Gunarto sangat mudah menolak kahadiran ayahnya
walaupun ada pembelaan dari adik-adiknya. Ironisnya, kelas bawah, Raden Saleh
mendapat pembelaan dari anak-anaknya selain Gunarto. Pada konteks ini keluarga
menunjukan selalu beranggapan positik terhadap ayahnya, Raden Saleh. Meskipun
keluarganya tersebut ditinggal saat Raden Saleh menjadi orang sukses. Keluarga
tersebut ada keberpihakan terhadap Raden Saleh dan tidak menunjukkan penengah. Dalam
konteks ini, justru mendorong terputusnya hubungan ayah yang miskin dalam keluarga tersebut.
Relasi Naskah Drama Ayahku Pulang dengan
Realitas Sosial Kekeluargaan
Relasi kelas
sosial yang dibahas adalah relasi kelas sosial keluarga anatara Raden Saleh
(ayah) dengan Gunarto dalam dengan realitas sebenarnya. Dalam naskah drama Ayahku Pulang, tokoh Raden Saleh
sebagai representasi dari kelas sosial bawah dalam keluarga, hidup dalam
keadaan terlunta-lunta. Sebagai orang miskin dan terlunta-lunta, ia jelas tidak
mampu menerima kenyataan bahwa dirinya sebagai ayah biologis ditolak oleh anak
sulungnya. Konsekuensi logis yang didapatkan adalah Raden Saleh merasa terhina
dalam kelas sosil, khususnya dalam keluarga. Sebagaimana setelah ditolak oleh
keluarganya, Raden Salen bunuh diri dengan cara mencebor ke sungai.
GUNARTO:
Maimun! Apa pernah kau menerima pertolongan dari orang tua seperti ini? Aku
pernah menerima tamparan dan tendangan juga pukulan dari dia dulu! Tapi sebiji
djarahpun, tak pernah aku menerima apa-apa dari dia!
MAIMUN:
Jangan begitu keras, Bang Narto.
GUNARTO (marah, dengan
cepat): Jangan kau membela dia! Ingat, siapa yang membesarkan kau! Kau lupa!
Akulah yang membiayaimu selama ini dari penghasilanku sebagai kuli dan kacung
suruhan! Ayahmu yang sebenar-benarnya adalah aku!
Gunarto direpresentasikan
sebagai kelas atas yang mempunyai kekuasaan, bisa berbuat dan melarangnya,
termasuk menolak Raden Saleh yang berjuang untuk mendapatkan haknya dalam kelas
sosial, representasi pemerintahan Gunarto mampu mengendalikan keluarganya.
Relasi sosial dalam keluarga tersebut mengungkapkan bahwa Raden Saleh yang
nobene adalah ayahnya dan hidup terlunta-lunta ditolak oleh Gunarto menjadi
bagian secara represif. Sistem represif yang mengatur kelas-kelas di bawahnya, yaitu
Raden Saleh sebagai rakyat harus patuh pada Gunarto (penguasa). Sistem represif
dan pemerintahan yang tanpa pengawasan inilah membuat penguasa bisa berbuat
sewenang-wenang, menyalahgunakan.
Posisi Kelas Sosial Pengarang
Secara kronologis naskah drama Ayahku Pulang dari awal sampai
akhir, terungkap penguasa yang terus-menerus menindas dan mendiskriminasi
rakyat dan berakhir pada perlawanan
rakyat terhadap penguasa. Posisi kelas sosial menunjukan keberpihakan penulis
pada kelas bawah atau subordinat. Perlawanan rakyat sebagai representasi kelas
bawah terhadap penguasa sebagai representasi kelas atas, menunjukan ideologi
atau pesan yang dibawa pengarang bahwa birokrasi atau kekuasaan penuh keluarga
Tina dalam naskah drama Ayahku Pulang
tidak bisa dibiarkan. Kekuasaan yang penuh kesewenang-wenangan hanya akan
menimbulkan kesenjangan sosial dan merugikan rakyat. Pada titik inilah
pengarang mampu mengungkapkan masalah kehidupan sosial masyarakat.
“GUNARTO (cepat), Ayah kandung? Memang
Gunarto yang dulu pernah punya Ayah, tapi dia sudah meninggal dunia dua puluh
tahun yang lalu. Dan Gunarto yang sekarang adalah Gunarto yang dibentuk oleh
Gunarto sendiri! aku tidak pernah berhutang budi kepada siapapun diatas dunia
ini. Aku merdeka, semerdeka merdekanya, Bu! SUARA BEDUG DAN TAKBIR
BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI SUARA TANGIS IBU DAN MINTARSIH.”
“R. SALEH (diantara batuknya), Aku
memang berdosa dulu itu. Aku mengaku. Dan itulah sebabnya aku kembali pada hari
ini. Pada hari tuaku untuk memperbaiki kesalahan dan dosaku. Tapi ternyata
sekarang.... yah, benar katamu Narto. Aku seorang tua dan aku tidak bermaksud
untuk mendorong-dorongkan diri agar diterima dimana tempat yang aku tidak
dikehendaki. (Berfikir,sementara maimun tertunduk diam dan mintarsih menangis
dipelukan ibunya) Baiklah aku akan pergi. Tapi tahukah kau Narto, bagaimana
sedih rasa hatiku. Aku yang pernah dihormati, orang kaya yang memiliki uang
berjuta-juta banyaknya, sekarang diusir sebagai pengemis oleh seorang anak
kandungnya sendiri.... tapi biarlah sedalam apapun aku terjerumus kedalam
kesengsaraan, aku tidak akan mengganggu kalian lagi.
(BERDIRI HENDAK PERGI, TETAP BATUK-BATUK)”
Kutipan
di atas menunjukkan bahwa kekuasan yang cenderung otoriter akan mendapatkan
perlawanan dari rakyat (yang dikuasai). Perlawanan rakyat adalah berbentuk verbal. Hal ini sebagaimana yang
ditunjukkan Mintarsih sebagai representasi tokoh perempuan kelas bawah yang membantah
Maimun, representasi kelas atas. Jika dilihat perspektif lebih umum maka,
sastra dalam hal ini naskah drama Ayahku Pulang
tidak sekadar menjadi potret pertentangan antar kelas sosial, tetapi naskah
drama ikut membangun ideologi sosial ekonomi dalam masyarakat. Pada konteks
ini, uraian teori sastra Marx mampu menjangkau wilayah fungsi sosial sastra,
yaitu bagaimana sastra mempengaruhi bahkan membentuk ideologi sosial yang ada
dalam masyarakat. Di sinilah pengarang (Umar Ismail) mampu memperjuangkan
ideologi, khususnya dalam memperjuangkan ideologi-ideologi kelas bawah (rakyat)
melaui tokoh Raden Saleh untuk melawan kelas atas (penguasa).
Simpulan
Dari
tiga subbab analisis tersebut dalam naskah drama Ayahku Pulang karya Umar Ismail dengan menggunakan perspektif atau teori
sosiologi Marx, dapat ditarik simpulan sebagai berikut. Pertama, Umar Ismail
sebagai pengarang melalui karyanya ingin menunjukkan kepada dunia terkait
problem kesenjangan sosial yang ada dalam kelaurga dengan latar pemerintahan
desa. Kedua, ideologi yang dibawa pengarang dalam tersebut adalah
ideologi kelas dan perlawanan kelas bawah (rakyat) terhadap kelas atas
(penguasa). Kelas atas direpresentasikan tokoh Gunarto. Pembagian atau
pelabelan kelas didasarkan pada status sosial yang diemban; sebagai penguasa.
Sedangkan kelas bawah, direpresentasikan tokoh Raden Saleh dan keluarga lainnya,
sebagai rakyat miskin. Ketiga, posisi pengarang lebih condong pada kelas bawah
yang berusaha memperjuangkan hak-hak yang dimilikinya dan melawan
kesewenang-wenangan penguasa. Perjuangan dan perlawanan kelas bawah pada
akhirnya berhasil menumbangkan kelas atas.
Daftar Pustaka
Damono. 2009. Sosiologi
Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum.
Fiske, John. 1996.
“British Cultural Studies and Television”, dalam John Storey (ed). What is
Cultural Studies?: A Reader. London: Arnold.
Kurniawan, Heru. 2011.
Sosiologi Sastra: Teori, Metode, dan Aplikasi. Purwokerto: Graha Ilmu.
Sayfullan,
K., & Marxisme, K. (1996). No Title. 11(2), 10–19.
Salam, Aprinus. “Sastra
Terjemahan”, dalam http://ugm.academia.edu/. Diakses pada 26 Desember 2019
pukul 23.01 WIB.
Sayfullan,
K., & Marxisme, K. (1996). No Title. 11(2), 10–19.
Ayahku Pulang Karya Usmar Ismail
Umar Ismail
Pemain
1. RADEN SALEH Ayah.
1. RADEN SALEH Ayah.
2. T I N A Ibu /
Isteri Raden Saleh.
3. GUNARTO Anak
laki-laki tertua Raden Saleh dan Tina.
4. MAIMUN Adik
laki-laki Gunarto / anak kedua Raden Saleh dan Tina.
