Saturday, July 11, 2020

Cerpen: Keangkuhanku Runtuh Di Bibir Ustazah



Perempua itu masih seperti yang dulu. Terlihat anggun dengan hijabnya, santun dalam pembawaannya. Sesabar yang pernah aku kenal, lengkap dengan etika dan moral. Hari ini dia berhenti dari pesantren tepat setelah aku wisuda. Mata berbinar haru saat dia menatapku. Perlahan dia mengucapkan,”Assalamualaikum!”

***

Sebagai jebolan di salah satu Universitas terbaik, membentuk diriku yang angkuh, memuja intelektulitas dan logika, seakan diriku berhak untuk semuanya, meskipu salah dalam agama. Doktrin pemikiran telah merubah cara pandang. Seolah aku bukan muslim yang seharusnya taat pada ajaran agama. Tapi sebaliknya, bebas dengan pemikiran yang ada.

“Umurmu sudah matang, Nak. Apalagi kamu sudah mempunyai penghasilan. Ibu ingin cepat menggendong cucu. Kalau kamu susah mencari jodoh, di sebelah ustazah juga belum menikah, dia cocok untuk kamu.”

“Mohon maaf, Ibu. Bukannya aku tidak mau menikah, akan tetapi anakmu ini belum sepenuhnya siap berumah tangga.”

“Kamu sekarang sudah dua puluh sembilan tahun. Apalagi yang kamu tunggu? Nanti kamu kesulitan untuk beristri. Menurut kakekmu dulu, 'kalau seorang belum beristri sampai berumur tiga puluh tahun, maka keinginan untuk beristri hilang', Lihat bapakmu! Dia menikahi ibu ketika almarhum berumur dua puluh satu Tahun.” 

“Mohon maaf, Ibu, bukannya aku mau menentang ibu namun aku masih belum siap."

“Baiklah. Semua adalah hak kamu, ibu tidak akan memaksamu menikah namun ibu harap kamu cepat menikah.”

Ucapan ibu terus menghantam benakku. Ibu terlalu pesimis kalau seseorang belum menikah di usia tiga puluh tahun, keinginannya akan hilang. Kepercayaan itu terus turun temurun dari moyang ke cucu dan dari cucu ke cucunya. Sungguh mereka telah dibodohi oleh budaya dan kepercayaan yang tidak ilmiah. Sains telah merubah kepercayaan yang tidak mungkin menjadi mungkin bahkan sesuatu yang belum pernah ada di dunia menjadi ada. Apa yang tidak bisa dilakukan di dunia saat ini? Semua pasti bisa dengan sains. sains adalah segalanya dalam dinamika kehidupan masa kini dan seterusnya.

Masalah jodoh aku tidak pernah risau. Sebagai pribadi yang menjunjung tinggi intelektualitas dan juga kemapanan dalam tekstur tubuh serta profesi, aku bisa menikahi siapa pun dan saat ini pun juga. Mustahil seorang sepertiku tidak ada yang mau. Meskipun aku jauh lebih pintar dari ibu, aku tidak berani menentang ucapannya. Aku sadar betul bahwa keberaradaanku di dunia ini karena ibu, aku besar karena dan menjadi sukses pun karena ibuku.

“Kalau kita bersungguh-sungguh mencari ilmu maka Allah akan menanggung semua kebutuhan kita. Perbanyaklah belajar dan tekuni ilmu agama agar kita menjadi orang-orang yang beruntung. Dalam kitab Ihya’ulumuddin karya Imam Al-ghozali, Nabi bersabda, ‘barang siapa yang belajar ilmu agama, maka Allah akan mencukupi rizkinya serta menanggung dunia dan akhiratnya’.”

Suara salon dari tetangga seakan mengusik ketenanganku, bertentangan dengan pemikiranku selama ini. Membuat aku tidak suka dengan perempuan itu. Hari demi hari, berbulan-bulan merubah watakku untuk membencinya. Kebencianku terus tumbuh dan selalu menyelimuti di setiap detak jantungku. Sebagai dosen ternama di sebuah universitas negeri, pamorku kalah jauh dari seorang perempuan yang notabene jebolan pesantren ternama di Jawa timur. Apalagi ibu menyuruhku untuk melamarnya.

Berbagai macam cara kulakukan agar prempuan itu berhenti berdakwah. Berkali-kali aku ingatkan agar tidak menggunakan pengeras suara di saat pengajian. Pernah suatu hari aku mendatangi ke tempat pengajiannya dan ingin membubarkannya, tapi prempuan itu hanya senyum manis dengan ciri khasnya tampa sepatah kata pun.

