Monday, August 9, 2021

Benarkah Puasa Asyura Tradisi Umat Islam?

Puasa Asyura atau puasa yang bertepatan tanggal 10 Muharram selalu dijumpai terutama di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Yang menjadi pertanyaan, benarkah puasa Asyura adalah tradisi Islam?

Beberapa literatur Islam terutama dari kitab-kitab Ahlusunna Waljamaah menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW saat hijrah ke Madinah menjumpai orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Nabi bertanya alasan kaum Yahudi berpuasa di tanggal tersebut.

Jawaban Yahudi, “Ini adalah hari yang baik; tepat hari ini, Tuhan menyelamatkan kaum Israel dari kejaran Firaun. Oleh karena itu, kami berpuasa pada hari ini.”

Nabi Muhammad SAW berkata, “Aku lebih berharga untuk Nabi Musa AS dibanding kamu (Yahudi)." Setelah itu, Nabi berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa.

Dalam Mishkatul-Masabih (1307: l72) dijelaskan bahwa kejadian tersebut terjadi di tahun kedua setelah Nabi hijrah, karena pada tahun pertama Nabi tiba di Madinah setelah Asyura, atau pada Rabi'ul-awwal.

Dalam al-Sahih al-Bukhari (hal.54)) juga dijelaskan bahwa Nabi (saw) memerintahkan seorang pria dari suku Aslam untuk mengabarkan kepada orang-orang agar melaksankan puasa Asyura. Sabda Nabi, “Beritahukan kepada orang-orang bahwa siapa pun yang telah makan harus berpuasa di sisa hari ini, dan yang belum makan harus berpuasa sepanjang hari, karena hari ini adalah Asyura.”

Sekarang mari kita lihat lebih dekat tradisi-tradisi ini.

Pertama: Kaum Yahudi memiliki kalender dan bulan sendiri. Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa kaum Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram - kecuali dapat dibuktikan bahwa tanggal tersebut bertepatan dengan hari puasa Yahudi.

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Imran Razvi yang berjudul Martyrdom of Imam Husayn and the Muslim and the Jewish Calendars (Al-Serat, Vol. VI, No's 3 & 4; Muharram 1401 November 1980) bahwa bulan pertama orang Yahudi (Abib, kemudian dinamai Nisan) bertepatan dengan Rajab orang Arab.

Oesterley dan Theodore H. Robinson juga menulis bahwa di Arab yang paling penting dari semua festival tahun baru adalah yang jatuh pada bulan Rajab, setara dengan bulan Ibrani 'Abib, karena ini adalah waktu ketika orang Arab kuno merayakan festival Musim Semi (Agama Ibrani; S.P.C.K., London; 1955; hal.128).

Namun jika dikaji lebih dalam, ternyata persamaan itu telah hilang jauh sebelum datangnya Islam, karena bangsa Arab tidak mengikuti perhitungan matematis dalam kalender mereka. Itulah sebabnya Muharram tahun ke-2 Hijriah dimulai pada tanggal 5 Juli 623 M (Al-Munjid, edisi ke-21), beberapa bulan sebelum Tishri I (yang selalu bertepatan dengan bulan September-Oktober).

Jelas, Asyura Muharram pada tahun itu (atau, dalam hal ini, selama seluruh hidup Nabi di Madinah) tidak memiliki arti apa pun bagi orang Yahudi.

Pertanyaannya, mengapa kaum Yahudi berpuasa pada hari itu?

Kedua: Literatur Midrash Yahudi menyamakan hari ke-10 bulan ke-7 (Hari Penebusan) dengan peristiwa Perjanjian dari Gunung Sinai.

Pertanyaannya, jika orang-orang Yahudi ingin  menyamakan Tishri I dengan Muharram yang telah lama hilang dalam pandangannya, bagaimana mungkin kaum Yahudi lupa menceritakan tradisi tersebut kepada Nabi?

Ketiga: Bulan di mana Tuhan membebaskan orang Israel dari Firaun adalah Abib (yaitu Rajab), sebagaimana Alkitab dengan jelas mengatakan, “Perhatikanlah bulan Abib, dan peliharalah Paskah bagi Tuhan, Allahmu, karena di bulan Abib Tuhan Allahmu membawa engkau keluar dari Mesir pada malam hari” (Ul., 16:1).

Pertanyaannya, bagaimana mungkin orang-orang Yahudi memindahkan peristiwa Abib (awalnya bertepatan dengan Rajab) ke Muharram, yang secara terbuka bertentangan dengan Taurat?

Terakhir, inilah poin untuk direnungkan bagi kita sebagai umat Islam. Nabi Muhammad SAW diutus dengan sebuah agama untuk menghapus agama-agama dan syariat sebelumnya. Bagaimana mungkin Nabi meniru tradisi orang Yahudi?

Jelas dari fakta-fakta yang disebutkan di atas bahwa orang-orang Yahudi tidak memiliki dasar untuk berpuasa pada Asyura Muharram pada saat itu. Cerita tersebut dibangun di atas kepercayaan dan hanyalah sebuah fiksi.

Narasi Tishri I orang Yahudi, Hari Penebusan, tidak bertepatan dengan dengan 10 Muharram. Abib dalam tradisi Yahudi terjadi di bulan Rajab.

Ada yang menyatakan bahwa hadis yang menjelaskan puasa Asyura, 10 Muharram, hanyalah dibuat-buat oleh pengikut Bani Ummayah sebagai kampanya untuk menutupi kekejamannya di hari Karbala dengan menjadi hari kegembiraan.

Tradisi-tradisi ini memiliki genre yang sama dengan yang mengatakan bahwa pada tanggal 10 Muharram kapal Nabi Nuh bersandar di Gunung Arafat, api menjadi sejuk dan aman bagi Nabi Ibrahim, dan Nabi Isa diangkat ke surga.

Dalam kategori yang sama datang tradisi yang mendorong umat Islam untuk memperlakukan Asyura sebagai festival kegembiraan, dan menyimpan biji-bijian makanan seseorang pada hari Asyura akan menambah rezeki seseorang dan membawa berkah Allah dalam rumah tangga.

Penutup, puasa Asyura adalah tradisi umat Islam yang dianjurkan oleh Nabi (s.a.w) dan tidak ada hubungannya dengan Tisri I kaum Yahudi. Sebab, Tisri I tidak bertepatan dengan 10 Muharram. Selain itu, Asyura bukan sebuah kampanya dari pengikut Bani Umayyah.

bm

ridlwan.com adalah personal blog suka-suka. Blog ini disajikan dengan berbagai konten menarik dan terupdate.

avatar
Admin MOH RIDLWAN Online
Welcome to MOH RIDLWAN theme
Chat with WhatsApp