5. MINTARSIH Adik
perempuan Gunarto dan Maimun / anak bungsu Raden Saleh dan Tina.
PANGGUNG MENGGAMBARKAN
SEBUA H RUANGAN DALAM DARI SEBUAH RUMAH YANG SANGAT SEDERHANA DENGAN SEBUAH
JENDELA AGAK TUA. DIKIRI KANAN RUANGAN TERDAPAT PINTU. DISEBELAH KIRI RUANGAN
TERDAPAT SATU SET KURSI DAN MEJA YANG AGAK TUA, DISEBELAH KANAN TERDAPAT SEBUAH
MEJA MAKAN KECIL DENGAN EMPAT BUAH KURSINYA, TAMPAK CANGKIR TEH, KUE-KUE DAN
PERALATAN LAINNYA DIATAS MEJA. SUARA ADZAN DI LATAR BELAKANG MENUNJUKKAN SAAT BERBUKA
PUASA.
SEBELUM LAYAR DIANGKAT
SEBAIKNYA TERLEBIH DAHULU SUDAH TERDENGAR SUARA BEDUK BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI
SUARA TAKBIR BEBERAPA KALI SEBAGAI TANDA KALAU ESOK ADALAH HARI RAYA IDUL
FITRI. SUARA BEDUG DAN TAKBIR SEBAIKNYA TERUS TERDENGAR DARI MULAI LAYAR
DIANGKAT/SANDIWARA DIMULAI SAMPAI AKHIR PERTUNJUKKAN INI. KETIKA SANDIWARA
DIMULAI/LAYAR PANGGUNG DIANGKAT, TAMPAK IBU SEDANG DUDUK DIKURSI DEKAT JENDELA.
EKSPRESINYA KELIHATAN SEDIH DAN HARU MENDENGAR SUARA BEDUK DAN TAKBIRAN YANG
BERSAHUT-SAHUTAN ITU. KEMUDIAN MASUK KEPANGGUNG GUNARTO.
GUNARTO (Memandang
Ibu Lalu Bicara Dengan Suara Sesal)
Ibu masih berfikir
lagi...
I B U (Bicara
Tanpa Melihat Gunarto)
Malam Hari Raya Narto.
Dengarlah suara bedug itu bersahut-sahutan.
(Gunarto Lalu Bergerak
Mendekati Pintu)
Pada malam hari raya
seperti inilah Ayahmu pergi dengan tidak meninggalkan sepatah katapun.
GUNARTO (Agak
Kesal)
Ayah......
I B U
Keesokan harinya Hari
Raya, selesai shollat ku ampuni dosanya...
GUNARTO
Kenapa masih Ibu ingat
lagi masa yang lampau itu? Mengingat orang yang sudah tidak ingat lagi kepada
kita?
I B U (Memandang
Gunarto)
Aku merasa bahwa ia
masih ingat kepada kita.
GUNARTO (Bergerak
Ke Meja Makan)
Mintarsih kemana, Bu?
I B U
Mintarsih keluar tadi
mengantarkan jahitan, Narto.
GUNARTO (Heran)
Mintarsih masih juga
mengambil upah jahitan, Bu? Bukankah seharusnya ia tidak usah lagi membanting
tulang sekarang?
I B U
Biarlah Narto. Karena
kalau ia sudah kawin nanti, kepandaiannya itu tidak sia-sia nanti.
GUNARTO (Bergerak
Mendekati Ibu,Lalu Bicara Dengan Lembut)
Sebenarnya Ibu mau
mengatakan kalau penghasilanku tidak cukup untuk membiayai makan kita
sekeluarga kan, Bu? (Diam Sejenak. Pause) Bagaimana dengan
lamaran itu, Bu?
I B U
Mintarsih nampaknya
belum mau bersuami, Narto..Tapi dari fihak orang tua anak lelaki itu terus
mendesak Ibu saja..
GUNARTO
Apa salahnya, Bu?
Mereka uangnya banyak!
I B U
Ah... uang, Narto??
GUNARTO (Sadar
Karena Tadi Berbicara Salah)
Maaf Bu... bukan
maksud aku mau menjual adik sendiri..
(Lalu Bicara Dengan
Dirinya Sendiri)
Ah... aku jadi mata
duitan.... yah mungkin karena hidup yang penuh penderitaan ini...
I B U (Menerawang)
Ayahmu seorang
hartawan yang mempunyai tanah dan kekayaan yang sangat banyak, mewah diwaktu
kami kawin dulu. Tetapi kemudian... seperti pokok yang ditiup angin
kencang...buahnya gugur..karena......
(Suasana Sejenak
Hening, Penuh Tekanan Bathin, Suara Ibu Lemah Tertekan)
Uang Narto! Tidak
Narto, tidak...aku tidak mau terkena dua kali, aku tidak mau adikmu bersuamikan
seorang Hartawan, tidak...cukuplah aku saja sendiri. biarlah ia hidup sederhana
Mintarsih mestilah bersuamikan orang yang berbudi tinggi, mesti, mesti...
GUNARTO (Coba
Menghibur Ibu)
Tapi kalau bisa
kedua-duanya sekaligus,Bu? Ada harta ada budi.
I B U
Dimanalah dicari,Narto? Adik kau Mintarsih hanyalah seorang gadis biasa. Apalagi sekarang ini keadaan kita susah? Kita tidak punya uang dirumah? Sebentar hari lagi uang simpananku yang terakhirpun akan habis pula.
GUNARTO (Diam Berfikir, Kemudian Kesal)
Semua ini adalah karena ulah Ayah! Hingga Mintarsih harus menderita pula! Sejak kecil Mintarsih sudah merasakan pahit getirnya kehidupan. Tapi kita harus mengatasi kesulitan ini,Bu! Harus! Ini kewajibanku sebagai abangnya, aku harus lebih keras lagi berusaha!
(Hening Sejenak Pause. Lalu Bicara Kepada Dirinya Sendiri)
Kalau saja aku punya uang sejuta saja....
I B U
Buat perkawinan Mintarsih, lima ratus ribu rupiah saja sudah cukup,Narto.
(Ibu Coba Tersenyum)
Sesudah Mintarsih nanti, datanglah giliranmu Narto...
GUNARTO (Kaget)
Aku kawin,Bu?? Belum bisa aku memikirkan kesenangan untuk diriku sendiri sekarang ini, Bu. Sebelum saudara-saudaraku senang dan Ibu ikut mengecap kebahagiaan atas jerih payahku nanti Bu.
SUARA BEDUG DAN TAKBIR TERDENGAR LEBIH KERAS SEDIKIT.
I B U
Aku sudah merasa bahagia kalau kau bahagia, Narto. Karena nasibku bersuami tidak baik benar.
(Kembali Fikirannya Menerawang)
Dan kata orang bahagia itu akan turun kepada anaknya.
(Pause Lalu Terdengar Suara Bedug Takbir Lebih Keras Lagi. Ibu Mulai Bicara Lagi)
Malam hari raya sewaktu ia pergi itu, tak tahu aku apa yang mesti aku kerjakan? Tetapi ....
(KEMBALI SEDIH DAN HARU)
GUNARTO (Tampak Kesal Lalu Mengalihkan Pembicaraan)
Maimun lambat benar pulang hari ini, Bu?
I B U
Barangkali banyak yang harus dikerjakannya? Karena katanya mungkin bulan depan dia naik gaji.
GUNARTO
Betul bu itu? Maimun memang pintar, otaknya encer. Tapi karena kita tak punya uang kita tak bisa membiayai sekolahnya lebih lanjut lagi. Tapi kalau ia mau bekerja keras, tentu ia akan menjadi orang yang berharga di masyarakat!
I B U (Agak Mengoda)
Narto...siapa gadis yang sering ku lihat bersepeda bersamamu?
GUNARTO (Kaget. Gugup)
Ah...dia itu cuma teman sekerja, Bu.
I B U
Tapi Ibu rasa pantas sekali dia buat kau, Narto. Meskipun Ibu rasa dia bukanlah orang yang rendah seperti kita derajatnya. Tapi kalau kau suka ....
GUNARTO (Memotong Bicara Ibu)
Ah... buat apa memikirkan kawin sekarang, Bu? Mungkin kalau sepuluh tahun lagi nanti kalau sudah beres.
I B U
Tapi kalau Mintarsih nanti sudah kawin, kau mesti juga Narto? Kau kan lebih tua.
(Diam Sebentar Lalu Terkenang)
Waktu Ayahmu pergi pada malam hari raya itu... ku peluk kalian anak-anakku semuanya.. hilang akalku....
GUNARTO
Sudahlah Bu. Buat apa mengulang kaji lama?
MASUK MAIMUN. DIA TAMPAK KELIHATAN SENANG.
MAIMUN (Setelah Meletakkan Tas Kerjanya Lalu Bicara)
Lama menunggu, Bu? Bang?
GUNARTO
Ah tidak...
I B U
Agak lambat hari ini, Mun? Dimana kau berbuka puasa tadi?
