Wednesday, February 15, 2023

Titik Terang Solusi Konflik Pertambangan


Tambang
Setiap pertambangan pasti terdapat konflik di dalamnya, terutama, konflik masyarakat dengan korporasi.

Konflik antara masyarakat atau petani dengan korporasi pertambangan selalu terulang setiap tahunnya. Bahkan, daftar konflik yang terjadi di pertambangan selalu bertambah di Indonesia. 

Konflik pertambangan dari 2002 sampai tahun 2013 terus meningkat. Peningkatan konflik juga dapat diketahui dari tingginya peningkatan kegiatan eksplorasi. Sejak tahun 2002 hingga tahun 2013 konflik juga meningkat seiring tingginya investasi (Pushep, 2020).

BBC News Indonesia pada 20 Mei 2021 melaporkan bahwa, konflik di tahun 2020 mengalami peningkatan jauh dibanding tahun 2019, yaitu sebanyak 45 konflik tambang sepanjang tahun 2020 dan telah mengakibatkan 69 orang dikriminalisasi dan lebih dari 700.000 hektare lahan rusak. Hal ini berbanding jauh dari 2019 yang hanya terjadi konflik tambang sebanyak 11 kali.

Realitas di atas menunjukkan bahwa pemerintah belum memberikan solusi yang komprehensif. Adanya konflik yang terus meningkat dan berkepanjangan telah memberikan kesan negatif terhadap pemerintah, juga sering kali terlihat adanya kecenderungan keberpihakan pemerintah terhadap korporasi tambang sehingga masyarakat yang merasa tanah atau lingkungannya terancam melakukan berbagai upaya penolakan, misalnya, demonstrasi dan pengadangan. 

Di lapangan, masyarakat juga bergesekkah dengan aparat keamanan sehingga konflik yang harusnya dapat dikendalikan lebih cepat menjadi semakin buruk.

Realita yang terjadi dalam konflik pertambangan antara korporasi dengan masyarakat adalah sebuah tanda yang tidak berkeadilan. 

Korporasi yang telah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) seolah-olah merasa bebas melakukan apa saja termasuk merampas dan merusak lingkungan masyarakat adat. Hal ini karena lemahnya regulasi sehingga relasi antara korporasi dan masyarakat terjadi ketidakseimbangan.

Dalam teori sosial, jika terjadi ketimpangan antara kuasa (korporasi) dengan yang dikuasai (masyarakat), terjadinya konflik sulit dihindari. Oleh karenanya, kehadiran pemerintah sangat diperlukan dalam menghadapi ketimpangan relasi yang terjadi. Negara harus menjadi solusi bagi masyarakat dan korporasi agar keadilan dapat menjamin keduanya.

Unit kerja Direktorat Advokasi, Ditjen PDP Kementerian Desa, PDTT., mencoba hadir untuk menyelesaikan konflik tambang yang terus terjadi. Meskipun ranah pertambangan milik Kementerian ESDM, Kementerian Desa punya kewajiban melindungi wilayahnya—desa—agar tidak terjadi kerusakan akibat tambang yang kurang bertanggung jawab. Keseriusan ini telah menjadi pembahasan utama saat Rapat Kerja di Bogor pada 11-13 Desember 2022 kemarin.

Perlu diketahui bahwa kegiatan pertambangan ada yang disebut The Principle of Social Justice. Prinsip tersebut pada intinya mengharuskan semua orang berhak atas persamaan untuk mengakses kesejahteraan, kesehatan, keadilan, privasi, dan peluang, tanpa memandang status hukum, politik, ekonomi, serta kondisi lain.

Adapun kelima prinsip tersebut ialah, Access (mendapatkan akses), Equity (ketidakberpihakan), Diversity (Keanekaragaman), Participation (Penyertaan/partisipasi), Human right (Hak Asasi Manusia).

Penanganan konflik pertambangan dibutuhkan analisis mendalam karena terjadinya konflik bukan dari satu faktor, tapi banyak faktor yang mempengaruhinya. Untuk memudahkan penyelesaian, maka faktor ini terbagi ke faktor struktural dan faktor kontekstual.

Faktor struktural terjadi karena regulasi pemerintah yang liberal sehingga korporasi sangat bebas bertindak semena-mena. Sedangkan pemerintah tidak hadir dalam hal ini serta mengabaikan kepentingan masyarakat. Ketidakhadiran pemerintah telah membuat terjadinya konflik antara korporasi dan masyarakat.

Regulasi yang liberal telah menyebabkan tata ruang desa yang dilewati serta CSR tidak tepat sasaran. Akhirnya, banyak hak masyarakat desa terabaikan bahkan kesehatannya menjadi terancam oleh limbah industri. Maka, konflik horizontal akan sulit dihindari karena hak-hak warga sekitar terabaikan.