Dulu saat masih kecil aku mengira sarjanawan akan dikenal di mana-mana dan akan dihormati oleh semua kalangan. Kenyataannya tidak, malah aku harus kocar-kacir karena warga menganggapku sebagai orang yang menentang dan provokator terhadap pengajian yang dilakukan oleh Ustazah. Parahnya lagi, aku dicap kafir. 

Saat duduk di teras rumah dengan segelas kopi serta satu batang rokok di tanganku datang seorang lelaki yang aku kenal, dia Pak RT. Atau disebut Pak Junaidi. Aku persilahkan duduk dan ibuku keluar dengan membawa kopi.

“Silahkan diminum kopinya, Pak!”

“Sudah lama tidak ketemu” Junaidi memulai percakapan.

“Mungkin sekarang sudah sama-sama sibuk,” dengan sinis aku menjawabnya. 

“Bapak sekarang kerja apa?”

“Aku dosen di kampus terbesar di kota ini.”

“Alhamdulillah bapak sekarang sudah sukses. Selamat, Pak! Oh ia... Aku ke sini mewakili warga. Banyak warga mengeluh karena tindakan bapak. Katanya bapak sering kali mengganggu kegiatan warga terutama di malam hari. Dengan dasar apa bapak melakukannya semua ini?”

“Mungkin Pak RT sudah tahu, kenapa aku melakukan ini? Karena aku merasa terganggu dengan kegiatan Ustazah. Ustazah melakukan kegiatan pengajian menggunakan pengeras suara yang sangat lantang di telinga aku."

“Permasalahannya hanya pada pengeras suara. Kalau pengajian tidak menggunakan pengeras suara, apakah suara ustazah akan didengar oleh semua jamaah? Mampukah sesosok prempuan bersuara lantang berjam-jam? Aku rasa tidak. Apalagi yang mendengarkan tausyiah ustazah bukan hanya para Jamaah yang hadir di rumah Ustazah melainkan ibu-bapak yang tidak bisa hadir karena menjaga rumahnya.”

“Aku mohon maaf, Pak. RT. Setiap malam aku di sini juga mempunyai kegiatan. Aku seorang dosen dan aku harus mengureksi tugas-tugas mahasiswa apalagi aku harus menulis hasil riset. Nantinya, riset ini juga demi kemajuan daerah sini. Mohon maaf sekali lagi! Aku merasa terganggu.”

“Perlu bapak ketahui, banyak warga mengadu bahkan ada yang ingin membuat anarkis terhadap bapak. Namun, aku sebagai ketua RT sewajibnya mencegah agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Karena keamanan seluruh warga di RT ini adalah sepenuhnya tanggung jawab aku pribadi. Adakah cara lain agar daerah ini lebih kondusif?”

“Caranya hanya pengajiannya dihentikan atau paling tidak tanpa pengeras suara. Aku mohon maaf, Pak RT. Aku orangnya tipe audial dan butuh ketenangan untuk fokus. Apabila ada keramaian atau suara yang lantang aku tidak bisa konsentrasi dan sulit untuk menulis”

“Baiklah, Pak Rizki. Aku akan usahakan cari jalan keluarnya agar daerah ini tetap kondusif. Bapak adalah wargaku dan begitu juga dengan warga yang lain. Aku akan memusyawarahkan dengan sesepuh daerah ini. Semoga ada solusi yang terbaik!”

Hari-hari mulai berlalu ditelan tanggal dan bulan, musim panas memasuki fase-fase pertengahan. Begitu pula dengan usiaku yang hampir tiga puluh tahun sampai saat ini belum ada tanda-tanda mau menikah. Ya menikah, yang akhir-akhir ini menjadi beban selain beban yang kata orang adalah Ustazah yang sok suci menurutku, ibuku terus bertanya kapan aku mau menikah dan kapan mau menikah. Kenapa pikiran itu bisa singgah pada orang yang menjunjug tinggi kebebasan? Sebagai orang modern dan intelek sekaligus dosen di salah satu universitas terbaik ini, tentunya mempunyai keriteria calon yang menurutku sepadan. Akan tetapi sampai saat ini belum ada wanita yang masuk dalam keriteria itu.

Serangan demi serangan yang datang dari warga bahakan ancaman melalui HP silih berganti. Beberapa diskusi telah aku lalui dengan argument-argument yang logis walaupun itu bertentangan dengan agama menurut forum. Aku menganggap orang sekampung tidak tahu apa-apa dan sulit berkembang karena dirinya terikat oleh kepercayaan yang tidak mendasar padahal sekarang sudah modern.