MAIMUN
Kerja lembur, Bu. Tadi aku berbuka puasa bersama teman dikantor. Tapi biarlah, buat perkawinan Mintarsih nanti. Eh, mana dia Bu?
I B U
Mengantarkan jahitan..
MAIMUN (Menghampiri Gunarto Lalu Duduk Disebelahnya)
Bang, ada kabar aneh, nih! Tadi pagi aku berjumpa dengan seorang tua yang serupa benar dengan Ayah?
GUNARTO (Tampak Tak Terlalu Mendengarkan)
Oh, begitu?
MAIMUN
Waktu Pak Tirto berbelanja disentral, tiba-tiba ia berhadapan dengan seorang tua kira-kira berumur enam puluh tahun. Ia kaget juga?! Karena orang tua itu seperti yang pernah dikenalnya? Katanya orang tua itu serupa benar dengan Raden Saleh. Tapi kemudian orang itu menyingkirkan diri lalu menghilang dikerumunan orang banyak!
GUNARTO
Ah, tidak mungkin dia ada disini....
I B U (Setelah Diam Sebentar)
Aku kira juga dia sudah meninggal dunia atau keluar negeri. Sudah dua puluh tahun semenjak dia pergi pada malam hari raya seperti ini.
MAIMUN
Ada orang mengatakan dia ada Singapur, Bu?
I B U
Tapi itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu kata orang dia mempunyai toko yang sangat besar disana. Dan kata orang juga yang pernah melihat, hidupnya sangat mewah.
GUNARTO (Kesal)
Ya! Tapi anaknya makan lumpur!
I B U (Seperti Tidak Mendengar Gunarto)
Tapi kemudian tak ada lagi sama sekali kabar apapun tentang Ayahmu. Apalagi sesudah perang sekarang ini, dimana kita dapat bertanya?
MAIMUN
Bagaimana rupa Ayah yang sebenarnya, Bu?
I B U
Waktu ia masih muda, ia tak suka belajar. Tidak seperti kau. Ia lebih suka berfoya-foya. Ayahmu pada masa itu sangat disegani orang. Ia suka meminjamkan uang kesana kemari. Dan itulah....
GUNARTO (Kesal Lalu Mengalihkan Pembicaraan)
Selama hari raya ini berapa hari kau libur, Mun?
MAIMUN
Dua hari, Bang.
I B U
Oh ya! Hampir lupa masih ada makanan yang belum Ibu taruh dimeja.
(IBU LALU MASUK KEDALAM)
GUNARTO (Setelah Diam Sebentar)
Pak Tirto bertemu dengan orang tua itu kapan, Mun?
MAIMUN
Kemarin sore, Bang. Kira-kira jam setengah tujuh.
GUNARTO
Bagaimana pakaiannya?
MAIMUN
Tak begitu bagus lagi katanya. Pakaiannya sudah compang-camping dan kopiahnya sudah hampir putih.
GUNARTO (Acuh Saja)
Oh begitu?
MAIMUN
Kau masih ingat rupa Ayah, Bang?
GUNARTO (Cepat)
Tidak ingat lagi aku.
MAIMUN
Semestinya abang ingat, karena umur abang waktu itu sudah delapan tahun. Sedangkan aku saja masih ingat, walaupun samar-samar.
MAIMUN (Agak Kesal)
Tidak ingat lagi aku. Sudah lama aku paksa diriku untuk melupakannya.
MAIMUN (Terus Bicara)
Pak Tirto banyak cari tanya tentang Ayah.
IBU KELUAR KEMBALI MEMBAWA MAKANAN LALU BERGABUNG LAGI DENGAN MEREKA.
I B U
Ya, kata orang Ayahmu seorang yang baik hati. (MENERAWANG) Jika ia berada disini sekarang dirumah ini, besok hari raya, tentu ia bisa bersenang-senang dengan anak-anaknya...
GUNARTO (Mengalihkan Pembicaraan)
Eh, Mintarsih seharusnya sudah pulang sekarang.. jam berapa sekarang ini?
MAIMUN
Bang Narto. Ada kabar aneh lagi nih! Tadi pagi aku berkenalan dengan orang India. Dia mengajarkan aku bahasa Urdu, dan aku memberikan pelajaran bahasa Indonesia kepada dia!
GUNARTO
Baguslah itu. Kau memang harus mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya. Supaya nanti kau dapat banggakan kalau kau bisa jadi orang yang sangat berguna bagi masyarakat! Jangan seperti aku ini, hanya lulusan sekolah rendah. Aku tidak pernah merasakan atau bisa lebih tinggi lagi, karena aku tidak punya Ayah. Tidak ada orang yang mau membantu aku. Tapi kau Maimun, yang sekolah cukup tinggi, bekerjalah sekuat tenagamu! Aku percaya kau pasti bisa memenuhi tuntutan zaman sekarang ini!
MASUK MINTARSIH SEORANG ANAK GADIS YANG TAMPAK RIANG. IA MEMBAWA SESUATU YANG TAMPAKNYA UNTUK KEPERLUAN HARI RAYA BESOK.
MINTARSIH
Ah.... sudah berbuka puasa semuanya?
I B U
Tadi kami menunggu kau, tapi lama benar?
(Mintarsih Bergerak Mendekati Jendela Lalu Melongokkan Kepalanya Melihat Keluar)
Makanlah. Apa yang kau lihat diluar?
MINTARSIH
Waktu saya lewat disitu tadi...
(Menoleh Melihat Gunarto Yang Tampak Acuh Saja)
Bang Narto... dengarlah dulu..
GUNARTO (Tenang)
Ya, aku dengar.
MINTARSIH
Ada orang tua diujung jalan ini. Dari jembatan sana melihat-lihat kearah rumah kita. Nampaknya seperti seorang pengemis.
(Semua DiaM)
Yah... kenapa semua jadi diam?
GUNARTO TERTUNDUK MEMBISU
MAIMUN (Dengan Cepat)
Orang tua?? bagaimana rupanya?
MINTARSIH
Hari agak gelap. Jadi tidak begitu jelas kelihatannya... tapi orangnya....
TINGGI ATAU PENDEK TERGANTUNG PEMERAN. SUARA BEDUG AGAK KERAS TERDENGAR.
MAIMUN (Bangkit Dari Duduknya Lalu Melihat Ke Jendela)
Coba ku lihat!
KEMUDIAN MAIMUN KELUAR TAK LAMA MASUK KEMBALI, LALU MELONGOKKAN KEPALANYA KE JENDELA LAGI
GUNARTO (Menoleh Sedikit Kepada Maimun)
Siapa Mun?
MAIMUN
Tak ada orang kelihatannya?!
DUDUK KEMBALI
I B U (tampak sedih)
Malam hari raya seperti ini ia berlalu dulu itu...
(Terkenang)
Mungkin ....
GUNARTO (agak kesal)
Ah Bu, lupakan sajalah apa yang sudah berlalu itu.
SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN TERDENGAR AGAK JELAS KETIKA SUASANA HENING, SAMBIL MENUNGGU DIALOG.
I B U
Waktu kami masih sama-sama muda, kami sangat berkasih-kasihan. Sejelek-jelek Ayahmu, banyak juga kenangan-kenangan di masa itu yang tak dapat Ibu lupakan. Nak, mungkin ia kembali juga?
SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN MAKIN SAYUP-SAYUP LALU TERDENGAR SUARA ORANG MEMBERI SALAM DARI PINTU LUAR.
R. SALEH
Assalamualaikum, assalamualaikum... apa disini rumahnya Nyonya Saleh?
I B U
Astagfirullah! Seperti suara Ayahmu, nak? Ayahmu pulang, nak!
IBU BERGERAK MENDEKATI PINTU RUMAH LALU MEMBUKA PINTU LEBIH LEBAR. DAN NAMPAK RADEN SALEH BERDIRI DIHADAPANNYA. SUASANA JADI HENING TIBA-TIBA. HANYA TERDENGAR SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN YANG SAYUP-SAYUP NAMUN JELAS TERDENGAR.
R. SALEH (setelah lama berpandangan)
Tina? Engkau Tina??
I B U (agak gugup)
Saleh? Engkau Saleh?? Engkau banyak berubah, Saleh.
R. SALEH (tersenyum malu)
Ya. Ya aku berubah, Tina. Dua puluh tahun perceraian merubah wajahku.
(KEMUDIAN MEMANDANGI ANAK-ANAKNYA SATU PERSATU)
Dan ini tentunya anak-anak kita semua?
I B U
Ya, memang ini adalah anak-anakmu semua. Sudah lebih besar dari Ayahnya. Mari duduk, dan pandangilah mereka...
R. SALEH (ragu)
Apa? Aku boleh duduk, Tina?
MINTARSIH MENARIK KURSI UNTUK MEMPERSILAHKAN RADEN SALEH DUDUK.
I B U
Tentu saja boleh. Mari....
(Menuntun raden saleh sampai ke kursi)
Ayahmu pulang, Nak.
MAIMUN (gembira lalu berlutut dihadapan raden saleh)
Ayah, aku Maimun.