Faktor kontekstual adalah lebih pada persoalan atas lahan tambang, penolakan pembebasan lahan, pencemaran lingkungan, kemiskinan atau kesenjangan sosial. Selain itu, kondisi sosial juga mempengaruhi, seperti budaya, politik lokal, dan kepentingan masyarakat. Faktor ini oleh pihak korporasi bisa diminimalisir dengan diberikan kompensasi yang sesuai terhadap warga sekitar tambang.

Kenyataan di lapangan, pihak korporasi seperti tidak mau tahu dengan persoalan lahan dan sering kali menggunakan kekuatan melalui tokoh sekitar tambang atau pemerintah setempat. 

Untuk mendapatkan lahan yang diinginkan, pihak korporasi selalu menggerakkan preman dan aparat di lapangan. Akibatnya, konflik yang harusnya dapat diselesaikan dengan cara—misalnya—masyarakat diberikan kompensasi yang sesuai, kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik dapat diminimalisir.

Ada indikator yang sangat mempengaruhi terjadinya konflik tambang adalah tenaga kerja lokal yang tidak terserap. Di beberapa kasus, korporasi tambang hanya menggunakan tenaga kerja lokal di saat seremonial pembukaan tambang. Setelah seremonial selesai, tenaga kerja lokal diberhentikan dan memilih tenaga kerja luar daerah. 

Alasan mendasar dari pihak korporasi yang tidak menggunakan tenaga kerja lokal adalah faktor SDM dan pendidikan. Jika korporasi menginginkan pekerja lokal yang mempunyai SDM seperti diharapkan, pihak korporasi bisa menginisiasi dengan memberikan pelatihan selama waktu yang dibutuhkan.

Kerusakan lingkungan pasca tambang juga menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Pihak korporasi seperti tidak mau tahu dengan keadaan lingkungan pasca tambang. Pegiat lingkungan menyebut di tahun 2021, 1.735 lubang tambang dibiarkan menganga oleh korporasi meski secara hukum mereka wajib mereklamasi bekas galian setelah eksplorasi.

Pada 2021, Kompas.com melaporkan bahwa selama sepuluh tahun sebanyak 36 anak-anak di Kalimantan Timur meninggal di bekas tambang batubara disebabkan mereka tidak bisa berenang. Hal ini karena ketidakpedulian pihak korporasi yang tidak merehabilitasi bekas tambang sehingga menyebabkan luka di masyarakat. Jika pihak pihak korporasi peduli pada lingkungan dengan merehabilitasi galian tambang, maka kejadian-kejadian di atas di tidak akan terjadi.

Unit kerja Advokasi akan menekan pihak korporasi untuk serius memerhatikan ex-tambang. Pihak korporasi tidak boleh seenaknya membiarkan ex-tambang begitu saja tanpa adanya rehabilitasi. Pihak korporasi harus bertanggung jawab terhadap kerusakan lahan pasca tambang dengan, misal, ditutup kembali hasil galiannya agar lingkungan desa kembali seperti semula. Pihak korporasi harus menjamin tata desa dan keamanan warga setelah lokasi tambang ditinggalkan.

Ada cara lebih sederhana meminimalisir terjadinya konflik tambang, pihak pemerintah terutama Kementerian Desa, salah satunya, membuat jejak pendapat atau menyebarkan kuesioner pada masyarakat sekitar tambang untuk menggali lebih dalam akar masalah dan keinginan masyarakat. 

Setelah akar masalah telah diketahui, Kementerian Desa membuat forum dialog dengan mempertemukan masyarakat dan pihak korporasi. Apa yang telah menjadi kesepakatan dalam dialog, Kementerian Desa harus selalu memantau proses penambangan selama berlangsung.

Jika kemudian hari ada kesepakatan yang dilanggar, Kementerian Desa harus memberikan sangsi sampai pada sangsi pencabutan izin operasi tambang. Hal ini untuk mengantisipasi pihak korporasi yang sering kali melanggar kesepakatan yang telah dibuat bersama. 

Selain itu, Kementerian Desa segera membuat regulasi turunan UU Minerba dengan melihat celah regulasi yang ada agar hak-hak warga sekitar tambang terjamin. Tujuannya untuk menekan konflik yang disebabkan oleh tambang.

bm

ridlwan.com adalah personal blog suka-suka. Blog ini disajikan dengan berbagai konten menarik dan terupdate.

avatar
Admin MOH RIDLWAN Online
Welcome to MOH RIDLWAN theme
Chat with WhatsApp