Saturday, July 6, 2019

Semua Santri Baru Gagal Tes Masuk Kelas di Ponpes Syaichona Moh. Cholil Bangkalan


Dapur induk santri Syaichona Moh. Cholil Bangkalan

Awal ajaran 2005-2006 Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Demangan Bangkalan dikejutkan dalam sebuah peristiwa aneh dan hanya terjadi pada saat itu. Peristiwa tersebut memunculkan berbagai reaksi, seperti olok-olok, kasian, empati, dll.

Kejadian tersebut saya tulis dalam bentuk esai sebagai catatan pelaku, orang yang betul-betul menjadi bagian atas sejarah yang menggemparkan di Ponpes Syaichona Moh. Cholil Bangkalan.

Syawal atau Nopember 2005, awal saya nyantri di Ponpes Syaichona Cholil. Keadaan saya berbeda dari santri-santri baru yang lain. Seperti kebiasaan, santri baru pasti menangis. Entah menangis dengan histeris atau menangisnya ngumpet di Toilet karena takut dibully.

Saya sih awal mondok hepi. Berbaur dengan santri senior bahkan dalam sepekan hampir akrab semua sama penghuni daerah B. Juga tidak terhitung kenalannya dengan santri di daerah lain.

Saya hepi, lupa cara menangis. Setiap hari kerjaannya tidur. Kalau tidak tidur, nongkrong di Taman Kota (sekarang Paseban). Terus kapan mau menangis? Tidak ada waktu. Kalau malam hanya bersantai.

Hari ketiga berada di pesantren, aku mendaftar untuk masuk kelas empat Ibtidaiyah. Lantas setelah mendaftar tidak langsung sekolah, namun harus mengikuti tes terlebih dahulu. Apakah saya layak apa tidak di kelas tersebut?

Pendaftaran masuk kelas telah dibuka, hampir semua santri baru sibuk belajar untuk tes di gelombang pertama. Sebagian semakin tidak betah dan menangis karena khawatir gagal tes. Saya masih seperti biasanya, tidur atau nongkrong di Taman.

Di hari kelima saya berinisiatif mau masak sendiri. Seperti santri senior, masak untuk makan. Tidak seperti saya jika mau makan harus beli.

Apesnya tidak ada seorangpun yang mau ditebengi, semuanya sudah punya teman untuk masak. Maka saya berinisiatif membuat lemari untuk peralatan masak. Agar saya juga masak meskipun sendirian.

Dari inisiatif tersebut saya mengumpulkan triplek bekas. Saya minta triplek ke kamar B-06 yang tidak terpakai. Setelah merasa cukup, saya membuat lemari sendiri. Saat proses pembuatan lemari, teman-teman yang dari kampung mengolok-oloknya. Alasannya, karena status saya adalah santri baru membuat lemari.

"Aneh dan tidak tahu malu." Katanya.

Saya cuekin. Tetap pada niat awal, harus masak dan membuat lemari untuk perlatan masak. Namun ada juga yang memujinya, karena keberanian dan punya keahlian membuat lemari.

Lemari akhirnya selesai. Peralatan masak sudah lengkap. Temanku yang awalnya mengolok-olok, akhirnya menawarkan diri untuk masak bersama. Namun saya tolak.

Jumat atau tanggal tes masuk kelas untuk gelombang pertama tiba, hanya menunggu hitungan jam untuk tes. Persiapan sangat minim, juga jarang belajar. Tapi, PD-nya tidak kalah sama yang belajarnya sungguh-sungguh. Tes dimulai dan harus selesai menjawab dalam satu jam setengah.

Selesai ikut tes, saya ke dapur memasak nasi untuk pertama kalinya. Karena belum berpengalaman memasak, akhirnya bukan masak nasi, tapi membuat tajin.

Esok hari, Sabtu pagi pengumuman kelulusan tes dipajang di Mading. Tidak ada satu santri pun yang lulus. Semunya turun empat tingkat di bawahnya. Yang tidak betah semakin menangis, para senior semakin mendewa untuk membully, meskipun dirinya menyadari bahwa tesannya jauh dari kemampuan santri baru.

Kegagalan tes bagi semua santri baru menjadi trending topic di pesantren, semunya membicarakannya, Asatidz, Pengurus Pesantren dan Senior santri lainnya. Ada yang membicarakan Ustaz Badri—PJ untuk soal-soal tes. 

"Ketidaklulusan bagi santri baru, karena Ustaz Badri." Katanya.

Kegagalan masuk kelas empat tidak merasa sebuah petaka, saya tetap santai seperti biasanya. Dengan besikap santai dalam kejadian tersebut membuat saya tetap betah di Pesantren. Karena yang tidak lulus bukanlah saya sendiri. Tapi, semua santri baru yang ikut tes pada gelombang pertama.

Gagal tes membuat saya sadar, juga tidak mau masuk kelas satu. Maka saya mendaftar kembali tapi di kelas tiga Ibtidaiyah. Karena setiap santri yang gagal tes tidak boleh ikut tes di kelas yang sama, maksimal satu tingkat di bawahnya.

Kegagalan tes tidak ingin terulang kedua kalinya, tes di gelombang kedua harus lulus. Jika tidak lulus, kemungkinan harus ikut tes di kelas dua Ibtidaiyah. Untuk mengantispasi kegagalan kedua kalinya, saya belajar dan menghafalkan kitab-kitab yang akan dites.

Tes gelombang kedua dilaksanakan pada Jumat berikutnya. Namun kali ini saya sedikit khawatir, khawatir tidak lulus lagi. Dalam pikiran tidak mau masuk ke kelas dua Ibtidaiyah. Kekhawatiran tersebut terbantahkan dengan mudah menjawab soal-soal yang diberikan saat tes.

Pengumuman kelulusan dilaksanakan lebih cepat dari tes sebelumnya, yaitu di malam harinya pasca tes. Hampir seluruh waktu saya dihabiskan hanya untuk belajar membuahkan hasil berupa lulus dan berhak masuk di kelas tiga Ibtidaiyah. 

Kegembiraan ini tidak dirasakan oleh Ali S. Dia sebelumnya tes di kelas lima Ibtidaiyah dan diterima di kelas dua Ibtidaiyah. Ikut tes lagi di kelas empat Ibtidaiyah dan tetap masuk di kelas dua Ibtidaiyah. Dengan kesalnya Ali mengatakan di depan saya,

"Dasar!"

bm

ridlwan.com adalah personal blog suka-suka. Blog ini disajikan dengan berbagai konten menarik dan terupdate.

avatar
Admin MOH RIDLWAN Online
Welcome to MOH RIDLWAN theme
Chat with WhatsApp