R. SALEH
Maimun? Engkau sudah besar sekarang, Nak. Waktu aku pergi dulu, engkau masih kecil sekali. Kakimu masih lemah, belum dapat berdiri.
(Diam sebentar lalu melihat mintarsih)
Dan Nona ini, siapa?
MINTARSIH
Saya Mintarsih, Ayah.
(LALU MENCIUM TANGAN AYAHNYA)
R. SALEH
Ya, ya... Mintarsih. Aku dengardari jauh bahwa aku mendapat seorang anak lagi. Seorang putri.
(Memandang wajah mintarsih)
Engkau cantik, Mintarsih. Seperti Ibumu dimasa muda.
(Ibu tersipu malu)
Aku senang sekali. Tak tahu apa yang harus ku lakukan?
I B U
Aku sendiri tidak tahu dimana aku harus memulai berbicara? Anak-anak semuanya sudah besar seperti ini. Aku kira inilah bahagia yang paling besar.
R. SALEH (tersenyum pahit)
Ya, rupanya anak-anak dapat juga besar walaupun tidak dengan Ayahnya.
I B U
Mereka semua sudah jadi orang pandai sekarang. Gunarto bekerja diperusahaan tenun. Dan Maimun tak pernah tinggal kelas selama bersekolah. Tiap kali keluar sebagai yang pertama dalam ujian. Sekarang mereka sudah mempunyai penghasilan masing-masing. Dan Mintarsih dia ini membantu aku menjahit.
MINTARSIH (malu)
Ah, Ibu.
R. SALEH (sambil batuk-batuk)
Sepuluh tahun aku menjadi seorang saudagar besar disingapur. Aku menjadi kepala perusahaan dengan pegawai berpuluh-puluh orang. Tapi malang bagiku, toko itu habis terbakar. Lalu seolah-olah seperti masih belum puas menyeret aku kelembah kehancuran, saham-saham yang ku beli merosot semua nilainya sehabis perang ini. Sesudah itu semua segala yang kukerjakan tak ada lagi yang sempurna. Sementara aku sudah mulai tua. lalu tempat tinggalku, keluargaku, anak isteriku tergambar kembali didepan mata dan jiwaku. Kalian seperti mengharapkan kasihku.
(Batuk-batuk. Lalu memandang gunarto)
Maukah engkau memberikan air segelas buat ku Gunarto? Hanya engkau yang tidak....
I B U (gelisah serba salah)
Narto, Ayahmu yang berbicara itu. Mestinya engkau gembira, nak. Sudah semestinya Ayah berjumpa kembali dengan anak-anaknya yang sudah sekian lama tidak bertemu.
R. SALEH
Kalau Narto tak mau, engkaulah Maimun. Maukah kau memberikan Ayah air segelas?
MAIMUN
Baik, Ayah.
MAIMUN BERGERAK HENDAK MENGAMBILKAN AIR MINUM, TAPI NIATNYA TERHENTI OLEH TEGURAN KERAS GUNARTO.
GUNARTO
Maimun! Kapan kau mempunyai seorang Ayah!
I B U
Gunarto!
(SEDIH, GELISAH DAN MULAI MENANGIS)
GUNARTO (bicara perlahan tapi pahit)
Kami tidak mempunyai Ayah, Bu. Kapan kami mempunyai seorang Ayah?
I B U (agak keras tapi tertahan)
Gunarto! Apa katamu itu!
GUNARTO
Kami tidak mempunyai seorang Ayah kataku. Kalau kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya kami membanting tulang selama ini? Jadi budak orang! Waktu aku berumur delapan tahun, aku dan Ibu hampir saja terjun kedalam laut, untung Ibu cepat sadar. Dan jika kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya aku menjadi anak suruhan waktu aku berumur sepuluh tahun? Kami tidak mempunyai seorang Ayah. Kami besar dalam keadaan sengsara. Rasa gembira didalam hati sedikitpun tidak ada. Dan kau Maimun,. Lupakah engkau waktu menangis disekolah rendah dulu? Karena kau tidak bisa membeli kelereng seperti kawan-kawanmu yang lain. Dan kau pergi kesekolah dengan pakaian yang sudah robek dan tambalan sana-sini? Itu semua terjadi karena kita tidak mempunyai seorang Ayah! Kalau kita punya seorang Ayah, lalu kenapa hidup kita melarat selama ini!
IBU DAN MINTARSIH MULAI MENANGIS DAN MAIMUN MERASA SEDIH.
MAIMUN
Tapi bang, Narto. Ibu saja sudah memaafkannya. Kenapa kita tidak?
GUNARTO (sikapnya dingin, namun keras)
Ibu seorang perempuan. Waktu aku kecil dulu, aku pernah menangis dipangkuan Ibu karena lapar, dingin dan penyakitan, dan Ibu selalu bilang “Ini semua adalah kesalahan Ayahmu, Ayahmu yang harus disalahkan.” Lalu kemudian aku jadi budak suruhan orang! Dan Ibu jadi babu mencuci pakaian kotor orang lain! Tapi aku berusaha bekerja sekuat tenagaku! Aku buktikan kalau aku dapat memberi makan keluargaku! Aku berteriak kepada dunia, aku tidak butuh pertolongan orang lain!
Yah.. orang yang meninggalkan anak dan isterinya dalam keadaan sengsara. Tapi aku sanggup menjadi orang yang berharga, meskipun aku tidak mengenal kasih sayang seorarng ayah! Waktu aku berumur delapan belas tahun, tak lain yang selalu terbayang dan terlihat diruang mataku hanya gambaran Ayahku yang telah sesat! Ia melarikan diri dengan seorang perempuan asing yang lalu menyeretnya kedalam lembah kedurjanaan! Lupa ia kepada anak dan isterinya! Juga lupa ia kepada kewajibannya karena nafsunya telah membawanya kepintu neraka! Hutangnya yang ditinggalkan kepada kita bertimbun-timbun! Sampai-sampai buku tabunganku yang disimpan oleh Ibu ikut hilang juga bersama Ayah yang minggat itu! Yah, masa kecil kita sungguh-sungguh sangat tersiksa. Maka jika memang kita mempunyai Ayah, maka Ayah itulah musuhku yang sebesar-besarnya!!
I B U
Gunarto!
(MINTARSIH DAN IBU MENANGIS)
MAIMUN
Bang!
MINTARSIH
Bang!
(KALAU MUNGKIN DIALOG MEREKA BERTIGA TADI DIUCAPKAN BERBARENGAN)
MAIMUN (dengan suara agak sedih)
Tapi, Bang. Lihat Ayah sudah seperti ini sekarang. Ia sudah tua bang Narto.
GUNARTO
Maimun, sering benar kau ucapkan kalimat “Ayah” kepada orang yang tidak berarti ini? Cuma karena ada seorang tua yang masuk kerumah ini dan ia mengatakan kalau ia Ayah kita, lalu kau sebut pula ia Ayah kita? Padahal dia tidak kita kenal. Sama sekali tidak Maimun. Coba kau perhatikan apakah kau benar-benar bisa merasakan kalau kau sedang berhadapan dengan Ayah mu?
MAIMUN
Bang Narto, kita adalah darah dagingnya. Bagaimanapun buruknya kelakuan dia kita tetap anaknya yang harus merawatnya.
GUNARTO
Jadi maksudmu ini adalah kewajiban kita? Sesudah ia melepaskan hawa nafsunya dimana-mana, lalu sekarang ia kembali lagi kesini karena sudah tua dan kita harus memeliharanya? Huh, enak betul!
I B U (bingung, serba-salah)
Gunarto, sampai hati benar kau berkata begitu terhadap Ayahmu. Ayah kandungmu.
GUNARTO (cepat)
Ayah kandung? Memang Gunarto yang dulu pernah punya Ayah, tapi dia sudah meninggal dunia dua puluh tahun yang lalu. Dan Gunarto yang sekarang adalah Gunarto yang dibentuk oleh Gunarto sendiri! aku tidak pernah berhutang budi kepada siapapun diatas dunia ini. Aku merdeka, semerdeka merdekanya, Bu!
SUARA BEDUG DAN TAKBIR BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI SUARA TANGIS IBU DAN MINTARSIH.
R. SALEH (diantara batuknya)
Aku memang berdosa dulu itu. Aku mengaku. Dan itulah sebabnya aku kembali pada hari ini. Pada hari tuaku untuk memperbaiki kesalahan dan dosaku. Tapi ternyata sekarang.... yah, benar katamu Narto. Aku seorang tua dan aku tidak bermaksud untuk mendorong-dorongkan diri agar diterima dimana tempat yang aku tidak dikehendaki.
(Berfikir,sementara maimun tertunduk diam dan mintarsih menangis dipelukan ibunya)
Baiklah aku akan pergi. Tapi tahukah kau Narto, bagaimana sedih rasa hatiku. Aku yang pernah dihormati, orang kaya yang memiliki uang berjuta-juta banyaknya, sekarang diusir sebagai pengemis oleh seorang anak kandungnya sendiri.... tapi biarlah sedalam apapun aku terjerumus kedalam kesengsaraan, aku tidak akan mengganggu kalian lagi.