Senin, tanggal dan Tahun di hari kelahiranku, ibu duduk di depanku dengan mengucapkan selamat serta doa untuk keselamatan anaknya lalu ibu menatapku dengan berlebihan.

“Rizki, anakku. Kamu tahu, Nak? Usia ibu sekarang sudah lima puluh lima tahun dan kamu sudah tiga puluh tahun. Kapan kamu akan membahagiakan ibu dengan cucu? Ibu sudah tidak sabar ingin melihat kamu ada di pelaminan dan setelahnya menggendong cucu. Hanyalah kamu yang bisa ibu harapkan karena kamu lah anak satu-satunya.”

“Ibu mengerti kalau kamu adalah satu-satunya yang berpndidikan sampai S3. Dan jarang sekali ada orang seperti kamu sekolah setinggi itu apalagi kamu sekolah dengan beasiswa. Ibu bangga pada kamu! Namun yang ibu sesalkan sekarang adalah tingkah lakumu yang tidak mencerminkan leluhurmu. Di sini adalah Madura bukan daerah lain. Madura menjunjung tinggi adat dan budaya serta sangat menghormati pada orang lain apalagi pada orang yang lebih tua, tetapi dirimu sekarang bukan seperti anak Madura umumnya. Kamu seperti orang luar Madura yang tidak mau mengenal tetangga-tetangganya. Ingatlah, Anakku! Seberapa tinggi pendidikanmu dan seberapa besar ilmumu, kamu tidak akan menjadi orang dan tidak akan dihormati apalagi menjadi orang sukses. Anakku, kamu tidak perlu bicara, cukup dengarkan saja dan ikutilah apa kata Ibu. Karena dalam ajaran leluhurmu dan juga ilmu yang kamu dapat, semua orang harus mematuhi apa kata ibunya. Benarkah seperti itu?”

“Betul, Ibu”

“Ibu sekarang sudah merencanakan perjodohanmu dengaan Ustazah Uswatul Hasanah putri pak Amin di tetangga dan ibu sudah membicarakannya pada mereka.”

“Kenapa Ibu menjodohkannya?”

“Ibu tahu kalau kamu tidak akan menyukainya namun ibu tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanmu. Pilihan ibu ini adalah yang terbaik untukmu dan juga masa depanmu. Percayalah bahwa yang ibu lakukan adalah penuh pertimbangan. Pernikahanmu akan dilaksanakan Minggu depan. Jangan kamu sampai mempermalukan ibu.”

Di luar jendela, kupandangi pagar yang terbuat dari besi bercat kuning keemasan, lampu-lampu berbaris rata sama tinggi namun tidak terbayang apa yang akan terjadi di hari-hari mendatang. Pernikahan yang tidak diinginkan akan dilaksanakan Minggu ini. Sungguh tidak bisa dibayangkan menikah dengan wanita yang paling dibenci. Meskipun seorang pribadi yang menjunjung tinggi intelektualit tapi tetap tidak berdaya bila seorang ibu yang memerintahkan.

Pernikahan dilangsungkan dengan meriah tanpa dihadiri sahabat-sahabatku. Aku sengaja tidak kuundangnya karena menjaga nama baik di mata mereka. Pernikahan telah selesai beberapa jam yang lalu. Aku pandangi perempuan yang pernah aku kagumi dan kebenci, tak ada yang tampak kesedihan atau menaruh dendam atas tindakanku selama ini. Aku melihatnya senyum ikhlas terpancar di wajahnya. Aku merasa beruntung dijodohkan dengan perempuan yang akan membawa anak-anakku menuju surga.

***

Pernikahanku adalah pelengkap yang belum pernah dicerna sebelumnya. Dengan keangkuhanku sirna dengan senyuman yang menghiasi di bibir istriku. Perempua itu masih seperti yang dulu, terlihat anggun dengan hijabnya, santun dalam pembawaannya, sesabar yang pernah kukenal, lengkap dengan etika dan moral. Iak mengucapkan, “Semoga Allah meridai pernikahan kita, Amin!"

Aku beruntung menikahinya.

Kokop, 06 Feb. 16 

bm

ridlwan.com adalah personal blog suka-suka. Blog ini disajikan dengan berbagai konten menarik dan terupdate.

avatar
Admin MOH RIDLWAN Online
Welcome to MOH RIDLWAN theme
Chat with WhatsApp