(BERDIRI HENDAK PERGI, TETAP BATUK-BATUK)
MAIMUN (menahan)
Tunggu dulu, Ayah! Jika Bang Narto tidak mau menerima Ayah, akulah yang menerima Ayah. Aku tidak perduli apa yang terjadi!
GUNARTO
Maimun! Apa pernah kau menerima pertolongan dari orang tua seperti ini? Aku pernah menerima tamparan dan tendangan juga pukulan dari dia dulu! Tapi sebiji djarahpun, tak pernah aku menerima apa-apa dari dia!
MAIMUN
Jangan begitu keras, Bang Narto.
GUNARTO (marah, dengan cepat)
Jangan kau membela dia! Ingat, siapa yang membesarkan kau! Kau lupa! Akulah yang membiayaimu selama ini dari penghasilanku sebagai kuli dan kacung suruhan! Ayahmu yang sebenar-benarnya adalah aku!
MINTARSIH
Engkau menyakiti hati Ibu, Bang.
(SAMBIL TERSEDU-SEDU)
GUNARTO
Kau ikut pula membela-bela dia! Sedangkan untuk kau, aku juga yang bertindak menjadi Ayahmu selama ini! Baiklah, peliharalah orang itu jika memang kalian cinta kepadanya! Mungkin kau tidak merasakan dulu pahit getirnya hidup karena kita tidak punya seorang Ayah. Tapi sudahlah, demi kebahagiaan saudara-saudaraku, jangan sampai menderita seperti aku ini.
IBU DAN MINTARSIH TERUS MENANGIS. SEMENTARA MAIMUN DIAM KAKU. SUARA BEDUG DAN TAKBIR TERUS BERSAHUT-SAHUTAN. LALU TERDENGAR SUARA GEMURUH PETIR DAN HUJANPUN TURUN.
R. SALEH
Aku mengerti... bagiku tidak ada jalan untuk kembali. Jika aku kembali aku hanya mengganggu kedamaian dan kebahagiaan anakku saja. Biarlah aku pergi. Inilah jalan yang terbaik. Tidak ada jalan untuk kembali.
RADEN SALEH BERGERAK PERLAHAN SAMBIL BATUK-BATUK, SEMENTARA MAIMUN MENGIKUTI DARI BELAKANG.
MAIMUN
Ayah, apa Ayah punya uang? Ayah sudah makan?
MINTARSIH (dengan air mata tangisan)
Kemana Ayah akan pergi sekarang?
R. SALEH
Tepi jalan atau dalam sungai. Aku cuma seorang pengemis sekarang. Seharusnya memang aku malu untuk masuk kedalam rumah ini yang kutinggalkan dulu. Aku sudah tua lemah dan sadar, langkahku terayun kembali. Yah, sudah tiga hari aku berdiri didepan sana, tapi aku malu tak sanggup sebenarnya untuk masuk kesini. Aku sudah tua, dan ....
RADEN SALEH MEMANDANGI ANAK-ANAKNYA SATU PERSATU LALU KELUAR DENGAN PERLAHAN SAMBIL BATUK-BATUK. BERJALAN LEMAH DIIRINGI SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN YANG SAYUP-SAYUP MASIH TERDENGAR, SEMENTARA HUJAN MULAI TURUN DENGAN DERAS.
I B U (sambil menangis)
Malam hari raya dia pergi dan datang untuk pergi kembali. Seperti gelombang yang dimainkan oleh angin topan. Demikianlah nasib Ibu, Nak.
MINTARSIH (sambil menangis menghampiri gunarto, lalu bergerak kedekat jendela)
Bang.... bagaimanakah Abang? Tidak dapatkah Abang memaafkan Ayah? Besok hari raya, sudah semestinya kita saling memaafkan. Abang tidak kasihan? Kemana dia akan pergi setua itu?
HUJAN SEMAKIN DERAS.
MAIMUN (kesal)
Tidak ada rasa belas kasihan. Tidak ada rasa tanggung jawab terhadap adik-adiknya yang tidak berAyah lagi.
MINTARSIH
Dalam hujan lebat seperti ini, Abang suruh dia pergi. Dia Ayah kita Bang. Ayah kita sendiri!
GUNARTO (memandang adiknya)
Janganlah kalian lihat aku sebagai terdakwa. Mengapa kalian menyalahkan aku saja? Aku sudah hilangkan semua rasa itu! Sekarang kalian harus pilih, dia atau aku!!
MAIMUN (tiba-tiba bangkit marahnya)
Tidak! Aku akan panggil kembali Ayahku pulang! Aku tidak perduli apa yang Abang mau lakukan? Kalau perlu bunuh saja aku kalau Abang mau! Aku akan panggil Ayahku! Ayahku pulang! Ayahku mesti pulang!
MAIMUN LARI KELUAR RUMAH. SEMENTARA HUJAN MAKIN LEBAT DIIRINGI SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN SAYUP-SAYUP TERDENGAR.
GUNARTO
Maimun kembali!
GUNARTO CEPAT HENDAK MENYUSUL MAIMUN TAPI TIDAK JADI LALU PERLAHAN-LAHAN DUDUK KEMBALI. IBU DAN MINTARSIH MENANGIS. SUASANA HENING SEJENAK HANYA TERDENGAR SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN SERTA GEMURUH HUJAN. TAK BERAPA LAMA TAMPAK MAIMUN MASUK KEMBALI. NAMUN IA HANYA MEMBAWA PAKAIAN DAN KOPIAH AYAHNYA SAJA. MAIMUN KELIHATAN MENANGIS.
MINTARSIH
Mana Ayah, Bang?
I B U
Mana Ayahmu?
MAIMUN
Tidak aku lihat. Hanya kopiah dan bajunya saja yang kudapati....
GUNARTO
Maimun, dimana kau dapatkan baju dan kopiah itu?
MAIMUN
Dibawah lampu dekat jembatan...
GUNARTO
Lalu Ayah? Bagaimana dengan Ayah? Dimana Ayah?
MAIMUN
Aku tidak tahu....
GUNARTO (kaget. Sadar)
Jadi, jadi Ayah meloncat kedalam sungai!!
I B U (menjerit)
Gunarto....!!!
GUNARTO (berbicara sendiri sambil memeggang pakaian dan kopiah ayahnya. Tampak menyesal)
Dia tak tahan menerima penghinaan dariku. Dia yang biasa dihormati orang, dan dia yang angkuh, yah, angkuh seperti diriku juga.... Ayahku. Aku telah membunuh Ayahku. Ayahku sendiri. Ayahku pulang, Ayahku pulang......
GUNARTO BERTERIAK MEMANGGIL-MANGGIL AYAHNYA LALU LARI KELUAR RUMAH DAN TERUS BERTERIAK-TERIAK SEPERTI ORANG GILA. IBU MINTARSIH DAN MAIMUN BERBARENGAN BERTERIAK MEMANGGIL GUNARTO “GUNARTO....!!” SUARA BEDUG BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI TAKBIR. SEMENTARA HUJAN MASIH SAJA TURUN DENGAN DERASNYA. LAMPU PANGGUNG PERLAHAN-LAHAN MATI LALU LAYAR TURUN.
I B U
Dimanalah dicari,Narto? Adik kau Mintarsih hanyalah seorang gadis biasa. Apalagi sekarang ini keadaan kita susah? Kita tidak punya uang dirumah? Sebentar hari lagi uang simpananku yang terakhirpun akan habis pula.
GUNARTO (Diam Berfikir, Kemudian Kesal)
Semua ini adalah karena ulah Ayah! Hingga Mintarsih harus menderita pula! Sejak kecil Mintarsih sudah merasakan pahit getirnya kehidupan. Tapi kita harus mengatasi kesulitan ini,Bu! Harus! Ini kewajibanku sebagai abangnya, aku harus lebih keras lagi berusaha!
(Hening Sejenak Pause. Lalu Bicara Kepada Dirinya Sendiri)
Kalau saja aku punya uang sejuta saja....
I B U
Buat perkawinan Mintarsih, lima ratus ribu rupiah saja sudah cukup,Narto.
(Ibu Coba Tersenyum)
Sesudah Mintarsih nanti, datanglah giliranmu Narto...
GUNARTO (Kaget)
Aku kawin,Bu?? Belum bisa aku memikirkan kesenangan untuk diriku sendiri sekarang ini, Bu. Sebelum saudara-saudaraku senang dan Ibu ikut mengecap kebahagiaan atas jerih payahku nanti Bu.
SUARA BEDUG DAN TAKBIR TERDENGAR LEBIH KERAS SEDIKIT.
I B U
Aku sudah merasa bahagia kalau kau bahagia, Narto. Karena nasibku bersuami tidak baik benar.
(Kembali Fikirannya Menerawang)
Dan kata orang bahagia itu akan turun kepada anaknya.
(Pause Lalu Terdengar Suara Bedug Takbir Lebih Keras Lagi. Ibu Mulai Bicara Lagi)
Malam hari raya sewaktu ia pergi itu, tak tahu aku apa yang mesti aku kerjakan? Tetapi ....
(KEMBALI SEDIH DAN HARU)
GUNARTO (Tampak Kesal Lalu Mengalihkan Pembicaraan)
Maimun lambat benar pulang hari ini, Bu?
I B U
Barangkali banyak yang harus dikerjakannya? Karena katanya mungkin bulan depan dia naik gaji.
GUNARTO
Betul bu itu? Maimun memang pintar, otaknya encer. Tapi karena kita tak punya uang kita tak bisa membiayai sekolahnya lebih lanjut lagi. Tapi kalau ia mau bekerja keras, tentu ia akan menjadi orang yang berharga di masyarakat!
I B U (Agak Mengoda)
Narto...siapa gadis yang sering ku lihat bersepeda bersamamu?
GUNARTO (Kaget. Gugup)
Ah...dia itu cuma teman sekerja, Bu.
I B U
Tapi Ibu rasa pantas sekali dia buat kau, Narto. Meskipun Ibu rasa dia bukanlah orang yang rendah seperti kita derajatnya. Tapi kalau kau suka ....
GUNARTO (Memotong Bicara Ibu)
Ah... buat apa memikirkan kawin sekarang, Bu? Mungkin kalau sepuluh tahun lagi nanti kalau sudah beres.
I B U
Tapi kalau Mintarsih nanti sudah kawin, kau mesti juga Narto? Kau kan lebih tua.
(Diam Sebentar Lalu Terkenang)
Waktu Ayahmu pergi pada malam hari raya itu... ku peluk kalian anak-anakku semuanya.. hilang akalku....
GUNARTO
Sudahlah Bu. Buat apa mengulang kaji lama?
MASUK MAIMUN. DIA TAMPAK KELIHATAN SENANG.
MAIMUN (Setelah Meletakkan Tas Kerjanya Lalu Bicara)
Lama menunggu, Bu? Bang?
GUNARTO
Ah tidak...
I B U
Agak lambat hari ini, Mun? Dimana kau berbuka puasa tadi?
MAIMUN
Kerja lembur, Bu. Tadi aku berbuka puasa bersama teman dikantor. Tapi biarlah, buat perkawinan Mintarsih nanti. Eh, mana dia Bu?
I B U
Mengantarkan jahitan..
MAIMUN (Menghampiri Gunarto Lalu Duduk Disebelahnya)
Bang, ada kabar aneh, nih! Tadi pagi aku berjumpa dengan seorang tua yang serupa benar dengan Ayah?
GUNARTO (Tampak Tak Terlalu Mendengarkan)
Oh, begitu?
MAIMUN
Waktu Pak Tirto berbelanja disentral, tiba-tiba ia berhadapan dengan seorang tua kira-kira berumur enam puluh tahun. Ia kaget juga?! Karena orang tua itu seperti yang pernah dikenalnya? Katanya orang tua itu serupa benar dengan Raden Saleh. Tapi kemudian orang itu menyingkirkan diri lalu menghilang dikerumunan orang banyak!
GUNARTO
Ah, tidak mungkin dia ada disini....
I B U (Setelah Diam Sebentar)
Aku kira juga dia sudah meninggal dunia atau keluar negeri. Sudah dua puluh tahun semenjak dia pergi pada malam hari raya seperti ini.
MAIMUN
Ada orang mengatakan dia ada Singapur, Bu?
I B U
Tapi itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu kata orang dia mempunyai toko yang sangat besar disana. Dan kata orang juga yang pernah melihat, hidupnya sangat mewah.
GUNARTO (Kesal)
Ya! Tapi anaknya makan lumpur!
I B U (Seperti Tidak Mendengar Gunarto)
Tapi kemudian tak ada lagi sama sekali kabar apapun tentang Ayahmu. Apalagi sesudah perang sekarang ini, dimana kita dapat bertanya?
MAIMUN
Bagaimana rupa Ayah yang sebenarnya, Bu?
I B U
Waktu ia masih muda, ia tak suka belajar. Tidak seperti kau. Ia lebih suka berfoya-foya. Ayahmu pada masa itu sangat disegani orang. Ia suka meminjamkan uang kesana kemari. Dan itulah....
GUNARTO (Kesal Lalu Mengalihkan Pembicaraan)
Selama hari raya ini berapa hari kau libur, Mun?
MAIMUN
Dua hari, Bang.
I B U
Oh ya! Hampir lupa masih ada makanan yang belum Ibu taruh dimeja.
(IBU LALU MASUK KEDALAM)
GUNARTO (Setelah Diam Sebentar)
Pak Tirto bertemu dengan orang tua itu kapan, Mun?
MAIMUN
Kemarin sore, Bang. Kira-kira jam setengah tujuh.
GUNARTO
Bagaimana pakaiannya?
MAIMUN
Tak begitu bagus lagi katanya. Pakaiannya sudah compang-camping dan kopiahnya sudah hampir putih.
GUNARTO (Acuh Saja)
Oh begitu?
MAIMUN
Kau masih ingat rupa Ayah, Bang?
GUNARTO (Cepat)
Tidak ingat lagi aku.
MAIMUN
Semestinya abang ingat, karena umur abang waktu itu sudah delapan tahun. Sedangkan aku saja masih ingat, walaupun samar-samar.
MAIMUN (Agak Kesal)
Tidak ingat lagi aku. Sudah lama aku paksa diriku untuk melupakannya.
MAIMUN (Terus Bicara)
Pak Tirto banyak cari tanya tentang Ayah.
IBU KELUAR KEMBALI MEMBAWA MAKANAN LALU BERGABUNG LAGI DENGAN MEREKA.
I B U
Ya, kata orang Ayahmu seorang yang baik hati. (MENERAWANG) Jika ia berada disini sekarang dirumah ini, besok hari raya, tentu ia bisa bersenang-senang dengan anak-anaknya...
GUNARTO (Mengalihkan Pembicaraan)
Eh, Mintarsih seharusnya sudah pulang sekarang.. jam berapa sekarang ini?
MAIMUN
Bang Narto. Ada kabar aneh lagi nih! Tadi pagi aku berkenalan dengan orang India. Dia mengajarkan aku bahasa Urdu, dan aku memberikan pelajaran bahasa Indonesia kepada dia!
GUNARTO
Baguslah itu. Kau memang harus mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya. Supaya nanti kau dapat banggakan kalau kau bisa jadi orang yang sangat berguna bagi masyarakat! Jangan seperti aku ini, hanya lulusan sekolah rendah. Aku tidak pernah merasakan atau bisa lebih tinggi lagi, karena aku tidak punya Ayah. Tidak ada orang yang mau membantu aku. Tapi kau Maimun, yang sekolah cukup tinggi, bekerjalah sekuat tenagamu! Aku percaya kau pasti bisa memenuhi tuntutan zaman sekarang ini!
MASUK MINTARSIH SEORANG ANAK GADIS YANG TAMPAK RIANG. IA MEMBAWA SESUATU YANG TAMPAKNYA UNTUK KEPERLUAN HARI RAYA BESOK.
MINTARSIH
Ah.... sudah berbuka puasa semuanya?
I B U
Tadi kami menunggu kau, tapi lama benar?
(Mintarsih Bergerak Mendekati Jendela Lalu Melongokkan Kepalanya Melihat Keluar)
Makanlah. Apa yang kau lihat diluar?
MINTARSIH
Waktu saya lewat disitu tadi...
(Menoleh Melihat Gunarto Yang Tampak Acuh Saja)
Bang Narto... dengarlah dulu..
GUNARTO (Tenang)
Ya, aku dengar.
MINTARSIH
Ada orang tua diujung jalan ini. Dari jembatan sana melihat-lihat kearah rumah kita. Nampaknya seperti seorang pengemis.
(Semua DiaM)
Yah... kenapa semua jadi diam?
GUNARTO TERTUNDUK MEMBISU
MAIMUN (Dengan Cepat)
Orang tua?? bagaimana rupanya?
MINTARSIH
Hari agak gelap. Jadi tidak begitu jelas kelihatannya... tapi orangnya....
TINGGI ATAU PENDEK TERGANTUNG PEMERAN. SUARA BEDUG AGAK KERAS TERDENGAR.
MAIMUN (Bangkit Dari Duduknya Lalu Melihat Ke Jendela)
Coba ku lihat!
KEMUDIAN MAIMUN KELUAR TAK LAMA MASUK KEMBALI, LALU MELONGOKKAN KEPALANYA KE JENDELA LAGI
GUNARTO (Menoleh Sedikit Kepada Maimun)
Siapa Mun?
MAIMUN
Tak ada orang kelihatannya?!
DUDUK KEMBALI
I B U (tampak sedih)
Malam hari raya seperti ini ia berlalu dulu itu...
(Terkenang)
Mungkin ....
GUNARTO (agak kesal)
Ah Bu, lupakan sajalah apa yang sudah berlalu itu.
SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN TERDENGAR AGAK JELAS KETIKA SUASANA HENING, SAMBIL MENUNGGU DIALOG.
I B U
Waktu kami masih sama-sama muda, kami sangat berkasih-kasihan. Sejelek-jelek Ayahmu, banyak juga kenangan-kenangan di masa itu yang tak dapat Ibu lupakan. Nak, mungkin ia kembali juga?
SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN MAKIN SAYUP-SAYUP LALU TERDENGAR SUARA ORANG MEMBERI SALAM DARI PINTU LUAR.
R. SALEH
Assalamualaikum, assalamualaikum... apa disini rumahnya Nyonya Saleh?
I B U
Astagfirullah! Seperti suara Ayahmu, nak? Ayahmu pulang, nak!
IBU BERGERAK MENDEKATI PINTU RUMAH LALU MEMBUKA PINTU LEBIH LEBAR. DAN NAMPAK RADEN SALEH BERDIRI DIHADAPANNYA. SUASANA JADI HENING TIBA-TIBA. HANYA TERDENGAR SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN YANG SAYUP-SAYUP NAMUN JELAS TERDENGAR.
R. SALEH (setelah lama berpandangan)
Tina? Engkau Tina??
I B U (agak gugup)
Saleh? Engkau Saleh?? Engkau banyak berubah, Saleh.
R. SALEH (tersenyum malu)
Ya. Ya aku berubah, Tina. Dua puluh tahun perceraian merubah wajahku.
(KEMUDIAN MEMANDANGI ANAK-ANAKNYA SATU PERSATU)
Dan ini tentunya anak-anak kita semua?
I B U
Ya, memang ini adalah anak-anakmu semua. Sudah lebih besar dari Ayahnya. Mari duduk, dan pandangilah mereka...
R. SALEH (ragu)
Apa? Aku boleh duduk, Tina?
MINTARSIH MENARIK KURSI UNTUK MEMPERSILAHKAN RADEN SALEH DUDUK.
I B U
Tentu saja boleh. Mari....
(Menuntun raden saleh sampai ke kursi)
Ayahmu pulang, Nak.
MAIMUN (gembira lalu berlutut dihadapan raden saleh)
Ayah, aku Maimun.
R. SALEH
Maimun? Engkau sudah besar sekarang, Nak. Waktu aku pergi dulu, engkau masih kecil sekali. Kakimu masih lemah, belum dapat berdiri.
(Diam sebentar lalu melihat mintarsih)
Dan Nona ini, siapa?
MINTARSIH
Saya Mintarsih, Ayah.
(LALU MENCIUM TANGAN AYAHNYA)
R. SALEH
Ya, ya... Mintarsih. Aku dengardari jauh bahwa aku mendapat seorang anak lagi. Seorang putri.
(Memandang wajah mintarsih)
Engkau cantik, Mintarsih. Seperti Ibumu dimasa muda.
(Ibu tersipu malu)
Aku senang sekali. Tak tahu apa yang harus ku lakukan?
I B U
Aku sendiri tidak tahu dimana aku harus memulai berbicara? Anak-anak semuanya sudah besar seperti ini. Aku kira inilah bahagia yang paling besar.
R. SALEH (tersenyum pahit)
Ya, rupanya anak-anak dapat juga besar walaupun tidak dengan Ayahnya.
I B U
Mereka semua sudah jadi orang pandai sekarang. Gunarto bekerja diperusahaan tenun. Dan Maimun tak pernah tinggal kelas selama bersekolah. Tiap kali keluar sebagai yang pertama dalam ujian. Sekarang mereka sudah mempunyai penghasilan masing-masing. Dan Mintarsih dia ini membantu aku menjahit.
MINTARSIH (malu)
Ah, Ibu.
R. SALEH (sambil batuk-batuk)
Sepuluh tahun aku menjadi seorang saudagar besar disingapur. Aku menjadi kepala perusahaan dengan pegawai berpuluh-puluh orang. Tapi malang bagiku, toko itu habis terbakar. Lalu seolah-olah seperti masih belum puas menyeret aku kelembah kehancuran, saham-saham yang ku beli merosot semua nilainya sehabis perang ini. Sesudah itu semua segala yang kukerjakan tak ada lagi yang sempurna. Sementara aku sudah mulai tua. lalu tempat tinggalku, keluargaku, anak isteriku tergambar kembali didepan mata dan jiwaku. Kalian seperti mengharapkan kasihku.
(Batuk-batuk. Lalu memandang gunarto)
Maukah engkau memberikan air segelas buat ku Gunarto? Hanya engkau yang tidak....
I B U (gelisah serba salah)
Narto, Ayahmu yang berbicara itu. Mestinya engkau gembira, nak. Sudah semestinya Ayah berjumpa kembali dengan anak-anaknya yang sudah sekian lama tidak bertemu.
R. SALEH
Kalau Narto tak mau, engkaulah Maimun. Maukah kau memberikan Ayah air segelas?
MAIMUN
Baik, Ayah.
MAIMUN BERGERAK HENDAK MENGAMBILKAN AIR MINUM, TAPI NIATNYA TERHENTI OLEH TEGURAN KERAS GUNARTO.
GUNARTO
Maimun! Kapan kau mempunyai seorang Ayah!
I B U
Gunarto!
(SEDIH, GELISAH DAN MULAI MENANGIS)
GUNARTO (bicara perlahan tapi pahit)
Kami tidak mempunyai Ayah, Bu. Kapan kami mempunyai seorang Ayah?
I B U (agak keras tapi tertahan)
Gunarto! Apa katamu itu!
GUNARTO
Kami tidak mempunyai seorang Ayah kataku. Kalau kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya kami membanting tulang selama ini? Jadi budak orang! Waktu aku berumur delapan tahun, aku dan Ibu hampir saja terjun kedalam laut, untung Ibu cepat sadar. Dan jika kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya aku menjadi anak suruhan waktu aku berumur sepuluh tahun? Kami tidak mempunyai seorang Ayah. Kami besar dalam keadaan sengsara. Rasa gembira didalam hati sedikitpun tidak ada. Dan kau Maimun,. Lupakah engkau waktu menangis disekolah rendah dulu? Karena kau tidak bisa membeli kelereng seperti kawan-kawanmu yang lain. Dan kau pergi kesekolah dengan pakaian yang sudah robek dan tambalan sana-sini? Itu semua terjadi karena kita tidak mempunyai seorang Ayah! Kalau kita punya seorang Ayah, lalu kenapa hidup kita melarat selama ini!
IBU DAN MINTARSIH MULAI MENANGIS DAN MAIMUN MERASA SEDIH.
MAIMUN
Tapi bang, Narto. Ibu saja sudah memaafkannya. Kenapa kita tidak?
GUNARTO (sikapnya dingin, namun keras)
Ibu seorang perempuan. Waktu aku kecil dulu, aku pernah menangis dipangkuan Ibu karena lapar, dingin dan penyakitan, dan Ibu selalu bilang “Ini semua adalah kesalahan Ayahmu, Ayahmu yang harus disalahkan.” Lalu kemudian aku jadi budak suruhan orang! Dan Ibu jadi babu mencuci pakaian kotor orang lain! Tapi aku berusaha bekerja sekuat tenagaku! Aku buktikan kalau aku dapat memberi makan keluargaku! Aku berteriak kepada dunia, aku tidak butuh pertolongan orang lain!
Yah.. orang yang meninggalkan anak dan isterinya dalam keadaan sengsara. Tapi aku sanggup menjadi orang yang berharga, meskipun aku tidak mengenal kasih sayang seorarng ayah! Waktu aku berumur delapan belas tahun, tak lain yang selalu terbayang dan terlihat diruang mataku hanya gambaran Ayahku yang telah sesat! Ia melarikan diri dengan seorang perempuan asing yang lalu menyeretnya kedalam lembah kedurjanaan! Lupa ia kepada anak dan isterinya! Juga lupa ia kepada kewajibannya karena nafsunya telah membawanya kepintu neraka! Hutangnya yang ditinggalkan kepada kita bertimbun-timbun! Sampai-sampai buku tabunganku yang disimpan oleh Ibu ikut hilang juga bersama Ayah yang minggat itu! Yah, masa kecil kita sungguh-sungguh sangat tersiksa. Maka jika memang kita mempunyai Ayah, maka Ayah itulah musuhku yang sebesar-besarnya!!
I B U
Gunarto!
(MINTARSIH DAN IBU MENANGIS)
MAIMUN
Bang!
MINTARSIH
Bang!
(KALAU MUNGKIN DIALOG MEREKA BERTIGA TADI DIUCAPKAN BERBARENGAN)
MAIMUN (dengan suara agak sedih)
Tapi, Bang. Lihat Ayah sudah seperti ini sekarang. Ia sudah tua bang Narto.
GUNARTO
Maimun, sering benar kau ucapkan kalimat “Ayah” kepada orang yang tidak berarti ini? Cuma karena ada seorang tua yang masuk kerumah ini dan ia mengatakan kalau ia Ayah kita, lalu kau sebut pula ia Ayah kita? Padahal dia tidak kita kenal. Sama sekali tidak Maimun. Coba kau perhatikan apakah kau benar-benar bisa merasakan kalau kau sedang berhadapan dengan Ayah mu?
MAIMUN
Bang Narto, kita adalah darah dagingnya. Bagaimanapun buruknya kelakuan dia kita tetap anaknya yang harus merawatnya.
GUNARTO
Jadi maksudmu ini adalah kewajiban kita? Sesudah ia melepaskan hawa nafsunya dimana-mana, lalu sekarang ia kembali lagi kesini karena sudah tua dan kita harus memeliharanya? Huh, enak betul!
I B U (bingung, serba-salah)
Gunarto, sampai hati benar kau berkata begitu terhadap Ayahmu. Ayah kandungmu.
GUNARTO (cepat)
Ayah kandung? Memang Gunarto yang dulu pernah punya Ayah, tapi dia sudah meninggal dunia dua puluh tahun yang lalu. Dan Gunarto yang sekarang adalah Gunarto yang dibentuk oleh Gunarto sendiri! aku tidak pernah berhutang budi kepada siapapun diatas dunia ini. Aku merdeka, semerdeka merdekanya, Bu!
SUARA BEDUG DAN TAKBIR BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI SUARA TANGIS IBU DAN MINTARSIH.
R. SALEH (diantara batuknya)
Aku memang berdosa dulu itu. Aku mengaku. Dan itulah sebabnya aku kembali pada hari ini. Pada hari tuaku untuk memperbaiki kesalahan dan dosaku. Tapi ternyata sekarang.... yah, benar katamu Narto. Aku seorang tua dan aku tidak bermaksud untuk mendorong-dorongkan diri agar diterima dimana tempat yang aku tidak dikehendaki.
(Berfikir,sementara maimun tertunduk diam dan mintarsih menangis dipelukan ibunya)
Baiklah aku akan pergi. Tapi tahukah kau Narto, bagaimana sedih rasa hatiku. Aku yang pernah dihormati, orang kaya yang memiliki uang berjuta-juta banyaknya, sekarang diusir sebagai pengemis oleh seorang anak kandungnya sendiri.... tapi biarlah sedalam apapun aku terjerumus kedalam kesengsaraan, aku tidak akan mengganggu kalian lagi.
(BERDIRI HENDAK PERGI, TETAP BATUK-BATUK)
MAIMUN (menahan)
Tunggu dulu, Ayah! Jika Bang Narto tidak mau menerima Ayah, akulah yang menerima Ayah. Aku tidak perduli apa yang terjadi!
GUNARTO
Maimun! Apa pernah kau menerima pertolongan dari orang tua seperti ini? Aku pernah menerima tamparan dan tendangan juga pukulan dari dia dulu! Tapi sebiji djarahpun, tak pernah aku menerima apa-apa dari dia!
MAIMUN
Jangan begitu keras, Bang Narto.
GUNARTO (marah, dengan cepat)
Jangan kau membela dia! Ingat, siapa yang membesarkan kau! Kau lupa! Akulah yang membiayaimu selama ini dari penghasilanku sebagai kuli dan kacung suruhan! Ayahmu yang sebenar-benarnya adalah aku!
MINTARSIH
Engkau menyakiti hati Ibu, Bang.
(SAMBIL TERSEDU-SEDU)
GUNARTO
Kau ikut pula membela-bela dia! Sedangkan untuk kau, aku juga yang bertindak menjadi Ayahmu selama ini! Baiklah, peliharalah orang itu jika memang kalian cinta kepadanya! Mungkin kau tidak merasakan dulu pahit getirnya hidup karena kita tidak punya seorang Ayah. Tapi sudahlah, demi kebahagiaan saudara-saudaraku, jangan sampai menderita seperti aku ini.
IBU DAN MINTARSIH TERUS MENANGIS. SEMENTARA MAIMUN DIAM KAKU. SUARA BEDUG DAN TAKBIR TERUS BERSAHUT-SAHUTAN. LALU TERDENGAR SUARA GEMURUH PETIR DAN HUJANPUN TURUN.
R. SALEH
Aku mengerti... bagiku tidak ada jalan untuk kembali. Jika aku kembali aku hanya mengganggu kedamaian dan kebahagiaan anakku saja. Biarlah aku pergi. Inilah jalan yang terbaik. Tidak ada jalan untuk kembali.
RADEN SALEH BERGERAK PERLAHAN SAMBIL BATUK-BATUK, SEMENTARA MAIMUN MENGIKUTI DARI BELAKANG.
MAIMUN
Ayah, apa Ayah punya uang? Ayah sudah makan?
MINTARSIH (dengan air mata tangisan)
Kemana Ayah akan pergi sekarang?
R. SALEH
Tepi jalan atau dalam sungai. Aku cuma seorang pengemis sekarang. Seharusnya memang aku malu untuk masuk kedalam rumah ini yang kutinggalkan dulu. Aku sudah tua lemah dan sadar, langkahku terayun kembali. Yah, sudah tiga hari aku berdiri didepan sana, tapi aku malu tak sanggup sebenarnya untuk masuk kesini. Aku sudah tua, dan ....
RADEN SALEH MEMANDANGI ANAK-ANAKNYA SATU PERSATU LALU KELUAR DENGAN PERLAHAN SAMBIL BATUK-BATUK. BERJALAN LEMAH DIIRINGI SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN YANG SAYUP-SAYUP MASIH TERDENGAR, SEMENTARA HUJAN MULAI TURUN DENGAN DERAS.
I B U (sambil menangis)
Malam hari raya dia pergi dan datang untuk pergi kembali. Seperti gelombang yang dimainkan oleh angin topan. Demikianlah nasib Ibu, Nak.
MINTARSIH (sambil menangis menghampiri gunarto, lalu bergerak kedekat jendela)
Bang.... bagaimanakah Abang? Tidak dapatkah Abang memaafkan Ayah? Besok hari raya, sudah semestinya kita saling memaafkan. Abang tidak kasihan? Kemana dia akan pergi setua itu?
HUJAN SEMAKIN DERAS.
MAIMUN (kesal)
Tidak ada rasa belas kasihan. Tidak ada rasa tanggung jawab terhadap adik-adiknya yang tidak berAyah lagi.
MINTARSIH
Dalam hujan lebat seperti ini, Abang suruh dia pergi. Dia Ayah kita Bang. Ayah kita sendiri!
GUNARTO (memandang adiknya)
Janganlah kalian lihat aku sebagai terdakwa. Mengapa kalian menyalahkan aku saja? Aku sudah hilangkan semua rasa itu! Sekarang kalian harus pilih, dia atau aku!!
MAIMUN (tiba-tiba bangkit marahnya)
Tidak! Aku akan panggil kembali Ayahku pulang! Aku tidak perduli apa yang Abang mau lakukan? Kalau perlu bunuh saja aku kalau Abang mau! Aku akan panggil Ayahku! Ayahku pulang! Ayahku mesti pulang!
MAIMUN LARI KELUAR RUMAH. SEMENTARA HUJAN MAKIN LEBAT DIIRINGI SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN SAYUP-SAYUP TERDENGAR.
GUNARTO
Maimun kembali!
GUNARTO CEPAT HENDAK MENYUSUL MAIMUN TAPI TIDAK JADI LALU PERLAHAN-LAHAN DUDUK KEMBALI. IBU DAN MINTARSIH MENANGIS. SUASANA HENING SEJENAK HANYA TERDENGAR SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN SERTA GEMURUH HUJAN. TAK BERAPA LAMA TAMPAK MAIMUN MASUK KEMBALI. NAMUN IA HANYA MEMBAWA PAKAIAN DAN KOPIAH AYAHNYA SAJA. MAIMUN KELIHATAN MENANGIS.
MINTARSIH
Mana Ayah, Bang?
I B U
Mana Ayahmu?
MAIMUN
Tidak aku lihat. Hanya kopiah dan bajunya saja yang kudapati....
GUNARTO
Maimun, dimana kau dapatkan baju dan kopiah itu?
MAIMUN
Dibawah lampu dekat jembatan...
GUNARTO
Lalu Ayah? Bagaimana dengan Ayah? Dimana Ayah?
MAIMUN
Aku tidak tahu....
GUNARTO (kaget. Sadar)
Jadi, jadi Ayah meloncat kedalam sungai!!
I B U (menjerit)
Gunarto....!!!
GUNARTO (berbicara sendiri sambil memeggang pakaian dan kopiah ayahnya. Tampak menyesal)
Dia tak tahan menerima penghinaan dariku. Dia yang biasa dihormati orang, dan dia yang angkuh, yah, angkuh seperti diriku juga.... Ayahku. Aku telah membunuh Ayahku. Ayahku sendiri. Ayahku pulang, Ayahku pulang......
GUNARTO BERTERIAK MEMANGGIL-MANGGIL AYAHNYA LALU LARI KELUAR RUMAH DAN TERUS BERTERIAK-TERIAK SEPERTI ORANG GILA. IBU MINTARSIH DAN MAIMUN BERBARENGAN BERTERIAK MEMANGGIL GUNARTO “GUNARTO....!!” SUARA BEDUG BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI TAKBIR. SEMENTARA HUJAN MASIH SAJA TURUN DENGAN DERASNYA. LAMPU PANGGUNG PERLAHAN-LAHAN MATI LALU LAYAR TURUN.